Jihan yang polos dan baik hati perlu mengumpulkan uang dalam jumlah yang besar untuk membayar tagihan medis ibunya yang sakit parah. Terpaksa oleh situasi, dia menandatangani kontrak pernikahan dengan CEO perusahaan, Shaka. Mereka menjadi suami istri kontrak.
Menghadapi ibu mertua yang tulus dan ramah, Jihan merasa bersalah, sedangkan hubungannya dengan Shaka juga semakin asmara.
Disaat dia bingung harus bagaimana mempertahankan pernikahan palsu ini, mantan pacar yang membuat Shaka terluka tiba-tiba muncul...
Bagaimana kisah perjalanan Jihan selama menjalani pernikahan kontrak tersebut.?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Clarissa icha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
Shaka masih duduk di sofa sambil memijat pelipisnya. Saking pusing dan bingung mencari solusi atas permintaan Sonia, Shaka sampai tidak sadar kalau di dalam ruangannya masih ada Diana. Dengan santainya Shaka melepaskan jas, mengendurkan dasi dan melepaskan 3 kancing kemeja warna putih yang dia kenakan. Diana sontak melotot, detik berikutnya dia menutup mata dengan telapak tangan.
"Pak Shaka ngapain buka kancing kemeja depan saya.?" Protes Diana dengan telapak tangan yang masih menutupi mata. Sebenarnya pemandangan di depan mata cukup memanjakan mata kaum hawa, pasalnya dada Shaka cukup bidang dengan pahatan yang sempurna. Di dukung dengan wajah yang good looking. Sayang sekali kalau pemandangan seperti itu di sia-siakan, hanya saja Diana cukup sadar diri. Dia sudah punya suami dan anak.
"Diana.!!" Pekik Shaka kaget, matanya melotot tajam dan reflek mengambil jas untuk menutup bagian dadanya yang terekspos. Walaupun punya badan sempurna, tapi Shaka tidak suka memamerkan otot-ototnya yang kata orang-orang bisa membuat hangat rahim kaum hawa.
"Ngapain kamu masih disini.?!" Sewot Shaka sambil mengancing kemejanya lagi di balik jas.
Diana mengintip dari sela jarinya, dia membuka mata saat melihat dada Shaka sudah di tutup oleh jas warna abu-abu.
Sambil menyingkirkan tangan dari wajahnya, dia menyengir kuda tanpa dosa. Dia santai saja menghadapi ucapan ketus Shaka karna sudah kebal.
"Sebenarnya saya sedang butuh bantuan Pak Shaka. Semoga Pak Shaka bisa bantu." Tutur Diana.
"Langsung intinya saja, kamu tau sendiri saya nggak suka basa-basi." Sahutnya datar.
Diana mengangguk paham, dia kemudian mengatakan ingin meminjam uang sebanyak 200 juta. Shaka jelas kaget. Selama beberapa tahun bekerja dengannya, Diana tidak pernah meminjam uang sampai ratusan juta. Paling banyak 50 juta, itupun baru 2 kali Diana meminjam padanya.
Akhirnya Shaka mengajukan banyak pertanyaan, Diana seperti sedang di interogasi. Di tanya akan dipakai untuk apa uang sebanyak itu. Saat Diana menjawab untuk di pinjamkan pada sahabatnya, Shaka sampai mengerutkan dahi. Tatapannya tampak menelisik, penuh kecurigaan.
"Sahabat yang mana.? Kamu nggak takut di tipu.?" Cecar Shaka. Dia sebenarnya bisa saja langsung mentransfer uang 200 juta pada sekretarisnya, tapi karna sedikit mencurigakan, Shaka harus memastikan dulu kalau sekretarisnya sedang tidak di tipu orang lain.
Diana menggeleng keras. Mana mungkin dia di tipu, sedangkan Diana sendiri yang menawarkan pinjaman pada Jihan. Lagipula Diana sudah mengenal Jihan luar dalam. Mamanya Jihan memang sedang sakit keras.
"Dia sahabat saya sejak kuliah Pak, orangtuanya sakit keras, 2 hari lagi harus di operasi."
"Dia juga jadi tulang punggung keluarga, Papanya sudah meninggal. Sekarang harus biayain kuliah adiknya juga."
"Kebetulan sahabat saya kerja di perusahaan Pak Shaka, namanya Jihan. Staff di divisi umum." Terang Diana. Shaka tampak diam, dia sedang berusaha mengenali nama Jihan yang bekerja di perusahaannya itu. Namanya tidak asing, tapi Shaka tidak tau persis seperti apa orangnya.
