Rahasia kelam membayangi hidup Kamala dan Reyna. Tanpa mereka sadari, masa lalu yang penuh konspirasi telah menuntun mereka pada kehidupan yang tak seharusnya mereka jalanin.
Saat kepingan kebenaran mulai terungkap, Kamala dan Reyna harus menghadapi kenyataan pahit yang melibatkan keluarga, kebencian, dan dendam masa lalu. Akankah mereka menemukan kembali tempat yang seharusnya? Atau justru terseret lebih dalam dalam pusaran takdir yang mengikat mereka?
Sebuah kisah tentang pengkhianatan, dendam, dan pencarian jati diri yang akan mengubah segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon WikiPix, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
NARASI Episode 11
Pagi itu, sinar matahari masuk melalui celah tirai di ruang tamu rumah Affan. Udara masih terasa dingin sisa hujan semalam. Kamala menggeliat pelan di atas sofa, matanya perlahan terbuka.
Hal pertama yang ia rasakan adalah kehangatan di sampingnya. Reyna masih tertidur dengan wajah sedikit pucat, napasnya terdengar lebih berat dari biasanya. Kamala mengernyit, lalu meletakkan telapak tangannya di dahi gadis kecil itu.
Panas.
Kamala langsung tersadar sepenuhnya. Jantungnya berdegup kencang saat ia menempelkan tangannya lebih lama di kulit Reyna. Suhu tubuhnya sangat tinggi.
"Reyna… sayang, bangun," bisik Kamala cemas, menggoyangkan bahu kecil putrinya.
Reyna hanya menggeliat lemah, matanya setengah terbuka sebelum kembali terpejam. Bibirnya tampak kering, dan tubuhnya terasa lebih hangat dari yang seharusnya.
Kamala menggigit bibirnya. Semalam Reyna memang sempat kedinginan, tapi ia tidak menyangka anak itu akan jatuh sakit secepat ini.
Kamala buru-buru bangkit dari sofa, hendak mencari sesuatu untuk menurunkan panas Reyna. Namun sebelum ia bisa melangkah jauh, suara langkah kaki terdengar dari dapur.
"Kamala?"
Kamala menoleh cepat. Affan berdiri di sana dengan pakaian kasual, wajahnya terlihat sedikit mengantuk tetapi langsung berubah khawatir saat melihat ekspresi Kamala.
"Ada apa?" tanyanya, melangkah mendekat.
"Reyna… dia demam," suara Kamala bergetar. "Panasnya tinggi."
Affan langsung berjongkok di sisi sofa, menyentuh dahi Reyna. Raut wajahnya semakin serius.
"Kita harus menurunkan panasnya dulu," katanya cepat. "Aku ambil kompres dan obat. Kamu tunggu di sini."
Kamala mengangguk cemas, sementara Affan bergegas ke dalam. Tidak lama kemudian, ia kembali dengan handuk kecil dan mangkuk berisi air hangat. Ia menyerahkan handuk itu kepada Kamala, yang segera mengompres dahi Reyna dengan lembut.
Affan duduk di samping mereka, matanya tak lepas dari gadis kecil yang tampak begitu lemah di pelukan ibunya.
"Ibu…" suara Reyna terdengar lirih, hampir seperti bisikan. Matanya terbuka sedikit, menatap Kamala dengan pandangan sayu.
Kamala segera menggenggam tangan kecilnya. "Ibu di sini, sayang. Kamu sakit, tapi ibu akan buat kamu cepat sembuh."
Reyna mencoba tersenyum, tapi terlalu lemah untuk melakukannya. "Aku… dingin, Bu."
Kamala menelan ludah, hatinya terasa mencelos. Ia mempererat selimut di tubuh putrinya dan terus mengompres dahinya dengan lembut.
Affan yang sejak tadi diam langsung bangkit. "Aku akan buatkan bubur dan teh hangat. Dia butuh sesuatu yang hangat di tubuhnya."
Kamala menoleh padanya, matanya penuh rasa terima kasih. "Terima kasih, Affan."
Affan hanya mengangguk sebelum melangkah ke dapur. Sementara itu, Kamala terus mengelus rambut Reyna, berusaha menenangkan gadis kecilnya yang sesekali menggigil dalam tidurnya.
