Di Desa Asri yang terpencil, Fajar Baskara, seorang pemuda multitalenta ahli pengobatan tradisional, harus menyaksikan keluarganya hancur—ayahnya lumpuh karena sabotase, dan adiknya difitnah mencuri—semuanya karena kemiskinan dan hinaan. Setiap hari, ia dihina, diremehkan oleh tetangga, dosen arogan, bahkan dokter lulusan luar negeri.
Namun, Fajar memegang satu janji membara: membuktikan bahwa orang yang paling direndahkan justru bisa melangit lebih tinggi dari siapapun.
Dari sepeda tua dan modal nekat, Fajar memulai perjuangan epik melawan pengkhianatan brutal dan diskriminasi kelas. Mampukah Fajar mengubah hinaan menjadi sayap, dan membuktikan pada dunia bahwa kerendahan hati sejati adalah kekuatan terbesar untuk meraih puncak kesuksesan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HARI PERTAMA KULIAH - DIPERMALUKAN DAMAR (TRAGIS
Senin pagi. Hari pertama kuliah.
Fajar bangun jam empat subuh—kebiasaan dari desa yang tidak bisa ia tinggalkan. Ia shalat, kemudian bersiap-siap dengan sangat hati-hati. Ia hanya punya dua kemeja—yang satu sudah sangat lusuh, yang satunya lumayan layak meskipun warnanya sudah pudar. Ia memilih yang lumayan layak, menyetrikanya dengan setrika pinjam dari Bu Kos (dengan membayar dua ribu rupiah).
Celananya hanya satu yang pantas—jeans biru yang sudah pudar dan ada sedikit sobek di bagian lutut. Sepatunya? Sepatu sekolah lama yang sudah bolong di bagian depan, ditambal dengan lem super.
Ia berdiri di depan cermin kecil yang retak di kamarnya. Menatap pantulan dirinya.
Apa aku pantas masuk ke kampus sebagus Universitas Adidaya dengan penampilan seperti ini?
Tapi kemudian ia menggeleng, mengusir pikiran itu. Ia teringat pesan ayahnya: "Jangan lupa dari mana kau berasal."
"Aku datang ke sini bukan untuk pamer penampilan," gumam Fajar pada dirinya sendiri. "Aku datang ke sini untuk belajar. Untuk mengubah nasib. Penampilan bukan segalanya."
Ia mengayuh sepeda tuanya ke kampus. Perjalanan memakan waktu empat puluh menit karena jaraknya cukup jauh. Sepanjang jalan, mobil-mobil dan motor-motor mewah menyalipnya dengan cepat, beberapa bahkan membunyikan klakson dengan nada tidak sabar seolah sepeda tuanya menghalangi jalan.
Sampai di kampus, Fajar memarkirkan sepedanya di area parkir. Security menatapnya aneh—sepeda tua di antara motor-motor mewah terlihat sangat tidak pada tempatnya, seperti sampah di tengah pameran barang antik.
Fajar berjalan masuk ke gedung fakultas. Ia mengecek jadwal di ponsel tuanya (ponsel jadul dengan layar kecil yang sudah retak). Kelas pertama: Pengantar Bisnis, Ruang 301.
Ia naik tangga ke lantai tiga. Jantungnya berdegup kencang. Gugup luar biasa.
Tenang, Jar. Ini hanya kelas pertama. Pasti baik-baik saja.
Ia membuka pintu kelas. Ruangannya besar, modern, dengan proyektor canggih dan AC yang dingin. Tapi yang membuat Fajar langsung menegang adalah mahasiswa-mahasiswa di dalam kelas itu.
Mereka semua berpakaian sangat fashionable. Jeans branded, kemeja rapi, sepatu sneakers mahal, tas punggung Herschel dan Fjallraven, jam tangan branded di pergelangan tangan. Bahkan parfum mereka tercium sangat wangi—parfum mahal yang harganya mungkin setara uang makan Fajar sebulan.
Sementara Fajar? Kemeja pudar, celana sobek, sepatu bolong, dan bahkan ia tidak pakai parfum karena tidak punya uang untuk itu.
Begitu Fajar masuk, semua mata tertuju padanya. Percakapan berhenti sejenak. Tatapan-tatapan itu menusuk—ada yang menatap dengan tatapan kasihan, ada yang menatap dengan tatapan meremehkan, ada yang menatap dengan tatapan bingung: "Kok orang kayak gini bisa masuk Universitas Adidaya?"
Fajar berusaha tidak peduli. Ia mencari tempat duduk kosong. Kebanyakan mahasiswa duduk berkelompok—sudah kenal satu sama lain karena mungkin dari sekolah yang sama atau kenalan sebelumnya. Fajar sendirian.
Ia duduk di kursi pojok belakang—tempat yang paling tidak terlihat, berharap tidak ada yang memperhatikannya.
Tapi harapan itu sia-sia.
"Hei, lo."
Suara berat dan arogan terdengar dari depan. Fajar mendongak. Seorang pemuda tampan—sangat tampan, seperti model majalah—berjalan mendekat dengan senyum sinis. Tingginya sekitar 182 cm, tubuhnya atletis, rambutnya di-gel rapi, wajahnya tampan sempurna. Ia memakai kemeja putih branded Ralph Lauren, celana chino cream, sepatu loafers Gucci, dan jam tangan Rolex yang berkilau di pergelangan tangannya. Parfumnya tercium sangat wangi—Dior Sauvage, parfum yang harganya jutaan rupiah.
Di belakangnya, ada tiga orang teman yang juga berpakaian mahal, tertawa-tawa sambil menatap Fajar.
"Iya, saya?" jawab Fajar sopan meski sudah merasakan firasat buruk.
Pemuda itu—yang namanya Damar Wicaksana—tersenyum lebar. Tapi senyumnya tidak ramah. Senyum itu sinis, merendahkan, penuh arogansi.
"Lo mahasiswa sini?" tanya Damar sambil menatap Fajar dari atas hingga bawah dengan tatapan meremehkan yang sangat jelas.
"Iya
kok demi hemat fajar ga bawa sepeda ke kampus?
kalaw jalan kaki bukan nya hemat malah lebih boros di waktu dan tenaga.