Iva merupakan anak dari pengusaha yang kaya raya. Dia justru rela hidup susah demi bisa menikah dengan lelaki yang di cintainya. Bahkan menyembunyikan identitasnya sebagai anak dari turunan terkaya di kota sebelah.
Pengorbanannya sia-sia karena ia di perlakukan buruk bukan hanya oleh suami tapi juga oleh ibu mertuanya.
Di jadikan sebagai asisten rumah tangga bahkan suami selingkuh di depan mata.
Iva tidak terima dan ia membuka identitas aslinya di depan orang-orang yang menyakitinya untuk balas dendam.
Lantas bagaimana selanjutnya?
Yuk simak kisahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nonny, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 28
Iva terus menatap wajah tua Diajeng tapi yang masih terlihat cantik dan terawat. Diajeng hingga kini masih belum sadarkan diri.
"Aku heran, siapa sebenarnya yang begitu tega ingin mencelakai Tante Diajeng? Apakah mungkin saingan bisnis Mas Ben, ya? Ah entahlah. Intinya kebenaran akan terungkap jika Tante Diajeng sadarkan diri. Duh aku juga tidak bisa membayangkan jika suatu saat nanti Tante sadar dan...ah entahlah!"
Sementara saat ini Aditya sudah berhasil menemukan Ben. Ia segera mengajak Ben kembali ke rumah Iva tanpa mengatakan tentang Diajeng.
"Ikut aku pulang ke rumah Iva sekarang juga!" Aditya mencekal paksa lengan Ben tapi di tepis oleh Ben.
"Kak, maaf aku belum bisa pulang karena ada urusan yang sangat penting. Bukannya Iva saat ini ada di kantor karena barusan dia berpamitan ada urusan kantor yang harus segera di selesaikan,' ucap Ben menatap penuh keheranan ke arah Aditya.
Sejenak Aditya celingukan kesana kemari untuk mengecek situasi di sekitar." Nggak usah banyak omong jika kamu ingin bertemu dengan Mamahmu," ucap lirih Aditya khawatir ada yang mendengar percakapannya bersama dengan Ben.
Seketika mata Ben membola dan mulutnya yang sempat terperangah di tutup oleh Aditya dengan salah satu tangannya. "Nggak usah banyak tanya dulu yang terpenting ke rumah Iva!"
Ben tidak lagi berani untuk membantah perkataan Aditya selaku kakak iparnya. Ia menuruti kemauan Aditya mengekor di belakang tubuh lelaki muda berwajah sangat tampan.
Aditya segera melajukan mobilnya arah pulang dan hanya beberapa menit saja sudah sampai di rumah Iva. Kebetulan juga Cakra sudah sampai dengan beberapa perawat dan seorang Dokter khusus untuk merawat Diajeng.
"Astaghfirullah, bagaimana bisa kondisi Mamah seperti ini? Kok bisa ada di rumah ini, sayang?" Ben menatap iba ke arah wanita paruh baya yang tergeletak tak berdaya di ranjang.
Sejenak Iva menceritakan apa yang terjadi pada Diajeng kepada Ben. Lelaki tampan nan rupawan tersebut mendengarkan cerita dari sang kekasih hatinya dengan begitu seksama.
"Astaga, jadi selama ini kalian berdua sudah saling kenal? Sayang, kok kamu nggak cerita jika sudah mengenal Mamah?"
Iva sempat menghela napas panjang mendengar pertanyaan Ben. "Astaghfirullah Mas, barusan kamu nggak memperhatikan ceritaku sehingga bertanya lagi. Aku dan Tante Diajeng sama-sama tidak tahu. Dia tidak tahu jika aku adalah Iva yang sudah mengecewakanmu dan Tante. Aku juga tidak tahu jika Tante, Mamahmu Mas."
Sejenak Iva mengajak Ben dan kedua kakaknya bercengkrama di ruang tengah untuk membahas tentang kasus yang menimpa Diajeng.
"Mas, sepertinya ada seseorang yang ingin mencelakai Mamah. Lantas apa yang akan kamu lakukan untuk menangkap pelakunya? Apakah mau melapor ke polisi atau bagaimana?" tanya Iva penasaran.
Sejenak Ben terdiam, seolah sedang berpikir. Tapi ia heran juga kok ada orang yang berniat jahat pada Diajeng. "Jika kita melapor ke polisi, secara, kasihan Mamah yang sedang terbaring tak berdaya harus sering berhadapan dengan aparat hukum. Apalagi barusan Dokter menyatakan jika Mamah koma dan entah kapan akan sadar kembali. Selama ini kami hidup aman tenteram. Jika memang ini karena ulah salah satu saingan bisnis, aku rasa tidak. Jika mereka ingin berbuat ja hat pasti sudah melakukannya dari dulu. Ah entahlah, sayang. O takku untuk saat ini sedang tidak bisa di ajak untuk berpikir seolah buntu apalagi jika aku ingat jenazah yang ada di rumah sakit itu. Dimana di dalam tasnya ada kartu identitas Mamah. Wajahnya sulit untuk di kenali karena rusak akibat dari tertabrak itu."
