Nikah itu bukan penyelamat hidup, tapi pergantian fase. Dari yang semula melajang menjadi berpasangan. Bukan pula sebagai ajang pelarian agar terbebas dari masalah, justru dengan menikah trouble yang dihadapi akan semakin kompleks lagi.
Tujuan pernikahan itu harus jelas dan terarah, agar menjalaninya terasa mudah. Jangan sampai menikah hanya karena desakan orang tua, dikejar usia, atau bahkan ingin dicukupi finansialnya.
Ibadah sepanjang masa, itulah pernikahan. Diharapkan bisa sekali seumur hidup, tidak karam di pengadilan, dan berakhir indah di surga impian. Terdengar sederhana memang, tapi pada prakteknya tidak semudah yang diucapkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon idrianiiin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28-Kesepakatan
Aku merasa ini sudah sangat berlebihan. Diberi hadiah butik oleh anaknya, lantas diberi tiket gratis umroh dari ibunya. Dan itu terjadi dalam waktu yang berdekatan. Aku takut ini merupakan sebuah ujian untuk mengetes tingkat kematreanku.
Aku menatap tanpa minat sertifikat butik yang tertera jelas namaku, serta tiket umroh pun tergelak di meja begitu saja. Kepalaku malah pening, bisa-bisanya mereka bertindak aneh, dan di luar dari kebiasaan. Kalau untuk Mama sih tidak terlalu, tapi untuk ukuran Bang Fariz aku patut mewaspadai.
"Kamu mau nafkah perbulan, kan? Mau di-transfer atau cash?" tanya Bang Fariz yang baru saja kembali dari dapur dengan secangkir kopi hitam.
"Abang abis kepentok apa sih? Kok sekarang gampang banget keluarin uang. Dulu mah boro-boro, susahnya minta ampun!"
Bang Fariz lebih memilih untuk menyeruput kopinya terlebih dahulu sebelum berujar, "Abang sedang berusaha menjadi suami yang sesuai dengan keinginan kamu. Ada yang salah?"
Aku mengangguk cepat. "Ada, jelas sangat ada. Karena perubahan Abang terlalu signifikan dan mencurigakan. Apa yang lagi Abang rencanakan?"
Bang Fariz malah geleng-geleng kepala lalu kembali meletakkan gelasnya di atas meja. "Abang pelit dan perhitungan diomelin, Abang royal malah dicurigain. Sekarang malah Abang yang bingung, serba salah jadinya."
"Bukan gitu maksud aku. Aku cuma gak habis pikir aja, kok perubahan Abang bisa secepat kilat ini. Dari dulu aku desak-desak supaya berubah, gak ada hasilnya."
Bang Fariz menghela napas singkat lalu berucap, "Abang juga kurang ngerti sama perubahan dalam diri Abang. Dulu tuh berat banget kalau kasih kamu lembaran, bawaannya pusing dan nethink. Tapi semenjak kejadian di rumah Mama waktu itu buat Abang mikir. Ternyata sejahat itu yah Abang sama kamu."
"Ya mana aku tahulah. Seharusnya Abang yang lebih mengetahui tentang diri Abang sendiri," sahutku.
"Saat tahu alasan Arum morotin Abang, semua trauma itu seakan hilang. Kayak ya udah gitu, lagi pula uang yang diambil Arum untuk kepentingan berobat Papa, untuk menutupi biaya sehari-hari, dan juga kuliah Arumi. Abang jadi lebih legowo," imbuhnya dengan pandangan menerawang.
"Abang masih ada rasa sama Mbak Rumi?" tanyaku memastikan. Aku benar-benar butuh validasi yang kuat, agar hatiku tak diliputi kecemburuan terus-menerus.
"Ngaco kamu. Nggaklah, rasa cinta itu sudah lama hilang. Yang ada sekarang itu rasa ingin melindungi, karena, kan dia adik Abang," jelasnya.
Aku mengembuskan napas lega. "Syukurlah kalau gitu. Aku gak mau Abang ada skandal sama adik kandung Abang sendiri."
"Astagfirullahaladzim, kamu kalau ngomong suka sembarangan. Gini-gini Abang masih punya iman dan juga akal," sela Bang Fariz.
"Aku, kan cuman nanya dan memastikan aja. Gak usah ngegas gitu."
Bang Fariz hanya memutar bola mata malas dan kembali menyeruput kopinya hingga tandas.
"Kamu gak usah cemburu buta gitu. Di hati Abang hanya tertulis nama kamu seorang. Nggak akan ada yang lain," katanya terdengar begitu menggelikan.
Aku melempari wajahnya dengan bantal sofa. "Jijik banget aku dengernya. Merinding bulu roma!"
Tanpa tahu malu Bang Fariz malah tertawa terbahak-bahak. Punya suami gini amat Ya Allah.
"Oh, ya kabar Ibu sama Bapak gimana?"
"Alhamdulillah kabar baik, tadi aku teleponan sama Ibu. Kenapa emangnya?"
