NovelToon NovelToon
Renjana Senja Kala

Renjana Senja Kala

Status: tamat
Genre:Romantis / Contest / Romansa / Tamat
Popularitas:19.3M
Nilai: 5
Nama Author: Sephinasera

SEGERA TERBIT CETAK

"Renjana Senja Kala" adalah spin off dari "Beautifully Painful".

***

Tama dan Kinan memiki karier cemerlang, rising star di bidang masing-masing. Namun karakter juga sikap kaku Tama, luka batin masa kecil Kinan, serta kehadiran Pramudya, dokter spesialis jantung kharismatik menghancurkan segalanya. Tama dan Kinan sepakat untuk berpisah. Meninggalkan Reka, putra semata wayang mereka yang tumbuh dalam kebencian terhadap sosok seorang ayah.

Tapi terkadang, perpisahan justru jalan keluar terbaik. Ibarat mundur selangkah untuk melesat jauh ke depan.

Kinan mulai menyembuhkan luka bersama Pramudya. Tama berhasil menemukan cinta yang selama ini dicari dalam diri Pocut, wanita sederhana nyaris tanpa ambisi. Dan Reka mulai memahami bahwa semenyakitkan apapun kehidupan yang harus dijalani, selalu ada kebaikan serta harapan di sana.

Hasrat cinta yang kuat di akhir masa penantian.
Renjana Senja Kala.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sephinasera, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 31. Gone Too Soon

Gone Too Soon

(Pergi terlalu cepat)

-diambil dari judul lagu yang dinyanyikan oleh Michael Jackson-

***

Jogjakarta

Dara

Ia baru menyelesaikan artikel ilmiah tentang kecemasan (ansietas). Untuk dipresentasikan pada gelaran simposium psikologi dua hari mendatang.

Kemudian beranjak ke kamar anak-anak. Memastikan selimut telah terpasang dengan benar. Dan nyala AC tak terlalu dingin.

Namun saat melewati ruang tengah, suara dering ponsel yang berasal dari dalam kamar tidur berhasil mengejutkannya.

Siapa orang yang menelepon tengah malam begini?

Mustahil jika itu adalah Mas Sada. Sebab suaminya itu sedang melakukan pengejaran terhadap TO (target operasi) jaringan pengedar ratusan kilogram ganja kering kiriman dari pulau Sumatera.

Anja Calling.

Ia sempat mengernyit sebelum mengangkat panggilan, "Iya, Ja?"

Tapi Anja tak mengatakan apapun. Adik iparnya itu justru terisak-isak di telepon.

"Papa ...." bisik Anja lirih. Ketika ia hampir bertanya ada apa.

Tanpa sadar matanya langsung memandangi foto keluarga, yang tersimpan di atas meja kerja Mas Sada.

Foto mereka sekeluarga bersama Papa, Mama, dan Ambu (ibu -bahasa Sunda-). Ketika Mas Sada baru selesai diwisuda dari PTIK (Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian).

Tiba-tiba saja hatinya terasa hampa. Berita mengejutkan yang digumamkan Anja, dalam sekejap berhasil menguarkan rasa kehilangan yang teramat sangat.

Matanya masih menatap foto yang tersimpan di atas meja. Memandangi secara bergantian, antara wajah Papa dan Mas Sada, yang sama-sama sedang tersenyum lebar.

***

Bandung

Cakra

Ia tersentak mendengar suara pintu yang diketuk berulang kali. Membuat mata terpejamnya menyipit. Berusaha untuk bangun walau perlahan.

Tok! Tok! Tok!

"Den Cakra?"

Ia melirik ke arah jam digital yang tersimpan di atas nakas.

Masih tengah malam. Dan ia baru terlelap kurang dari setengah jam. Usai mengerjakan tugas kuliah untuk dikumpulkan esok pagi.

"Ada apa, Mang?" tanyanya dengan mata menyipit karena silau.

Mang Ujang yang sedari tadi mengetuk pintu dan memanggil namanya, berdiri di depan pintu dengan ekspresi wajah gugup.

"Barusan Neng Anja nelepon, Den ...." jawab Mang Ujang terbata.

Ia mengernyit. Lalu menengok ke dalam kamar. Memperhatikan ponselnya yang di matikan daya dan sedang di charge.

