NovelToon NovelToon
SERENA (Aku Ingin Bahagia)

SERENA (Aku Ingin Bahagia)

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Anak Yatim Piatu / Diam-Diam Cinta / Mengubah Takdir / Guru Jahat
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: Nita03

Doa Serena setiap waktunya hanya ingin bahagia, apakah Serena akan merasakan kebahagiaan yang dia impikan? atau malah hidupnya selalu di bawah tekanan dan di banjiri air mata setiap harinya?.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nita03, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Halaman Dua Puluh

***

Jam menunjukkan pukul sepuluh pagi ketika Hafiz akhirnya tiba di kantor. Biasanya, ia datang lebih pagi—menyempatkan diri mengecek laporan atau berbicara dengan tim manajemen sebelum aktivitas kantor benar-benar dimulai. Namun hari ini berbeda.

Pikirannya sejak semalam tidak pernah lepas dari Serena.

Ia masih belum tahu kabar pasti tentang kondisi gadis itu. Pesan-pesan yang ia kirim belum dibaca. Teleponnya tidak pernah tersambung. Dan itu membuatnya tidak bisa tenang. Bahkan ketika memasuki lobby kantor, Hafiz tidak langsung naik ke ruangannya.

Langkahnya justru berbelok ke arah ruang HRD yang berada di lantai bawah, tak jauh dari ruang administrasi umum.

Sesampainya di depan ruangan HRD, Hafiz mengetuk pelan dan disambut oleh salah satu staf HR, Mbak Tika.

“Selamat pagi, Pak Hafiz,” ucapnya ramah, sedikit terkejut melihat kedatangan CEO mereka ke ruang HRD yang biasanya hanya didatangi saat ada rapat atau urusan khusus.

“Pagi, Mbak Tika. Maaf mengganggu. Saya cuma ingin bertanya… Serena, staf di divisi umum, hari ini masuk nggak ya?”

Tika sedikit kaget, namun cepat-cepat membuka file data absensi digital di laptopnya. Ia mengenal nama Serena, meski tidak dekat.

“Oh, Mbak Serena? Hari ini tidak masuk, Pak. Tapi tadi kami terima surat sakitnya dari temannya—Delina, kalau tidak salah namanya. Surat dari klinik, menyatakan dia harus istirahat satu hari.”

Hafiz mengangguk pelan. Perasaannya sedikit tenang, tapi belum sepenuhnya lega.

“Begitu ya…” gumamnya. “Terima kasih infonya, Mbak.”

“Iya, Pak. Nanti suratnya kami arsipkan dan dicatat di absensi.”

Hafiz tersenyum sopan sebelum berbalik dan meninggalkan ruangan itu. Hatinya kini dipenuhi berbagai campuran rasa—lega karena Serena ternyata sakit, bukan sengaja menghilang; tapi juga semakin khawatir karena dia tidak tahu seberapa serius kondisi Serena.

Sambil berjalan menuju lift, Hafiz membuka ponselnya lagi dan menatap layar pesan yang belum sempat terkirim dari semalam.

Ia menghela nafas, lalu akhirnya menekan tombol kirim.

“Aku sudah tahu kamu sakit. Aku nggak akan ganggu kamu istirahat, tapi tolong, Serena… jangan hindari aku. Aku cuma ingin tahu kamu baik-baik saja.”

Pesan itu terkirim. Kini tinggal menunggu… apakah Serena akan membacanya.

Dan yang paling ia harapkan—Serena bersedia membuka pintu hatinya lagi, meski hanya sedikit.

Sebenarnya Hafiz ingin menemuinya. Tapi ia takut Serena merasa tidak Nyaman Dengan kedatangan dirinya.

Mungkin nanti saat Serena sudah masuk kerja akan menemui Serena.

.

Jam makan siang baru saja dimulai saat Hafiz keluar dari ruangannya, bermaksud mengambil napas sejenak. Ia hendak ke pantry untuk mengambil kopi ketika langkahnya terhenti di depan lobby lantai eksekutif.

Di sana, sosok yang sudah ia kenal sejak lahir berdiri anggun dengan setelan kebaya modern warna krem muda. Bu Farhana—ibunya—menatapnya dengan senyum yang tidak bisa sepenuhnya ia percayai hari ini.

“Hafiz,” sapa Bu Farhana, suaranya tenang tapi tegas. “Mama minta waktu sebentar. Nggak bisa ditunda lagi.”

Hafiz memejamkan mata sebentar, lalu menghela napas.

Ia tak bisa lari kali ini.

Beberapa pegawai di sekitar mereka sempat mencuri pandang. Hafiz sadar betul, jika ia menolak bicara dengan mamanya di tempat terbuka begini, gosip bisa menyebar lebih cepat dari angin. Maka, ia memberi isyarat agar ibunya mengikutinya ke ruang meeting kecil di pojok lantai, yang biasa dipakai untuk tamu eksternal.

Begitu pintu ditutup, Bu Farhana langsung duduk. Hafiz berdiri beberapa detik, memikirkan apakah sebaiknya ia berbicara dulu… atau menunggu ibunya yang memulai.

Dan seperti biasa, Bu Farhana lebih dulu angkat suara.

“Kemarin Mama ke apartemen kamu. Kamu nggak ada. Hari ini kamu nggak bisa terus menghindar.”

“Aku nggak menghindar,” sahut Hafiz, masih berdiri. “Aku hanya butuh waktu.”

“Waktu? Untuk apa?” Mata Bu Farhana sedikit menyipit. “Untuk menjauh dari rencana pertunangan yang sudah Papa-Mama susun dengan keluarga Arini?”