Tak lama, Affan kembali membawa semangkuk bubur dan segelas teh hangat. Ia meletakkannya di meja, lalu berjongkok di dekat sofa.
"Coba bangunkan dia, Kamala. Dia harus makan sedikit agar ada tenaga," katanya lembut.
Kamala mengangguk dan menepuk pipi Reyna perlahan. "Sayang, bangun sebentar. Kamu harus makan supaya cepat sembuh."
Reyna membuka mata dengan susah payah. Wajahnya masih pucat, tapi ia mencoba bangkit dengan bantuan Kamala.
Affan menyerahkan sendok pada Kamala. "Pelan-pelan saja, biar nggak tersedak."
Kamala mulai menyuapi Reyna sedikit demi sedikit. Gadis kecil itu mengunyah lemah, tetapi tetap berusaha menghabiskan suapan yang diberikan ibunya.
Affan memperhatikan mereka dengan ekspresi yang sulit diartikan. Ada sesuatu dalam dirinya yang tersentuh melihat Kamala merawat Reyna dengan penuh kasih sayang.
Saat Reyna akhirnya kembali tertidur setelah makan, Affan bersandar ke sofa dan menghela napas. "Kalau besok panasnya belum turun, kita harus bawa dia ke dokter."
Kamala mengangguk, matanya tak lepas dari putrinya yang masih terlelap. Dalam hati, ia berdoa semoga Reyna cepat membaik.
Namun, di benaknya, ia juga tidak bisa mengabaikan satu hal—kehadiran Jack yang tiba-tiba kemarin. Apakah pria itu akan kembali? Dan apa yang sebenarnya ia inginkan?
Kamala hanya bisa berharap, untuk saat ini, tidak ada lagi masalah yang datang. Setidaknya, sampai Reyna benar-benar sembuh.
Affan berdiri di dekat pintu, mengenakan jaketnya dengan gerakan yang sedikit ragu. Ia menatap Kamala yang masih duduk di sofa, dengan Reyna yang tertidur di pangkuannya. Wajah gadis kecil itu masih pucat, meskipun napasnya sudah sedikit lebih teratur setelah makan dan dikompres.
Kamala menyadari tatapan Affan dan mengangkat wajahnya. "Kamu mau pergi?" tanyanya pelan.
Affan mengangguk. "Iya, aku harus ke toko. Ada beberapa barang yang perlu diurus."
Kamala menoleh ke arah Reyna, lalu kembali ke Affan. "Pergilah, Affan. Aku bisa menjaga Reyna sendiri."
Affan masih terlihat ragu. Ia melirik Reyna, lalu ke arah Kamala lagi. "Kalau ada apa-apa, langsung telepon aku. Aku nggak akan pergi lama."
Kamala tersenyum kecil. "Aku mengerti. Jangan khawatir, Affan. Aku akan menghubungimu kalau terjadi sesuatu."
Affan menghela napas, lalu mengangguk. "Baiklah."
Namun, sebelum ia benar-benar pergi, ia berjalan ke dapur, mengambil botol air minum, dan kembali ke sofa. Ia meletakkan botol itu di meja dekat Kamala. "Pastikan Reyna minum yang cukup. Dan kalau panasnya naik lagi, coba kompres lagi atau ganti pakaiannya biar lebih nyaman."
Kamala tersenyum lebih lebar kali ini. "Aku akan melakukannya. Terima kasih, Affan."
Affan hanya mengangguk singkat sebelum akhirnya membuka pintu dan melangkah keluar. Namun, sebelum menutup pintu sepenuhnya, ia kembali melirik ke dalam, seolah masih ingin memastikan segalanya baik-baik saja.
Kamala melihat itu dan mengangguk pelan, memberikan isyarat bahwa semuanya terkendali. Barulah setelah itu, Affan benar-benar pergi, meninggalkan Kamala dan Reyna di dalam rumahnya.
Saat pintu tertutup, Kamala menghela napas panjang, tangannya kembali membelai rambut Reyna yang masih lemah di pangkuannya.
Beberapa menit setelah Affan pergi, suasana rumah kembali sunyi, hanya terdengar suara napas Reyna yang berat dan samar-samar suara kendaraan dari luar.