"Neng Anja kenapa?" tanyanya dengan kesadaran penuh dan tingkat keawasan yang tinggi. Sebab jikalau Anja sampai menghubungi nomor telepon rumah, itu berarti ada kondisi darurat.

"Anu ... itu ...." Mang Ujang menatapnya ragu.

Ia segera memakai celana jeans, menyambar ponsel, lalu meraih kunci mobil hanya dalam waktu singkat.

"Ja?" sapanya melalui sambungan ponsel. Sambil berjalan tergesa-gesa menuju ke garasi.

" ...." Tapi Anja tak menjawab sapaannya. Yang terdengar dari seberang sana hanyalah suara isak tangis.

"Aku pulang sekarang," gumamnya cepat. "Aku pulang sekarang."

***

Jakarta

Tama

Ia berlari dengan kesetanan menuju ke ruang ICU. Menabrak siapapun yang berpapasan dengannya di tengah jalan. Berharap semuanya belum terlambat.

Tapi yang didapati justru pemandangan paling memilukan. Di mana sejumlah perawat tengah berusaha melepaskan alat bantu kehidupan dari tubuh papa. Menyingkirkan endotracheal tube, ventilator, cardiac monitor.

"Bapak sudah meninggal dalam keadaan damai, Bu," ujar seorang dokter kepada mama dengan wajah menyesal. "Tidak merasakan sakit lagi."

Ia segera meraih mama yang oleng ke belakang. Menatap nanar pahlawannya yang telah terbujur kaku. Dengan seorang perawat tengah berusaha menarik kain putih menutupi keseluruhan wajah papa.

"Tunggu!" cegahnya. "Tunggu sebentar!"

Mama yang sedang menangis di dadanya ikut terperanjat.

Sembari terus memeluk mama, ia berusaha berjalan mendekati papa.

Namun begitu sampai di samping papa, mama mundur selangkah.

"Pa?" bisiknya di telinga papa dengan suara tercekat.

Namun ia tak kuasa mengucapkan sepatah katapun. Dengan buliran air mata yang mulai luruh tanpa bisa dibendung lagi.

Membuatnya memutuskan untuk menarik diri dari sisi papa. Berdiri tegak seraya kembali meraih bahu mama kemudian memeluknya.

"Terima kasih, Pa. Selamat beristirahat dengan tenang ...." bisiknya meski tak mampu terucap.

***

Pocut

Ia sedang mengacau gulai di atas panci. Sementara mamak masih mengaji di dalam bilik. Ketika Icad dengan wajah mengantuk menghampirinya di dapur.

"Yah bit nelepon ...." gumam Icad dengan mata setengah terpejam.

Ia mengernyit. Namun diterimanya ponsel dari tangan Icad.

"Assalamualaikum?" sapanya dengan kening mengerut. "Ada apa, Gam?"

Ia memandangi meja dapur dengan nanar. Di mana terdapat cangkir kopi bekas semalam yang belum dicuci. Sebab lupa tak disimpan ke dalam bak cuci.

"Ada apa, Ma?" tanya Icad dengan mata membulat. Tak lagi mengantuk seperti tadi.

Ia menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Lalu meraih Icad ke dalam pelukan.

"Innalilahi wa inna ilaihi raji'un (sesungguhnya kami adalah kepunyaan Allah dan kepada Allah jugalah kami kembali) ...." bisiknya dengan hati yang hampa.

***

Istri Antoni Raksaka

Ia baru menyelesaikan doa pagi untuk memulai hari. Ketika anak bungsu yang selalu setia menemaninya menunggui Abang, menyalakan layar televisi.

"Kabar duka datang dari keluarga besar bhayangkara. Mantan Wakapolri di era Presiden Notonegoro, Komjen (purnawirawan) Setyo Yuwono. Meninggal dunia dini hari tadi di RSPAD Gatot Soebroto."

Si bungsu menatapnya dengan penuh penyesalan. Sedangkan ia hanya bisa mengembuskan napas panjang. Tak pernah menyangka, jika Setyo yang seminggu lalu mengunjungi sang suami saat terbaring koma. Kini justru pergi menghadap-Nya lebih dulu.

Ajal memang tak pernah pandang bulu.

Setiap yang bernyawa pasti akan berpulang. Semoga damai selalu menyertaimu, sahabat.

