Maya, seorang mualaf yang sedang mencari pegangan hidup dan mendambakan bimbingan, menemukan secercah harapan ketika sebuah tawaran mengejutkan datang: menikah sebagai istri kedua dari seorang pria yang terlihat paham akan ajarannya. Yang lebih mencengangkan, tawaran itu datang langsung dari istri pertama pria tersebut, yang membuatnya terkesima oleh "kebesaran hati" kakak madunya. Maya membayangkan sebuah kehidupan keluarga yang harmonis, penuh dukungan, dan kebersamaan.
Namun, begitu ia melangkah masuk ke dalam rumah tangga itu, realitas pahit mulai terkuak. Di balik fasad yang ditunjukkan, tersimpan dinamika rumit, rasa sakit, dan kekecewaan yang mendalam. Mimpi Maya akan kehidupan yang damai hancur berkeping-keping. Novel ini adalah kisah tentang harapan yang salah tempat, pengkhianatan emosional,Maya harus menghadapi kenyataan pahit bahwa hidup ini tidak semanis doanya, dan bimbingan yang ia harapkan justru berubah menjadi jerat penderitaan.
kisah ini diangkat dari kisah nyata.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadhira ohyver, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16 Rumah Kontrakan di Tengah Malam
Tepat tengah malam, mobil Riski akhirnya tiba di kota tempat tugas barunya. Kota ini terasa lebih sepi, lebih terpencil, hanya diterangi oleh lampu jalan yang redup. Hati Maya berdebar, campuran antara kelegaan karena perjalanan usai dan ketakutan akan apa yang menanti.
Riski menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah kontrakan sederhana di pinggir jalan.
"Ini rumah kamu, May," ujar Riski datar. "Nanti saya antar Ummu Fatimah dan anak-anak ke rumah dinas. Lokasinya dekat sini juga, menyatu dengan area proyek."
Maya menelan ludah. Jadi, inilah awal dari ketidakadilan yang samar itu. Dirinya di kontrakan, sementara Ummu Fatimah di rumah dinas perusahaan.
"Saya cuma antar kamu saja, ya. Setelah ini saya langsung kembali ke rumah dinas, mau membereskan barang-barang di mobil," tambah Riski, tanpa ekspresi.
Maya mengangguk pelan, tanpa kata.
Riski pun menurunkan koper Maya dan berlalu pergi, mobilnya melaju kencang, meninggalkan Maya sendirian di depan pintu rumah kontrakan yang suram itu.
Maya membuka pintu, melangkah masuk ke dalam rumah kontrakan yang telah disiapkan untuknya. Hening menyambutnya. Ia mengamati baik-baik bagian dalam rumah tersebut. Hanya ada satu kasur dengan bantal dan seprai seadanya. Sementara perabotan rumah tangga lainnya masih kosong melompong.
Rumah itu terasa dingin, hampa, dan asing. Sebuah penanda nyata statusnya sebagai Perempuan Kedua yang hanya menempati sisa ruang dari kehidupan Riski yang sudah mapan.
Air mata Maya kembali menetes. Rasanya lelah sekali, lelah fisik akibat perjalanan panjang dan lelah batin akibat hantaman realitas yang bertubi-tubi. Ia segera membersihkan diri di kamar mandi kecil, berusaha mengusir debu perjalanan dan rasa sepi yang mendera.
Setelah itu, ia merebahkan tubuhnya di atas kasur kosong itu, meringkuk sendirian dalam kegelapan. Di kota asing ini, di rumah kontrakan yang sepi ini, Maya harus memulai babak baru hidupnya, berjuang untuk mencari kedamaian dan keadilan yang terasa semakin jauh dari genggamannya.
Sebelum benar-benar terlelap, setelah meminum pil pahit keputusannya, Maya mengirimkan pesan singkat kepada Hana dan Wawa, mengabarkan dirinya telah sampai di kota tugas baru Riski. Setelah itu, barulah Maya membiarkan dirinya jatuh ke dalam pelukan lelah, terlelap dalam tidur yang singkat dan penuh kegelisahan.
..........
Maya tersentak dari tidurnya yang dangkal, saat mendengar suara ketukan pintu yang kuat dan tergesa-gesa. Matanya yang sembab menangkap jam di ponselnya yang bersinar redup: pukul 2 dini hari. Sesaat Maya ragu membukanya, ketakutan mencekam di tempat asing itu.
Tapi kemudian, di sela-sela ketukan panik itu, terdengar suara Riski memanggil namanya. Maya mengusap dadanya lega, rasa takutnya tergantikan oleh kebingungan yang nyata. Ia berdiri, langkahnya gontai menuju pintu dan membukanya.
Maya langsung disambut dengan senyuman Riski yang manis, senyuman yang berbeda 180 derajat dengan sikap Riski yang acuh dan dingin saat mereka di perjalanan tadi. Sesaat Maya merasakan kebingungan yang mencekam, seolah sedang berhadapan dengan dua orang yang berbeda.
Keduanya pun masuk ke dalam kamar kontrakan yang hampa itu bersama.
Riski menanyakan bagaimana rumah kontrakan yang telah disiapkan untuk Maya. "Lumayanlah, May. Nanti perabotan lainnya kita beli besok bersama-sama Umma Fatimah, biar lengkap," ujarnya santai.
Maya hanya menjawab seadanya, mengangguk dan berterima kasih, hatinya terasa hampa mendengar nama Umma Fatimah lagi.
Kemudian, Riski mengatakan bahwa Maya masih memiliki giliran bersamanya, tiga hari ke depan, karena itu Riski datang ke kontrakan Maya pada dini hari. Sikap Riski manis sekali, penuh perhatian, sangat berbeda dengan sikapnya saat di perjalanan seolah menjaga jarak dengan Maya.