Cakra dan Ben tidak tinggal diam, mereka juga akan membantu untuk menyelidiki kasus tersebut tanpa campur tangan aparat kepolisian. Jika mereka sudah berhasil mengumpulkan semua bukti dan menangkap pelaku barulah mereka akan melapor.
Cakra dan Aditya mencoba memberikan penghiburan pada Ben dan bahkan meminta Ben untuk merahasiakan keberadaan Diajeng pada siapapun juga.
"Ben, kamu jangan memperlihatkan kesedihanmu di depan khalayak ramai. Anggap saja tidak terjadi hal buruk pada Tante Diajeng. Kamu nggak usah bercerita apapun ya. Cukup kita yang tahu karena aku merasa pelakunya orang terdekatmu. Entah itu salah satu saudara atau tetangga. Kita akan membantumu untuk segera menemukan pen jahat itu. Kami harap kamu juga menyelidiki secara sembunyi-sembunyi orang-orang yang ada di sekitarmu yang sering berinteraksi dengan Tante Diajeng. Mungkin salah satu diantara mereka yang tengah berusaha mencelakai Tante Diajeng," ucap Cakra yang disertai anggukan kepala.
Ben memutuskan untuk tinggal di rumah Iva, supaya dia lebih leluasa untuk memantau perkembangan kesehatan Diajeng.
Sementara di rumah Ben, Bela kelimpungan karena Ben tidak juga pulang. "Sudah selarut ini kok Mas Ben tidak pulang-pulang ya? Ah mending aku telepon saja deh."
Bela meraih gawainya dan memencet nomor ponsel Ben. "Mas, kamu dimana sih? Apa sedang bersama dengan Tante? Kenapa sudah selarut ini kalian nggak pulang? Rumah rasanya sepi sekali, Mas," ucap Bela dengan manja dari balik telepon.
"Nggak usah telepon lagi! Yang jelas aku dan Mamah dalam kondisi baik-baik saja. Nggak usah mencemaskan kami."
Setelah mengatakan hal tersebut, Ben menutup panggilan telepon dari Bela yang membuat Bela begitu kesal dan melempar ponselnya ke ranjang. "Ben, sialan! Masih saja bersikap dingin dan jutek ke aku. Tapi aku tidak akan tinggal diam, Mas Ben. Dengan segala cara akan aku lakukan untuk bisa memilikimu."
Bela melangkah menuju ke kamar Ben, entah apa yang ingin ia cari. Tapi sesampainya di depan pintu kamar tersebut, ia harus kecewa karena pintu tidak bisa dibuka. "Si@l@n, pintunya di kunci dari luar. Padahal aku ingin mencari tahu bagaimana wajah gadis yang di sukai oleh Mas Ben supaya aku bisa dengan mudah menyingkirkannya. Karena....
"Non Bela, sedang apa berada di depan pintu kamar Den Ben?"
Satu teguran berhasil membuat Bela terlonjak kaget. Ia menoleh ke sumber suara dan berkacak pinggang. "Heh b@bu, nggak usah turut campur urusan majikanmu ya? Urus saja pekerjaanmu, apa mau aku pecat, hah?" ucapnya dengan lantang sembari melotot.
Bibi sama sekali tidak gentar, ia justru tersenyum miring ke arah Bela. "Yang bayar saja Den Ben, jadi nggak usah sok mengancam karena saya tidak akan keluar dari rumah ini jika bukan karena perintah Den Ben atau Nyonya Diajeng. Saya memang b@bu tapi masih punya etika dari pada situ, sudah numpang tapi nggak tahu diri. Menyelinap seperti m@ling."
Setelah mengatakan hal tersebut Bibi dengan santainya melangkah pergi sembari mencibir ke arah Bela.
Selagi dia emosi, ponsel yang ada di dalam kamar berdering. Dengan sedikit berlari, Bela menuju ke kamarnya. Dengan senyum mengembang, ia meraih ponsel dengan harapan Ben yang menelepon dirinya. Tapi wajahnya berubah masam ketika melihat nomor yang tertera pada ponselnya. "Huh, ada apa lagi sih? Padahal aku sudah bayar mahal dia!"
Dengan enggan, Bela mengangkat telepon. "Apa lagi sih? Bukannya aku sudah memberikan upah yang begitu besar? Aku sudah katakan supaya kamu lekas pergi dari kota ini! Jangan menampakkan batang hidungmu di depanku!" ucap Bela lirih tapi masih terdengar dengan nada menohok penuh penekanan.
"Nggak bisa begitu! Saya butuh uang lagi, Nona cantik. Uang yang waktu itu tidak cukup! Jika kamu.....
VISUAL
lanjut