***

Anja

Ia terus menerus memeluk Aran dengan erat. Bayi mon tok yang hampir berusia satu tahun itupun seolah mengetahui suasana menyedihkan yang sedang terjadi.

Cakra datang dari Bandung hanya berselang dua jam setelah ia menelepon. Langsung meraihnya ke dalam rengkuhan sembari berbisik tepat di telinganya,

"You can be strong (kamu bisa menjadi orang yang tabah) ...."

Ia mengangguk berkali-kali. Sebagai pernyataan jika ia mengerti dan menerima semua. Namun isak tangis tak kunjung mereda.

Cakra melakukan semuanya. Menyiapkan rumah untuk menyambut kedatangan jenazah papa. Sekaligus memastikan dirinya baik-baik saja.

Berulang kali Cakra merengkuhnya seraya membisikkan kalimat penyemangat. Meski begitu, air mata terus berderai seolah tiada habisnya.

Jenazah Papa disholatkan terlebih dahulu di Masjid Baiturrahman. Masjid yang berada di dalam kompleks perumahan tempat tinggal mereka.

Kemudian disemayamkan di rumah untuk mendapatkan penghormatan terakhir dari handai taulan dan para kerabat.

Mas Tama pulang ke rumah dengan mata memerah. Mendekapnya erat sampai ia terisak-isak cukup lama di dada kakaknya itu.

Mas Sada dan keluarga baru datang menjelang siang. Langsung menyolatkan papa dan berlama-lama memeluk mama.

Kemudian barulah menghampiri dirinya yang sedang membuai Aran. Meraih pipinya dengan kedua telapak tangan. Memastikan ia tak lagi menangis padahal air mata kembali berjatuhan. Lalu merangkumnya dengan segenap hati.

***

Tama

Dengan dibantu oleh sejumlah petugas dari pemulasaraan jenazah. Ia sendiri yang memandikan pahlawan keluarga untuk kali terakhir.

"Nanti kalau papa nggak ada ...." begitu kata papa, saat mereka sedang dalam perjalanan menuju ke makam om Gorda.

"Papa mau kamu, Sada, Cakra ... yang mengurus dan memandikan papa."

Alih-alih menjawab permintaan tak biasa papa. Ia justru menelan saliva dengan cepat. Berusaha memusatkan pandangan lurus ke depan. Mengawasi arus lalu lintas yang cukup tersendat.

"Titip mama ...."

Ia mengusap tengkuk yang sebenarnya baik-baik saja.

"Jangan lupa ... kirim bunga di hari-hari spesial untuk mama kamu ...."

"Meskipun nanti papa sudah nggak ada ... tapi mama masih bisa merasakan kebiasaan saat kami masih bersama ...."

Ia berdehem untuk membasahi tenggorokan yang mendadak terasa kering.

"Yang rukun sama Sada ...."

Ia kembali menelan saliva.

"Anaknya terlalu santai," sambung papa. "Kamu harus sering kasih masukan dan motivasi sama dia."

Kali ini ia mengangguk. Sebenarnya Sada bukan jenis orang yang terlalu santai. Hanya tipikal sangat menikmati hidup yang diliputi kebahagiaan. Hingga semua terkesan dibiarkan mengalir begitu saja. Padahal ia tahu betul peta hidup yang telah dirancang oleh sang adik sejak duduk di bangku Akpol. Sementara ia sendiri bahkan tak memiliki peta hidup sama sekali.

"Bimbing Cakra dan Anja ...."

Ia kembali mengangguk.

"Mereka berdua masih sama-sama muda. Jangan sampai kejadian kamu sama Kinan terulang pada mereka."

Ia mengembuskan napas panjang mendengar kalimat terakhir yang diucapkan papa.

"Papa percayakan semua sama kamu, Tama ...." kali ini papa menoleh ke arahnya. "Jangan kecewakan papa."

Ia mengangguk. Namun sejurus kemudian berusaha menetralkan suasana dengan berucap, "Papa kan mau panjang umur ...."

"Sebentar lagi puasa ... lebaran ... keluarga kita kumpul semua ...." Sambungnya dengan penuh keyakinan.

Tapi papa tak memberi jawaban apapun.

Kini ia menjadi wakil keluarga saat menerima tamu yang datang untuk memberi penghormatan terakhir pada papa.

"Turut berduka cita ...." Pak WBM menepuk bahunya beberapa kali. Sekaligus memimpin prosesi upacara pemakaman kebesaran.