"Ya Allah, sandiwara apa lagi ini? Sikapnya di jalanan tadi seperti orang asing yang tak sudi bertegur sapa, tapi di sini, di balik pintu tertutup ini, dia berubah menjadi suami yang manis"
"Apakah kasih sayangnya hanya untuk konsumsi pribadi? Apakah sikap dinginnya di depan Umma Fatimah adalah bentuk menjaga perasaan istri pertamanya, tapi bagaimana dengan perasaanku? Aku juga istrinya! Aku hadir di antara mereka bukan atas kemauanku sendiri, aku bukan perusak rumah tangga mereka, mereka sendirilah yang membawaku masuk ke dalam pusaran rumit ini. Juga karena takdir pasti-Mu, Rabb."
"Aku bingung, Riski. Aku bingung dengan dirimu, dengan hatiku, dengan takdir ini. Tolong jangan perlakukan aku seperti saklar lampu, menyala saat dibutuhkan, mati saat ada orang lain."
Keraguan dan kebingungan kembali mencengkeram hati Maya di tengah perlakuan manis Riski yang terasa kontras dan penuh misteri. Di kamar kontrakan yang sepi ini, Maya harus kembali berhadapan dengan kontradiksi nyata dari statusnya sebagai Perempuan Kedua.
Di kamar kontrakan yang minim perabotan itu, di tengah kegamangan hati Maya akan sikap Riski yang kontras, akhirnya keduanya kembali menyatu dalam keheningan malam. Malam yang menjadi saksi bisu, di mana raga bersatu, namun hati masih menyimpan jarak dan tanya.
Setelah penyatuan selesai, kehangatan momen itu sirna secepat ia datang. Riski pun segera menarik diri. Tanpa banyak bicara, ia membalikkan tubuhnya, tidur dengan posisi membelakangi Maya, meninggalkan Maya dalam kesunyian dan dinginnya malam.
Rasa nyeri kembali mendera hati Maya, kali ini terasa lebih tajam. Sikap Riski setelah penyatuan mereka, yang langsung terlelap memunggunginya, mengingatkan Maya akan penyatuan pertama mereka di hotel, sebuah déjà vu yang menyakitkan.
"Apakah aku hanya persinggahan fisik semata?" monolog Maya berbisik pilu.
Maya mencoba berpikir positif dan memahami Riski, memaksa logikanya bekerja. Bahwa Riski pasti merasakan kelelahan yang teramat sangat, apalagi dirinya yang membawa mobil sendiri menempuh perjalanan belasan jam tanpa bantuan supir. Kelelahan fisik itu pasti nyata.
Maya pun menyusul berbaring di samping Riski. Namun, sebelum memejamkan mata, ia memandangi punggung suaminya yang tertidur memunggunginya dengan tatapan nanar. Tatapan penuh kerinduan akan kehangatan emosional yang tak kunjung ia dapatkan, tatapan penuh pertanyaan akan takdirnya sebagai Perempuan Kedua yang harus menerima realitas pahit ini, sendirian.
......................
Fajar mulai menyingsing, memancarkan cahaya keemasan yang menembus celah jendela rumah kontrakan. Maya terbangun, tubuhnya terasa sedikit pegal, tapi hatinya dipenuhi semangat baru. Dia berharap momen subuh ini bisa menjadi awal yang manis.
Dalam benaknya, Maya membayangkan dirinya akan shalat subuh berjamaah dengan Riski, suaminya. Sebuah momen sakral, penuh kebersamaan, yang diidam-idamkan setiap pasangan baru.
Namun, kenyataan pahit kembali mendera. Saat Riski terbangun, meraih pakaiannya dan bersiap pergi, dia menoleh ke arah Maya.
"May, saya harus kembali ke rumah Umma Fatimah. Sholat subuh bersama anak-anak. Nanti kita ketemu lagi ya," ujar Riski datar, seolah hal itu adalah rutinitas yang wajar.
Hati Maya mencelos, bayangannya tentang shalat berjamaah lenyap seketika, digantikan oleh kekosongan yang nyata. Riski melenggang keluar kamar tanpa menoleh lagi, meninggalkan Maya sendirian.
Maya pun akhirnya sholat sendiri, air matanya menetes di atas sajadah. Bayangan dan khayalannya dulu sebelum menikah—tentang rumah tangga yang hangat, tentang shalat berjamaah bersama suami—ternyata tidak terjadi. Semua ekspektasi manis itu hancur berantakan. Maya berpikir, mungkin ekspektasinya terlalu tinggi, terlalu naif untuk statusnya sebagai seorang istri kedua.
Setelah shalat, Maya duduk termangu di atas sajadah. Rumah kontrakan itu kembali terasa hampa, pengingat nyata bahwa ia hanya menempati sisa waktu dan ruang, sementara kehidupan utama Riski berada di tempat lain, bersama Umma Fatimah dan anak-anaknya.
Maya melipat mukenanya perlahan. Matanya menatap kosong ke dinding kamar kontrakan yang hampa itu. Di dalam hati, seribu tanya berkelindan, memunculkan kegelisahan baru.
Apakah rumah tangga poligami memang seperti ini?
Pertanyaan itu menghantamnya keras. Apakah semua madu di luar sana merasakan kesepian yang sama, merasakan jarak yang nyata di momen-momen sakral seperti subuh berjamaah? Ataukah hal ini hanya terjadi pada dirinya, karena statusnya yang begitu baru, begitu terasing dari kehidupan utama suaminya?
Bersambung...