Hafiz akhirnya duduk. Wajahnya tetap tenang, tapi suaranya terdengar jelas dan tajam.

“Mama, aku sudah bilang… aku belum setuju soal pertunangan itu.”

Bu Farhana menatap putranya tajam. “Arini itu gadis baik. Keluarganya baik. Cocok buat kamu. Mama nggak paham kenapa kamu berubah begini akhir-akhir ini.”

“Mungkin karena selama ini aku terlalu sering diam, Ma,” jawab Hafiz, kini menatap langsung ke mata ibunya. “Aku sudah dewasa. Aku punya cara sendiri untuk menentukan hidupku.”

Hening sejenak.

Bu Farhana menyandarkan punggung ke kursi, lalu mengusap pelipisnya. “Ini semua tentang Serena, ya?”

Hafiz tak menjawab. Tapi diamnya adalah pengakuan.

“Mama lihat dia waktu di acara ulang tahun kantor. Mama tahu kamu dekat dengannya. Tapi, Hafiz… dia bukan dari lingkungan kita. Kamu pikir hidup kamu akan mudah kalau kamu memutuskan untuk bersama dia?”

Hafiz menghela napas berat. “Mama, aku nggak butuh hidup yang mudah. Aku cuma butuh orang yang membuat aku merasa hidup.”

Untuk sesaat, Bu Farhana seperti kehilangan kata. Tapi kemudian ia berdiri.

“Pikirkan baik-baik, Hafiz. Karena pilihanmu ini bukan cuma soal cinta. Ini soal masa depan—keluarga kita, nama baik kita, dan kamu.”

Tanpa menunggu jawaban, Bu Farhana melangkah keluar dari ruangan, meninggalkan Hafiz yang kembali duduk diam di kursinya. Bahunya menegang, matanya menatap lurus ke dinding, tapi dalam hatinya, satu nama terus berdentum:

Serena.

Setelah kepergian ibunya, Hafiz kembali ke ruangannya dengan langkah berat. Pintu ditutup pelan, dan ruangan yang biasanya jadi tempatnya berpikir jernih, kini terasa seperti kotak kedap udara yang menahan semua kegelisahan di dalamnya.

Ia meletakkan ponsel di atas meja, lalu membuka kotak makan siang yang tadi pagi sempat ia pesan dari pantry internal kantor. Tapi baru dua suapan masuk ke mulutnya, dan rasa ayam lada hitam itu seakan hambar, nyaris tak terasa. Nafsu makannya menguap bersamaan dengan suara ibunya yang terus terngiang di telinga.

“Arini itu gadis baik…”

“Kamu pikir hidup kamu akan mudah kalau bersama dia?”

“Ini bukan cuma soal cinta, ini soal nama baik keluarga kita…”

Hafiz menyandarkan tubuh ke sandaran kursi, menatap ke arah jendela besar yang memamerkan pemandangan kota. Mobil-mobil tampak kecil dari ketinggian lantai tiga belas, dan semuanya tampak berjalan cepat, sibuk, sibuk, sibuk—seperti pikirannya sekarang.

Ia tahu maksud orang tuanya tidak sepenuhnya salah. Ia juga tahu Arini bukan gadis buruk. Tapi semua itu tidak bisa mengubah fakta bahwa perasaannya tidak pernah tertambat ke arah Arini. Sejak mereka kecil sampai sekarang tidak ada perasaan suka kepada Arini.

Dan gadis yang berhasil membuatnya merasakan jatuh cinta itu… adalah Serena.

Sosok yang tidak sempurna menurut standar keluarganya. Tapi justru di balik kesederhanaan dan luka masa lalunya, Serena punya sesuatu yang tidak dimiliki siapapun yang pernah dikenalkan padanya—kejujuran, keteguhan, dan cahaya kecil yang muncul dari reruntuhan hidupnya.

Seseorang yang mengajarkan bahwa hidup bukan soal siapa yang paling kuat… tapi siapa yang terus bertahan.

Hafiz menatap ponselnya. Tidak ada notifikasi baru dari Serena. Pesan yang ia kirim tadi pagi pun belum dibaca. Tapi ia tidak akan menyerah. Bukan sekarang.

Karena kali ini, ia tidak ingin hidup dengan keputusan yang dibentuk oleh ketakutan orang lain. Ia ingin memilih sendiri—siapa yang akan berdiri di sisinya nanti, di tengah dunia yang kadang kejam dan penuh tuntutan.

Dan orang itu... hanya bisa Serena.

Ia kembali mengambil garpu, memaksakan diri menyuapkan makanan ke mulut. Tapi kali ini bukan untuk kenyang. Hanya supaya pikirannya punya energi untuk terus berjalan—menuju cara bagaimana ia bisa memperjuangkan Serena, dan menolak nasib yang sudah disusun orang tuanya.

Dalam diam, Hafiz mengukir satu tekad: ia akan bicara. Kepada Serena. Kepada orang tuanya. Bahkan pada siapa pun yang perlu tahu bahwa cintanya bukan hal yang bisa ditawar.

1
Yuni Ngsih
Duh Author ada orang yg ky gtu pdhal masih klwrga ,hrsnya membimbingnya bkn memarahinya cerita kamu bafu nongol bikin ku marah & kezel Thor ,kmu sih yg bikin ceritra bgs banget jd yg baca kbw emozi ....he....lanjut tetap semangat
Nita: terima kasih kak, udah mampir.
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!