Kehadiran Damar, pria beranak satu yang jadi tetangga baru di rumah seberang membuat hidup Mirna mulai dipenuhi emosi.
Bagaimana Mirna tidak kesal, dengan statusnya yang belum resmi sebagai duda, Damar berani menunjukkan ketertarikannya pada Mirna. Pria itu bahkan berhasil membuat kedua orang tua Mirna memberikan restu padahal merek paling anti dengan poligami.
Tidak yakin dengan cerita sedih yang disampaikan Damar untuk meluluhkan hati banyk orang, Mirna memutuskan mencari tahu kisah yang sebenarnya termasuk masalah rumahtangga pria itu sebelum menerima perasaan cinta Damar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bareta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Black Box
Dengan alasan lelah dan mengantuk, terpaksa Mirna berbohong pada mama bilang ingin beristirahat di kamarnya sementara Chika masih tidur pulas di kamar opa omanya.
Tujuan utama Mirna datang ke rumah mama bukan karena ingin bertemu dengan Rangga dan mendengar langsung kisah cintanya yang berakhir tiba-tiba tapi lebih pada rasa penasarannya kepada kotak pandora yang disinggung Anita saat mereka bertemu pagi ini.
Mirna yakin kalau benda yang disebut-sebut Anita sama dengan yang dimaksud oleh Firman.
“Kotak apa maksud Mbak Nita ?” tanya Mirna dengan alis menaut.
Anita malah tertawa, “Kotak pandora milikmu, Mir. Banyak barang-barang penting kamu simpan di dalamnya, termasuk bukti-bukti soal Damar.”
“Mbak tahu seperti apa bentuknya ? Warnanya mungkin ?”
“Aku tidak pernah lihat langsung bentuk fisiknya, hanya tahu dari ceritamu saja. Kamu sering menyebutnya kotak hitam alias black box, udah kayak benda penting di pesawat aja,” sahut Anita di sela tawanya.
Saat pertama mendengar dari Firman, sekilas Mirna ingat kalau ia sudah punya benda semacam itu sejak masih SD.
Tapi setelah kecelakaan ini Mirna lupa sama sekali bahkan ia tidak ingat bentuk dan warna kotak rahasianya.
Mirna sudah sempat mencari di seluruh penjuru rumah yang ditempatinya bersama Damar tapi belum juga ketemu. Tinggal ruang kerja dan lemari pakaian Damar yang belum diacak-acaknya tapi entah kenapa Mirna malas bertanya pada Damar apakah ia tahu soal benda itu.
Setelah mendengar cerita Anita, Mirna sempat berpikir apa mungkin kotak itu sengaja disembunyikan Damar sambil berharap Mirna benar-benar melupakannya.
Sekarang Mirna sudah berdiri di dalam kamarnya bersandar di pintu yang terkunci.
Matanya beredar ke seluruh penjuru ruangan sambil berusaha mengingat-ingat apa mungkin ia menyembunyikan kotak itu di kamarnya sendiri.
Menurut cerita mama, beberapa kali Mirna pernah menginap di sini saat hubungannya dengan Damar sempat renggang.
Sambil terus berpikir, Mirna mulai membuka laci meja belajar lanjut ke nakas dan terakhir lemari pakaiannya hingga hampir 1 jam berlalu dan belum ada tanda-tanda kotak itu ada di kamarnya.
Kepalanya mulai sakit karena lelah dan sedikit frustasi. Mirna pun menelungkup di meja belajarnya. Pikirannya terus bekerja, berharap kotak itu bisa ditemukan segera karena ia yakin kalau kunci jawaban situasi yang membingungkan ini ada di dalamnya.
Tidak tahan dengan rasa pusing yang makin mendera, Mirna pun memutuskan untuk tidur tapi baru beberapa langkah, tiba-tiba sebuah ingatan melintas dalam pikiran Mirna. Buru-buru ia berbalik ke arah lemari pakaian dan membuka kedua pintu bagian pakaiaj gantung.
Mirna menggeser tumpukan barang yang ada di pojokan sebelah kiri dan bibirnya langsung tersenyum saat menemukan bagian alas kayu yang bisa diangkat.
Wajahnya berbinar saat melihat sebuah benda kecokelatan begitu papan alas terlepas. Bentuknya memang kotak bekas kaleng cokelat bukan hitam, hanya saja Mirna suka menyebutnya black box karena menganggap benda miliknya ini sama pentingnya dengan black box di pesawat.
Rasanya deg-deg kan saat memangku kotak kaleng itu dan tangan Mirna sedikit gemetar saat membuka penutupnya.
Dahinya berkerut saat melihat benda paling atas adalah sebuah amplop cokelat tanpa nama pengirim hanya ada tulisan tangan : Dear Mirna.
Sebelum melihat isi amplop itu, Mirna memeriksa benda-benda lain yang disimpannya dalam kotak itu.
Dahinya kembali berkerut saat melihat satu botol bertuliskan vitamin dengan merk ternama disimpannya di situ . Saat dibuka, masih ada sekitar 8 butir tablet berwarna putih di dalamnya.