Tiba-tiba muncul ide gila di kepala Shaka. Entah dari mana datangnya ide gila itu, padahal Shaka sudah jadi jomblo tahunan dan jarang bergaul dengan orang-orang yang memberikan pengaruh buruk.
"Kalau dia kerja di perusahaan saya, kenapa harus kamu yang pinjam.? Bawa orangnya ke ruangan saya, biar dia pinjam langsung sama saya.!" Titah Shaka tegas.
...******...
Jihan mendadak keringat dingin saat diberi tau oleh Diana untuk menemui CEO perusahaan. Tadinya Jihan menolak, dia lebih baik mencari pinjaman di tempat lain dari pada harus meminjam langsung pada CEO di perusahaannya. Status sosial yang berbanding terbalik membuat Jihan takut jika harus berurusan dengan Shaka.
"Aku cari pinjeman di tempat lain saja deh Mba. Takut kalau harus berurusan sama Pak Shaka." Tutur Jihan. Mungkin sudah kelima kalinya Jihan ingin mengurungkan niat menemui Shaka. Tapi selalu dipaksa oleh Diana.
"Lebih takut mana kalau Mama kamu nggak bisa di operasi karna susah dapat pinjaman.?" Diana menaikan sedikit nada bicaranya, lama-lama dia gemas sendiri pada Jihan. Sudah di bilang kalau Shaka tidak semenakutkan apa yang orang-orang katakan, tapi Jihan tidak percaya. Gara-gara bosnya jarang senyum, irit bicara, selalu pasang wajah datar. Semua karyawan yang tidak pernah berinteraksi dengan Shaka, berfikir kalau Shaka menakutkan.
Jihan terdiam mendengar ucapan Diana. Benar yang Diana bilang, saat ini yang paling penting adalah uang untuk biaya operasi Mamanya. Jihan akhirnya mantap ke ruangan Shaka, di antara Diana.
Berhenti di depan pintu ruangan Shaka, Jihan memegangi dadanya. Jantungnya berdetak kencang, tiba-tiba gugup, takut dan overthinking.
Sampai akhirnya Diana membuka pintu setelah mengetuknya lebih dulu.
"Ayo masuk." Diana menarik tangan Jihan dan membawanya masuk ke ruangan Shaka. Ini pertama kalinya Jihan menginjakan kaki di ruangan CEO tempatnya bekerja. Kesan pertama Jihan saat memasuki ruangan luas itu adalah mewah dan wangi pastinya. Aroma parfum maskulin menguar di indera penciuman Jihan.
Di balik meja kebesarannya, Shaka menoleh ke arah pintu yang baru saja di tutup oleh Diana. Manik matanya mengamati sosok wanita muda di samping sekretarisnya. Shaka memperhatikan penampilan Jihan dari ujung kepala sampai kaki.
Penampilannya rapi dengan kemeja biru muda dan celana jeans, dipadukan hills warna hitam. Rambut panjangnya di kuncir kuda. Di banding staff dan karyawan lain, cara berpakaian Jihan tergolong sopan. Tidak memamerkan paha, apalagi belahan da-da. Kemejanya di kancing sampai atas, hanya menyisakan satu kancing saja.
Yang paling penting adalah wajahnya. Ya, wajah Jihan lebih banyak menarik perhatian Shaka. Memang tidak secantik dan se glowing model ataupun artis-artis, tapi cukup lumayan.
"Pak Shaka, ini Jihan." Kata Diana yang sudah berdiri di depan meja kerja Shaka. Di belakang Diana, Jihan melempar senyum ramah pada Shaka sembari membungkuk sopan.
"Selama siang Pak Shaka." Sapa Jihan ramah.
Bukannya membalas sapaan Jihan, Shaka malah mengalihkan tatapannya pada Diana.
"Kamu boleh keluar Diana." Usir Shaka secara halus.
Diana mengangguk paham.
"Sahabat saya jangan di apa-apain ya Pak, dia masih polos." Candanya pada Shaka.
Jihan melotot seraya menyikut Diana dengan ekspresi panik. Diana hanya mengulum senyum jahil. Sementara itu, Shaka tidak memberikan reaksi apapun, sejak awal wajahnya belum berubah, masih datar.
"Semoga dapet pinjeman ya." Ucap Diana berbisik.
"Makasih banyak Mba." Balas Jihan, dia kemudian menatap kepergian Diana yang sudah keluar dari ruangan itu, meninggalkan dia dan Shaka.
"Duduk, ngapain masih berdiri disitu." Celetuk Shaka dengan nada datarnya.
"Eh,, i-iya, makasih Pak." Jihan buru-buru duduk di depan meja kerja Shaka.