JANGAN BOOM LIKE 🙏🏻
Di tengah kehancuran yang ditinggalkan oleh amukan Liora Ravenscroft, putri bungsu dari Grand Duke Dimitri Ravenscroft, ruangan berantakan dan pelayan-pelayan yang ketakutan menggambarkan betapa dahsyatnya kemarahan Liora. Namun, ketika ia terbangun di tengah kekacauan tersebut, ia menemukan dirinya dalam keadaan bingung dan tak ingat apa pun, termasuk identitas dirinya.
Liora yang dulunya dikenal sebagai wanita dengan temperamental yang sangat buruk, kini terkejut saat menyadari perubahan pada dirinya, termasuk wajahnya yang kini berbeda dan fakta bahwa ia telah meracuni kekasih Putra Mahkota. Dengan mengandalkan pelayan bernama Saina untuk mengungkap semua informasi yang hilang, Liora mulai menggali kembali ingatannya yang tersembunyi dan mencari tahu alasan di balik amukannya yang mengakibatkan hukuman skors.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rosalyn., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KEBIASAAN ANEH
...26...
Saat itu juga, Aurelia kembali melebarkan kipasnya. Ia tersenyum di balik kipasnya itu seolah sedang merencanakan sesuatu yang lebih besar.
"Melihat pemandangan secara langsung itu sudah biasa. Bagaimana jika kita menggunakan cara yang lebih menyenangkan? Melihat pemandangan dari jendela loteng, misalnya..." Aurelia berkata penuh penekanan sembari melirik sinis ke arah Liora.
Seketika, Liora menatap tajam ke arah Aurelia. Ia tidak menyangka jika rencana Aurelia akan sejauh ini. Dengan cepat, keadaan menjadi terbalik.
"Sialan!" batin Liora, merasa terpojok.
Liora semakin terpojok. Ia hanya bisa diam sambil menahan rasa kesalnya. Tangannya menggenggam erat di balik meja, memperhatikan Aurelia dengan datar. Namun, ia tahu bahwa ia tidak bisa kalah dalam permainan. Liora memutuskan untuk bersikap tenang meski Aurelia berhasil membuatnya merasa terpojok.
"Aku lengah! Aurelia sudah selangkah maju. Aku tidak bisa terus membiarkannya menguasai permainan. Bersikap tenang adalah satu-satunya pilihan yang dapat aku ambil," benak Liora, memilih untuk menenangkan diri dan tidak terpengaruh pada perkataan provokasi Aurelia.
Melihat reaksi tenang Liora, Aurelia turut merasakan kesal. Meski ia tidak menunjukkan rasa kesalnya, aura sekitar ruangan begitu tajam. Dan Beans adalah satu-satunya yang dapat merasakannya.
Liora merasakan ada yang menekan dadanya. Setiap kali Aurelia melangkah mendekat, beban itu makin berat. Di balik wajah tenangnya, pikirannya berputar cepat, mencari cara untuk keluar dari situasi ini. Tangannya yang tersembunyi di balik meja semakin erat menggenggam sampai ujung jarinya memutih. Aku tidak boleh kalah, tidak sekarang.
“Lady, kenapa Anda begitu tegang?” Suara Aurelia terdengar pelan, namun tajam seperti pisau yang mengiris udara. Mata Aurelia berkilat penuh siasat, menembus kedalaman jiwa Liora. “Apa yang Anda pikirkan?”
Liora menelan ludah, mencoba menenangkan napasnya. "Saya tidak memikirkan apa pun," jawabnya singkat, suaranya terdengar tenang meskipun hatinya gelisah.
Aurelia menyeringai. “Betulkah? Kalau begitu, tidak ada salahnya kalau kita melihat pemandangan dari kamar loteng, bukan?” Tawaran itu terdengar seperti jebakan, dan Liora tahu dia tak bisa mengelak lebih lama lagi.
Sudut bibir Liora terangkat sedikit sebelum akhirnya ia menjawab, "Anda adalah contoh Lady bangsawan yang baik. Meski Anda adalah seorang bintang sosialita, Anda tidak keberatan untuk melihat pemandangan dari balik jendela loteng yang kotor. Ini adalah sesuatu yang baru, Lady Valenmore."
Aurelia tidak terpengaruh oleh kata-kata penuh sindiran itu. Justru, ia merasa senang karena telah berhasil membuat Liora terpojok. Ia merasa bangga; selangkah lagi ia akan berhasil membuat Liora hancur.
"Saya hargai pujian ini, Lady Ravenscroft," ujarnya, menangkupkan tangan di dada, namun tersenyum sinis.
Beans jelas merasakan sesuatu yang tidak beres. Namun, ia memilih untuk diam, tidak mau banyak terlibat dalam masalah kedua Lady di depannya. Tapi ia tetap harus waspada, bisa saja hal ini akan menjadi pisau tajam yang akan mengarah pada Ravenscroft.
