Bacin Haris seseorang mencari ibunya yang hilang di dunia lain yang disebut sebagai Black World. Dunia itu penuh dengan kengerian entitas yang sangat jahat dan berbahaya. Disana Bacin mengetahui bahwa dia adalah seorang Disgrace, orang hina yang memiliki kekuatan keabadian. Bagaimana Perjalanan Bacin didunia mengerikan ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GrayDarkness, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Help Help Me
Bacin merasa terperangkap dalam ketakutannya yang semakin mendalam. Ia tahu, jika terus melangkah tanpa melakukan sesuatu, maka makhluk itu akan terus mengikutinya, memandangi setiap gerakan dengan senyuman mengerikan yang tak pernah hilang. Bacin merasakan keringat dingin mengalir di dahinya, dan setiap langkah terasa lebih berat.
Dengan cemas, ia mencoba berpikir. Sebuah ide tiba-tiba muncul di kepalanya—bagaimana jika ia mengayunkan kapaknya ke belakang tanpa menengok? Mungkin itu bisa memberi kejutan bagi makhluk itu. Berharap ide itu berhasil, Bacin mengangkat kapaknya dengan tangan gemetar dan mengayunkannya dengan cepat ke belakang, tanpa menoleh.
Namun, yang terjadi membuatnya tercengang. Kapaknya tidak mengenai apapun. Ruang di belakangnya tetap kosong, tak ada sosok yang terpengaruh sama sekali. Bacin merasa bingung, matanya mencari-cari di sekitar, namun tidak ada tanda makhluk itu mendekat. Dia mencoba lagi, kali ini dengan lebih kuat dan lebih cepat, tetapi hasilnya tetap sama—tidak ada apapun yang ia sentuh. Rasa cemas semakin merasuki pikirannya, apakah makhluk itu benar-benar ada di belakangnya?
Bacin melanjutkan perjalanannya dengan langkah hati-hati, berharap ada jalan keluar, berharap bisa menghindari apa yang terus mengikutinya. Dia akhirnya mencapai sebuah bangunan yang tampaknya lebih kokoh. Saat ia mendekat ke salah satu jendela yang pecah, ia melihat pantulan dirinya dalam kaca yang kotor. Ternyata, makhluk itu masih ada di belakangnya, dan semakin mendekat. Kali ini, bulu kuduk Bacin merinding—sosok itu semakin dekat dan seakan semakin nyata.
Tanpa berpikir panjang, Bacin mengayunkan kapaknya lagi ke belakang tanpa menengok. Namun kali ini, sesuatu yang benar-benar mengerikan terjadi. Dalam pantulan kaca, Bacin bisa melihat tubuh makhluk itu membengkokkan dirinya secara tidak wajar, seolah tubuh itu melengkung dengan kecepatan luar biasa, menghindari serangan kapaknya yang datang dengan cepat. Gerakannya sangat aneh, seperti tubuh yang tidak terikat oleh hukum fisika.
Bacin terdiam, menatap pantulan itu dengan ketakutan yang melanda seluruh tubuhnya. Rasa takut yang mencekam membuat jantungnya berdebar kencang, menyadari bahwa apa yang ia lakukan sejauh ini sia-sia. Makhluk itu lebih pintar dan lebih cepat dari yang ia kira. Setiap upayanya terasa hampa, sia-sia.
Sadar bahwa ia tidak bisa terus-menerus bertahan dalam ketidakpastian ini, Bacin memutuskan untuk berjalan kembali. Langkahnya terasa lebih terhuyung-huyung, seperti tubuhnya yang kelelahan, terperangkap dalam permainan makhluk itu yang terus mengikuti dan menantinya. Ketakutan menyelubungi pikirannya, dan tak ada lagi jalan yang jelas untuk melarikan diri. Yang ia tahu, dia harus terus maju.
Bacin merasakan ketegangan yang menyesakkan dada setiap kali ia melangkah. Pemikirannya terpecah antara mencari jalan keluar atau bertahan di tempat ini, tetapi dia tahu bahwa jika ia berlari, makhluk-makhluk mengerikan yang tersembunyi di dalam kabut hitam ini pasti akan menyadarinya, dan itu akan menjadi akhir dari segalanya. Berlari bukanlah pilihan—itu hanya akan mempercepat kehancurannya.