Penasaran apa kandungan tablet itu, Mirna memisahkan botol vitamin tadi lalu meneruskan melihat-lihat apa saja yang tersimpan di situ. Kebanyakan benda-benda yang memiliki kenangan penting untuknya termasuk hasil test pack yang diberi tanggal dan tahun sebelum Chika lahir.
Fokus Mirna beralih pada amplop yang sudah disobek bagian ujungnya. Ternyata isinya foto-foto seperti yang diperlihatkan Anita pagi ini tapi jumlahnya lebih banyak.
Degup jantung Mirna kembali tidak karuan karena foto-foto yang dilihatnya menggambarkan dengan jelas kalau Damar cukup akrab dengan Marsha, beberapa di antaranya malah tampak Damar sedang bersandar di bahu Marsha tapi seperti sedang mabuk.
Begitu sampai pada bagian terakhir, Mirna menautkan kedua alisnya.
“Panti Asuhan Kasih Ibu,” gumam Mirna.
Terlihat sepasang remaja berfoto dengan seorang pria dan wanita paruh baya di bawah papan bertuliskan Panti Asuhan Kasih Ibu.
Mata Mirna menyipit, mencoba mengenali wajah-wajah yang terpampang di hadapannya. Saat melihat lebih dekat, Mirna yakin kalau pria remaja itu adalah Damar dan yang perempuan adalah Marsha. Mirna lupa-lupa ingat dengan wanita paruh baya itu tapi wajah si pria benar-benar kelihatan asing.
Setelah menimbang-nimbang akhirnya Mirna mengembalikan kotak kaleng itu ke tempatnya semula. Hanya botol obat dan foto terakhir yang dikeluarkan dan langsung disimpan dalam tas tangannya.
Satu lagi kebohongan cerita Damar ditemukan Mirna. Kalau benar kedua remaja di foto itu adalah Damar dan Marsha berarti mereka sudah saling kenal sejak lama sementara Damar hanya bilang kalau Marsha adalah tenaga profesional yang direktrutnya untuk membantu di perusahaan dan baru belakangan ia tahu kalau wanita itu adalah teman baik Firman.
***
Tidak sesuai tebakan Rangga dan Damar, sepanjang makan malam Mirna jadi pendiam, lebih banyak berinteraksi dengan Chika dan mama daripada bertanya soal masalah Rangga.
Kedua pria yang duduk berdekatan itu saling berkomunikasi dengan bahasa isyarat, sama-sama tidak paham dengan sikap Mirna yang berubah seratus delapan puluh derajat.
Padahal Rangga dan Damar sengaja pulang lebih awal dan sudah tiba di rumah sebelum jam 6 sore tapi Mirna malah kelihatan acuh dan fokus membantu mama di dapur.
“Damar bilang kamu mendadak pingin kemari. Kenapa ? Kangen sama kakak gantengmu ini ?” canda Rangga sambil merangkul bahu Mirna yang sedang merapikan meja makan.
Papa, mama dan Chika sudah duluan ke ruang tengah, hanya tinggal Damar yang masih tinggal di situ.
“Akhirnya otak kak Rangga bisa normal juga,” sahut Mirna melirik sekilas lalu lanjut mengelap meja makan.
Damar tertawa sementara Rangga memutar bola matanya lalu menggerutu.
“Jimat peletnya udah kadaluwarsa,” jawab Rangga asal.
“Yakin pelet, bukannnya kakak yang bodoh karena terobsesi sama mbak Nita ?”
“Udah berani ngatain kakakmu bodoh dan setengah ?”
Mirna menghela nafas lalu menarik kursi dan duduk kembali, kali ini posisinya berhadapan dengan Damar dan Rangga di sebelahnya.
“Sudah jelas-jelas dari dulu mbak Nita sukanya sama mas Damar tapi kak Rangga malah tutup mata. Mau aja dapat cinta bekas dari mbak Nita, itu pun udah nggak mulus, mungkin banget malah udah karatan.”
Damar makin tergelak mendengar kata-kata ejekan yang keluar dari mulut Mirna tapi Rangga tidak tersinggung sama sekali malah pria itu menautkan alis menatap Mirna yang berbicara tanpa ekspresi.
“Kamu sudah ingat kalau pernah berantem sama Anita gara-gara aku dan Damar ?”
Damar langsung terdiam mendengar pertanyaan Rangga dan ikutan menatap Mirna yang masih diam, sengaja tidak langsung menjawab membuat kedua pria itu penasaran.
“Kamu sungguh-sungguh sudah ingat tentang aku dan masa lalumu, Mir ?” tanya Damar dengan nada tidak sabar menunggu jawaban istrinya.
Mirna mendongak, menghela nafas sambil menatap kedua pria di depannya bergantian.
“Siapa yang bilang aku udah ingat ? Aku tahunya dari mbak Nita, tadi pagi dia yang cerita tapi tetap saja aku nggak ingat.”
Mirna beranjak dari kursinya dan meninggalkan kedua pria itu yang kembali saling menatap lalu sama-sama menggeleng dan mengangkat kedua bahunya.