"Baiklah, mari kita menuju loteng demi bisa memuaskan rasa keingintahuan Lady Aurelia," ujar Beans akhirnya membuka suara.
Terdengar jelas sebuah sindiran dalam kalimat Beans, namun Aurelia tidak terpengaruh oleh ucapannya. Ia masih yakin jika rencananya akan berhasil.
"Baiklah, mari kita pergi sekarang."
Langkah kaki mereka terdengar menggema di sepanjang lorong menuju loteng. Liora dapat merasakan kehadiran Beans di belakangnya, tenang dan penuh kehati-hatian, namun tajam seperti mata elang. Beans mungkin belum mengerti sepenuhnya apa yang terjadi, tapi Liora tahu dia tidak akan diam saja.
Sesampainya di depan pintu kamar loteng, jantung Liora berdegup kencang. Pintu kayu itu tampak meyakinkan, gagangnya terlihat sedikit berkarat. Di balik pintu itu, Finnian, elf kecil yang belum sadar, terbaring.
Aurelia mengulurkan tangan dan dengan perlahan memutar gagang pintu. Bunyi berderitnya terdengar menusuk telinga Liora. Dalam sekejap, Aurelia mendorong pintu terbuka.
Udara di dalam ruangan terasa dingin dan lembap. Kamar loteng itu besar dan lumayan mewah, diterangi oleh seberkas cahaya yang masuk dari jendela besar. Tempat tidur di tengah ruangan tampak rapi, tak ada tanda-tanda seseorang pernah berada di sana. Tidak ada elf kecil, tidak ada tanda keberadaan Finnian. Semuanya kosong.
Liora berdiri kaku di ambang pintu, kakinya terasa lemas, hampir tidak bisa percaya dengan apa yang dilihatnya. Bagaimana mungkin? pikirnya.
Aurelia melangkah masuk, matanya menyisir setiap sudut ruangan dengan cermat. Ketegangan yang tadinya menggantung di udara mulai perlahan-lahan menghilang, digantikan oleh rasa bingung dan kesal. Kasur yang seharusnya berantakan karena Finnian sebelumnya terbaring di situ kini terlihat mulus, seakan tidak pernah disentuh.
Gelagat aneh Aurelia tidak lepas dari tatapan Beans. Ia mengerutkan kening, merasa janggal dengan situasi ini.
"Lady, apa yang Anda lakukan? Bukankah Anda bilang ingin menikmati pemandangan dari jendela ini?" tanya Beans dengan senyum lembut namun sedikit menusuk.
“Aneh... Aku yakin jika...” gumam Aurelia, masih tidak bisa mempercayai matanya. Dia membungkuk, menyentuh kasur, meraba-raba dengan jari-jari lentiknya. Tidak ada bekas panas tubuh di sana. Dia berbalik dan menatap Liora dengan curiga.
Namun, ia tidak bisa langsung mengatakan niat terselubungnya. Ia hanya menahan rasa kesalnya karena telah gagal dalam permainan yang ia mulai sejak awal.
“Saya hanya penasaran dengan suhu kasur yang sudah lama tidak ditempati ini,” kata Aurelia dengan senyum tipis yang tidak bisa menyembunyikan rasa frustrasinya. “Kebiasaan saya memang sedikit aneh, jadi lupakan saja.”
Liora hanya menanggapi dengan senyum tipis yang hampir seperti ejekan, meskipun jantungnya masih berdetak kencang.
"Tadi itu memang terlihat aneh, Lady Valenmore. Hati-hati terhadap seorang mata-mata, bisa-bisa kebiasaan yang baru ini diketahui oleh orang lain," ucap Liora santai, namun terdengar seperti sebuah ejekan.
Aurelia geram, giginya berderit menahan rasa sakit hatinya. Dadanya penuh dengan kemarahan yang terpendam. Namun, ia tahu jika ia tak boleh terpengaruh oleh provokasi Liora. Jika ia terpengaruh, maka ia akan semakin kalah.
"Saya bingung, apakah saya harus menikmati suasana ini atau tidak. Mendadak saya merasa tidak enak badan. Apakah kita bisa membatalkan rencana ini?" ucap Aurelia, tetap menjaga ekspresinya.
"Tentu saja, Lady. Kesehatan Anda adalah yang utama," jawab Beans dengan senang hati, siap mengantar Aurelia pulang karena ia memang sudah mengharapkan Aurelia cepat pergi dari kediaman Ravenscroft.
Saat Aurelia keluar dari ruangan, Liora menghela napas dalam-dalam. Keajaiban apa yang baru saja terjadi? pikirnya, merasa bersyukur meski kebingungan. Ia menutup pintu loteng dengan perlahan, lalu berbalik dan melihat Beans yang berdiri di belakangnya.
Beans tidak mengatakan apa-apa, tapi sorot matanya berbicara lebih dari sekadar kata-kata. Beans tahu ada yang disembunyikan, tapi dia tidak bertanya. Setidaknya, tidak sekarang.
"Fyuhh... Syukurlah!"
...^^To be Continued^^...