Kamala merapikan selimut yang membungkus tubuh kecil putrinya, lalu meraba dahinya lagi. Panasnya masih tinggi. Ia menggigit bibir, hatinya dipenuhi kekhawatiran. Reyna harus segera membaik.
Dengan hati-hati, ia mengambil kain kompres yang sudah mulai hangat, merendamnya lagi dalam air dingin, lalu menempelkannya kembali di dahi Reyna. Gadis kecil itu menggeliat sedikit, kelopak matanya bergetar, lalu perlahan terbuka.
"Ibu…" suaranya serak dan lemah.
Kamala langsung membungkuk mendekat. "Sayang, kamu haus? Mau minum?"
Reyna mengangguk pelan. Kamala segera mengambil gelas air yang sudah disiapkan Affan tadi dan membantu Reyna meminumnya sedikit demi sedikit. Setelah beberapa teguk, Reyna menghela napas dan kembali bersandar di pelukan ibunya.
"Ibu, aku nggak enak badan," gumamnya lirih.
Kamala mengelus rambut Reyna dengan lembut. "Mama tahu, sayang. Istirahat saja, ya? Nanti kamu pasti sembuh."
Reyna diam sejenak, lalu mengeratkan genggamannya di tangan Kamala. "Ibu… jangan pergi, ya?"
Hati Kamala mencelos. Ia mengecup kening Reyna yang masih panas. "Mama di sini. Mama nggak akan pergi ke mana-mana."
Reyna tersenyum tipis sebelum matanya kembali terpejam. Kamala menatap wajah pucat putrinya dengan perasaan yang campur aduk.
Namun, ketenangan itu hanya berlangsung sebentar.
Tiba-tiba, terdengar suara ketukan di pintu.
Kamala tersentak. Matanya menatap ke arah pintu dengan waspada. Siapa yang datang pagi-pagi begini? Affan baru saja pergi, dan ia tidak mengharapkan tamu.
Ketukan itu terdengar lagi, kali ini lebih keras.
Jantung Kamala berdegup kencang. Entah kenapa, firasatnya tidak enak.
Dengan hati-hati, Kamala berdiri dan melangkah ke pintu. Sebagian dirinya ingin mengabaikan saja, berpura-pura tidak ada orang di dalam.
Namun ia penasaran siapa yang ada di luar. Perlahan, ia membuka pintu sedikit.
Jack berdiri di sana.
Pria itu mengenakan kemeja hitam dengan lengan tergulung hingga siku. Sorot matanya tajam, penuh arti.
"Selamat pagi, Kamala," katanya dengan suara tenang, tetapi terasa menusuk.
Kamala menggenggam erat gagang pintu. "Apa yang kau lakukan di sini?"
Jack tersenyum tipis. "Aku hanya ingin memastikan keadaanmu. Setelah kau pergi begitu saja tadi malam… aku jadi penasaran."
"Aku baik-baik saja," sahut Kamala cepat, berusaha menahan pintu agar tetap sedikit terbuka. "Kalau itu saja yang ingin kau tanyakan, kau bisa pergi sekarang."
Jack mengangkat alis. "Kau yakin?" Matanya melirik ke dalam rumah. "Atau mungkin aku harus masuk dan melihat sendiri?"
Kamala langsung menegang. Ia tidak boleh membiarkan Jack masuk. Bukan di sini, bukan di rumah Affan.
"Tidak perlu," katanya tegas. "Pergilah, Jack. Aku tidak ingin berurusan denganmu lagi."
Jack menghela napas, lalu menyandarkan satu tangannya di pintu, membuat Kamala sulit untuk menutupnya.
"Kau tahu, Kamala," katanya dengan nada lembut yang justru terdengar berbahaya. "Kau masih sama seperti dulu. Selalu berusaha lari dariku."
Kamala menegang, tetapi ia tidak menunjukkan ketakutannya. Ia menatap Jack dengan tajam. "Aku tidak lari. Aku hanya tidak ingin melihatmu lagi."
Jack tersenyum miring. "Yakin?"
Kamala membuka mulutnya untuk menjawab, tetapi sebelum ia sempat berbicara, terdengar suara batuk kecil dari dalam.
Reyna.