"Izinkan kami berdiri di sini mewakili keluarga besar almarhum bapak Setyo Yuwono ...." ucapnya memulai kata sambutan dari pihak keluarga dengan suara tercekat.

Pun ketika ia, Sada dan Cakra turun langsung ke dalam liang lahat. Menyambut jenazah papa dan memposisikannya dengan tepat. Sebagian dirinya masih belum menyadari jika semua ini adalah kenyataan.

"Kalau mau cari istri baru ... cari yang bisa mendukung kamu ...." ungkap papa saat mereka sedang dalam perjalanan pulang dari rumah Cakra.

"Mau mendampingi kamu dalam situasi apapun. Sama seperti mama kamu mendampingi papa ...."

Ia hanya mengangguk.

"Wanita yang di rumah Cakra tadi ... yang kata Bu Cut suaminya meninggal di kapal tanker ...."

Ia menunggu kelanjutan kalimat yang diucapkan papa dengan gugup.

"Gimana menurut kamu?"

Ia sontak tertawa, "Gimana apanya, Pa?"

Tapi papa malah menoyor kepalanya, "Gimana apanya bagaimana?"

Membuatnya langsung menutup mulut menghentikan tawa.

"Kamu sudah akrab begitu sama anak-anaknya."

Kali ini ia menelan saliva dengan gugup.

"Minta doa restu mama kalau mau serius!" sambung papa dengan nada yang sangat tegas. "Jangan kecewakan papa untuk yang kedua kalinya."

Ia memandangi hamparan kelopak mawar merah yang menutupi tanah di atas pusara. Disaat sebagian besar tamu telah beranjak pulang. Hanya tersisa keluarga dan para sahabat.

Seseorang menepuk punggungnya dari belakang. Ketika menoleh, didapatinya sosok Rajas, Riyadh, dan Wisak.

"Armand lagi ke luar (negeri)," gumam Wisak yang ikut berjongkok di sampingnya. "Turut berduka cita dari Armand untuk Om Setyo."

Ia mengangguk.

Sementara Rajas menyiramkan air ke atas pusara sembari bergumam, "I've been here before (aku sudah berada di sini -dalam rasa duka- sebelumnya) ...."

"Om Setyo will always be missed (akan selalu dirindukan)," sambung Rajas.

Kepalanya tertunduk menatapi kelopak mawar merah yang semakin basah.

Sedangkan Riyadh menepuk punggungnya memberi kekuatan.

***

Mama

Dengan dibimbing oleh Tama, ia memberanikan diri memasuki kamar tidur.

Menatap sekeliling ruangan dengan perasaan hampa. Memandangi tempat tidur di mana semalam ia dan mas Setyo masih saling melempar senyum bersama.

"Mama bisa tidur di kamar tamu kalau mau," ucap Tama saat ia tertegun dan hanya berdiam diri di tempat.

Tapi ia menggeleng, "Mama tidur di sini."

Tama mengusap lengannya perlahan.

"Tolong temani mama ...." Pintanya dengan lidah yang kelu.

Tama mengangguk patuh.

Sebenarnya ia ingin ditemani oleh ketiga anaknya. Tama, Sada, Anja. Tidur bersama seperti saat mereka masih kanak-kanak dahulu. Saling bercerita dan bercanda. Berbagi keinginan dan harapan masing-masing.

Tapi Sada masih lelah usai melakukan operasi di lapangan dan langsung terbang ke Jakarta. Pun Anja yang terlihat paling terpukul dengan kepergian mas Setyo, sudah ada Cakra yang menemani.

Harapannya tinggal Tama seorang.

"Tama temani Mama sampai kapanpun Mama mau," jawab Tama yang terus menerus mengusap bahunya.

Ia berjalan pelan menuju ke tempat tidur. Sprei dan selimut sudah diganti dengan yang baru oleh Bi Enok. Namun kenangan akan orang yang selalu berada di sampingnya tak akan pernah lekang sampai kapanpun.

Dengan gerakan perlahan, ia mendudukkan diri di atas tempat tidur. Memejamkan mata sekaligus menarik napas dalam-dalam. Memenuhi seluruh rongga dalam tubuhnya dengan aroma kedukaan yang mendalam.