"Nggak papa, nanya keadaan mertua emang gak boleh?" Bang Fariz malah balik mengajukan pertanyaan.
Aku berdecak pelan. "Modus, kan, pasti ujungnya mau tanyain soal kelanjutan hubungan Mas Rezza dan juga Mbak Rumi."
"Kalau iya, kenapa? Salah emangnya?"
"Ish, kok sensi gitu sih. Biasa aja dong!"
Bang Fariz memilih untuk menghentikan perdebatan. Sekarang dia lebih banyak mengalah. Sepertinya ini yang dinamakan dengan hikmah di balik musibah. Pertengkaran beberapa waktu lalu berhasil membawa banyak perubahan dalam diri Bang Fariz. Aku harap ini tidak hanya sementara, maunya sih selamanya.
"Salah Abang sih kenapa juga ngadu sama Mas Rezza soal masa lalu Abang sama Mbak Rumi. Sudah tahu Mas Rezza itu sumbu pendek, gampang banget naik pitam. Jadi, kandas, kan hubungan mereka," semburku berhasil kembali menarik fokus Bang Fariz.
"Maksud kamu apa? Kalau ngomong yang jelas."
"Perasaan itu sudah sangat jelas deh. Hubungan Mas Rezza dan Mbak Rumi selesai. Aku juga sudah berusaha untuk meluruskan kesalahpahaman di antara mereka, tapi sepertinya Mas Rezza masih teguh pendirian," sahutku lebih mendetail.
"Seharusnya dulu Abang gak ikut campur, mungkin hubungan mereka nggak akan berakhir. Abang jadi ngerasa bersalah," tutur Bang Fariz syarat akan penyesalan.
"Justru aku mau bilang makasih sama Abang, karena akhirnya hubungan haram itu selesai. Aku sudah capek ngingetin Mas Rezza, emang jalannya gini kali."
"Kamu gak setuju kalau Mas Rezza sama Arum?"
"Bukan nggak setuju, aku hanya gak suka sama tindakan mereka yang lebih memilih pacaran, mana itu sudah lama banget lagi. Kalau emang sama-sama suka ya dihalalkan aja. Simpel, kan?" terangku.
"Pernikahan nggak sesederhana itu. Kita yang belum genap setahun menikah aja cobaannya dari berbagai arah. Perlu bekal dan ilmu yang cukup, gak bisa asal nikah, dan yang penting sah," tutur Bang Fariz mengingatkan.
Aku mengangguk setuju. "Katanya ujian datang di saat umur pernikahan sudah lima tahun ke atas. Riset itu kayaknya salah, atau memang gak berlaku buat kita aja yah, Bang?"
"Mungkin karena kita terlalu cepat memutuskan untuk menikah, padahal kita sama-sama belum tahu karakter masing-masing. Masih dalam fase adaptasi dan juga belajar mengenali."
"Itu sih salah Abang, yang ngebet banget nikahin aku. Padahal baru dua kali ketemu," cetusku.
"Buat apa pacaran lama kalau ujungnya gak jodoh, mending langsung nikah kalau emang sudah sama-sama cocok. Abang lebih milih jalur halal, dibanding jalur haram. Kayak kamu mau aja diajak pacaran?"
Aku mengangkat sebelas alisku. "Aku tuh gak akan nolak kalau diajak pacaran, asalkan sudah akad. Itu harga mati, gak bisa ditawar-tawar. No khalwat until akad. Anti berdua-duaan sebelum adanya pernikahan."
"Ya udah mumpung sekarang malam Minggu mending kita pacaran dulu," celetuk Bang Fariz.
"Di luar gerimis, Bang, males kalau harus keluar."
Bang Fariz berdecih pelan. "Katanya tadi mau diajak pacaran kalau sudah akad, sekarang malah ditolak."
"Emang mau ke mana sih?"
"Ke mana pun asal sama kamu," gombalnya yang langsung kuhadiahi putaran bola mata malas.
"Abang mau mengganti waktu yang terbuang sia-sia. Mulai sekarang Abang mau lebih banyak menghabiskan waktu sama kamu. Kita memang harus berpacaran untuk bisa saling mengenal," ralatnya terdengar cukup serius.
"Beneran nih? Tapi syaratnya gak ada gopean di antara kita. Deal?" Aku mengulurkan tangan meminta kesepakatan.
Bang Fariz meyambutnya dengan begitu semangat. "Deal. Jadi, schedule malam ini mau ke mana?"
Aku sejenak berpikir. "Sebagai permulaan kayaknya mending ke taman kota. Selain gratis, juga bisa menghemat pengeluaran. Jajan di pinggir jalan, kayaknya seru."
Bang Fariz terkekeh pelan. "Sekarang kamu yang perhitungan. Lebih doyan gratisan dan juga sangat amat hemat soal pengeluaran."
Tanpa sadar aku malah ikut tertawa. Kami saling menertawakan hal yang sebelumnya mengundang banyak prahara.