Jack langsung menoleh ke arah suara itu, dan ia tidak langsung berkata apa-apa, tetapi Kamala bisa melihat perubahan di wajahnya.
Kamala merasa darahnya berdesir dingin saat melihat perubahan di wajah Jack. Tatapan pria itu tidak lagi hanya sekadar penasaran, ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang mengingatkan Kamala pada masa lalu yang ingin ia kubur selamanya.
"Kenapa dia?" tanya Jack, suaranya terdengar lebih pelan, tetapi tetap menyimpan nada licik yang familiar.
Kamala menelan ludah. "Itu bukan urusanmu."
Jack terkekeh, menyandarkan bahunya ke pintu seolah ia memiliki semua waktu di dunia. "Ayolah, Kamala. Kita sudah lama tidak bertemu. Masa kau tidak ingin berbicara sedikit denganku?"
Kamala mengeratkan genggaman di gagang pintu, berusaha menahan amarahnya. "Aku tidak punya alasan untuk berbicara denganmu, Jack."
Jack menghela napas pura-pura kecewa. "Dingin sekali. Kau sudah berubah, ya?" Ia menatap Kamala dari ujung kepala hingga kaki. "Dulu kau tidak seperti ini."
"Dulu aku bodoh," sahut Kamala tajam.
Jack tersenyum miring, seperti menikmati setiap respons yang diberikan Kamala. "Jadi, kau benar-benar membuang semuanya? Semua kenangan kita?"
Kamala ingin tertawa. Kenangan? Apa yang mereka miliki dulu bukanlah kenangan yang pantas untuk dikenang. Itu adalah kesalahan. Luka. Penyesalan.
"Aku sudah move on, Jack," katanya dingin. "Dan kau seharusnya melakukan hal yang sama."
Jack tidak langsung membalas. Ia hanya menatap Kamala lama, seolah mencoba menilai apakah wanita itu benar-benar serius atau hanya berpura-pura.
Tiba-tiba, suara batuk Reyna terdengar lagi dari dalam rumah. Lebih keras kali ini.
Jack melirik ke arah dalam. "Anak itu sakit?" tanyanya santai.
Kamala langsung berdiri lebih tegak, berusaha menutupi celah pintu dengan tubuhnya. "Bukan urusanmu," ulangnya dengan nada lebih tajam.
Jack terkekeh kecil. "Santai, Kamala. Aku hanya bertanya." Ia menatap Kamala dengan tatapan yang sulit diartikan. "Kau tahu? Melihatmu seperti ini, aku jadi teringat waktu kita dulu."
Kamala mengepalkan tangannya. "Aku tidak punya waktu untuk mendengar omong kosongmu."
Jack menyipitkan mata, lalu menyandarkan diri lebih dekat ke pintu. "Kau benar-benar membenciku, ya?"
Kamala menatap Jack tanpa ekspresi. "Aku tidak punya alasan untuk menyukaimu."
Jack terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil. Tapi kali ini, senyumnya tidak semenyebalkan tadi. Ada sesuatu di balik sorot matanya, sesuatu yang hampir terlihat seperti… luka?
Namun sebelum Kamala bisa menganalisis lebih jauh, Jack mundur selangkah. "Baiklah," katanya akhirnya. "Aku tidak akan memaksa. Tapi aku akan kembali, Kamala."
Kamala merasakan ketegangan di tengkuknya. "Jangan kembali."
Jack hanya tersenyum miring sebelum berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Kamala yang masih berdiri tegang di ambang pintu.
Kamala menghela napas panjang setelah sosok Jack menghilang dari pandangannya. Ia menutup pintu dengan cepat dan menyandarkan punggungnya ke sana, berusaha menenangkan degup jantungnya yang berdebar kencang.
Jack belum berubah. Ia masih pria yang sama seperti dulu. Licik, manipulatif, dan selalu mencari cara untuk mendapatkan apa yang ia inginkan.
Dan sekarang, entah kenapa, ia menginginkan perhatian Kamala kembali.
Kamala menatap ke arah Reyna yang masih tidur di sofa. Gadis kecil itu tidak boleh terlibat dalam masa lalunya yang kelam.
Ia harus melindungi Reyna.
Dan itu berarti, ia harus memastikan Jack tidak pernah kembali ke dalam hidupnya.