Ia sempat menyusut mata sebelum merebahkan diri dengan penuh kehati-hatian ke atas tempat tidur. Sembari merasakan aroma keharuman sang suami yang masih tertinggal.

Tama berjongkok di hadapannya seraya mencoba tersenyum, "Mama istirahat dulu ... Tama tunggu di sini."

Ia balas tersenyum meski dengan mulut kaku sebab terlalu banyak menangis. Memandangi putra sulungnya, yang memiliki wajah paling mirip dengan mas Setyo ketika masih muda.

Tangannya terulur untuk mengusap pipi sulungnya itu. Lalu berucap pelan, "Nanti tolong bangunkan Mama ... kalau Papa pulang dari kantor ...."

Tama terkejut menatapnya.

"Mama sudah masak makanan kesukaan papa ...."

Tama menatapnya iba sembari mengusap pipi keriputnya, "Mama tidur aja dulu ...."

"Asam-asam ikan gabus, semur bandeng, gulai kikil ...." tapi ia justru menyebut sederet masakan kesukaan mas Setyo.

"Padahal jeroan nggak baik untuk papa kamu. Nanti kolesterol bisa naik."

"Tapi Mama bisa apa ... papa kamu su ...." ia tak sanggup untuk melanjutkan kalimat. Sementara Tama telah bergerak memeluknya.

"Mama istirahat ... jangan mikir macam-macam ...." bisik Tama dengan suara serak. Sementara air matanya telah kembali berlinang bak air bah menjebol bendungan.

Seperti ini rasanya kehilangan, batinnya lara.

Padahal ia dan mas Setyo sudah sering membicarakannya. Tentang bagaimana jika maut memisahkan. Tentang siapa yang pergi lebih dulu dan siapa yang ditinggalkan. Tentang apa yang akan dilakukan jika menjadi yang ditinggalkan.

Tapi pada kenyataannya, ia tak bisa memikirkan dan melakukan apapun. Seluruh ingatannya bahkan dipenuhi oleh bayangan tentang semalam. Di mana dirinya dan mas Setyo masih saling melempar senyum. Namun selang beberapa menit kemudian, mas Setyo terkena serangan stroke yang memicu anfal. Hingga akhirnya mereka berdua benar-benar harus berpisah.

"Allohumaghfirlahu warhamhu wa'afihi wa'fu'anhu ...." bisiknya lirih hampir tanpa daya.

Wahai Allah, ampunilah dia, berilah dia rahmat, berilah dia kesejahteraan, maafkanlah kesalahannya.

Ia mencoba memejamkan mata. Saat itulah sebuah ciuman terasa menyentuh punggung tangannya.

"Istirahat, Ma ... Tama tunggu di sini ...."

Dan bendungannya kembali jebol oleh air bah yang semakin deras.

***

1
Yulistiani Hamid
keren habis
Bibah Jung
Part ini yang selalu bikin mewek, padahal udah baca entah yg ke berapa😭
Naumi
anak tua ya saa 😂 🤣
Lugiana
eakkk...eaaakk /Facepalm//Facepalm/
Athalla✨
penjahat pencuri hati dan pikiran kak 🥰
Furia
Karya Luar Biasa 😍😍
Ri_viE
aku slalu melewati bab yg Reka dan sasa di culik itu 🥺🥺 ngga tega bgt. kenapa konfliknya sekeras itu.
Athalla✨
nah ini support system datang juga akhirnya
Athalla✨
kak Pocut serasa lagi diomongin gk sih 😅
Athalla✨
untung gk ada mas Sada,, udah di ceng²in yang ada nanti 🤣🤣
Yah bit bukan favorit Sasa lagi 🤭
Athalla✨
harus dong, biar nggak salah paham kedepannya kan repot jadinya
Athalla✨
cegil juga nih samara
Athalla✨
jadi penasaran sama cerita temen²nya mas Tama hmm
Athalla✨
jadi salah paham kan 🤦🏻‍♀️
Athalla✨
bukan lagi gosong malah
Athalla✨
nantangin ini namanya... cuz halalin dong mas 🤭
Athalla✨
panas dingin campur salting pastinya kak Pocut
Athalla✨
tuh kan mana mau mas Tama nolak, orang dapet rejeki nomplok wkwk
Athalla✨
udah jelas ini mah mas Tama mau lah tanpa paksaan 🤣
Athalla✨
udah dapat lampu hijau dari mamak
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!