Instingnya membimbingnya untuk tetap berjalan perlahan, setiap langkahnya terasa seperti beban besar yang memaksa tubuhnya untuk terus maju. Bacin berusaha untuk tidak menarik perhatian apapun, berusaha membuat dirinya sekecil mungkin di antara kabut dan bayangan yang mengintainya. Tapi, semakin lama ia berjalan, semakin terasa sesuatu yang salah.
Tiba-tiba, sebuah sentuhan dingin yang sangat lembut mencolek bahunya dari belakang. Bacin merasa tubuhnya membeku seketika. Jantungnya berdebar kencang, seakan seluruh dunia menjadi sunyi, hanya suara detakan jantung yang bergema di telinga. Instingnya langsung berteriak untuk menengok, namun, setiap serat tubuhnya menahan diri. Jika ia menengok, ia tahu apa yang akan terjadi—kematian yang pasti.
Makhluk itu sedang bermain dengan pikirannya. Ini jelas trik licik untuk membuatnya lengah. Ia mengabaikan sentuhan itu, berusaha tetap tenang meskipun ketakutannya semakin mencekam. Setiap detik terasa lebih panjang dari biasanya, dan ia merasa makhluk itu masih ada di sana, mengintai, menunggunya untuk melakukan kesalahan.
Namun, tak lama setelah itu, sebuah sentuhan lain, kali ini lebih kuat, mencolek punggungnya. Bacin merasa sebuah gelombang ketakutan mendorongnya hingga hampir kehilangan keseimbangan. Mentalnya mulai rapuh, dan suara-suara di kepalanya semakin kacau, berteriak untuk menyerah, untuk berlari dan melawan, tetapi Bacin tahu itu hanya akan memperburuk semuanya.
Langkah demi langkah, keputusasaannya semakin dalam. Bacin mencoba untuk tetap fokus, untuk terus maju meskipun tubuhnya gemetar, tetapi perasaan ketakutan yang tak terlukiskan menghancurkan pikirannya perlahan-lahan. Makhluk itu bermain dengannya, mencolek tubuhnya tanpa pernah terlihat, menyiksanya secara psikologis, dan membuatnya semakin merasa terperangkap dalam permainan tak berujung ini.
Keputusasaannya semakin menguasai dirinya, dan Bacin mulai merasa bahwa mentalnya akan runtuh dalam waktu dekat. Namun, meskipun rasa takut begitu kuat, ia tahu dia harus bertahan—meskipun terkadang, rasanya seperti ia akan hilang dalam ketakutan ini, terperangkap selamanya dalam dunia yang penuh dengan makhluk yang tak bisa dipahami.
Bacin merasakan sentuhan dingin itu lagi, kali ini lebih tajam dan lebih nyata daripada sebelumnya. Dia merasa tubuhnya menegang, kesabarannya mulai habis. Dengan perasaan muak, ia memutuskan untuk menengok ke belakang. Cepat dan penuh ketegangan, ia berbalik, hanya untuk mendapati bahwa di belakangnya... tidak ada apapun. Kosong. Hanya kabut hitam yang menggantung, seakan dunia ini sendiri menjadi bagian dari mimpi buruk.
Bacin melepaskan napas yang hampir ia tahan sepanjang waktu. Lega. Sosok yang mengikutinya—makhluk yang mencoleknya berkali-kali—telah menghilang. Untuk sesaat, ia merasa seolah dia telah lolos dari permainan mengerikan ini. Tanpa ragu, ia melanjutkan langkahnya. Namun, tidak lama kemudian, sentuhan itu kembali. Kali ini lebih kuat, lebih nyata, dan rasa takut yang kembali menguasai tubuhnya lebih dalam.
Bacin merasa nalurinya berkata bahwa makhluk itu belum pergi. Ia kembali menengok, hanya untuk menemukan dirinya sendiri terjebak dalam kehampaan—lagi. Kosong. Tidak ada yang mengikutinya. Tak ada yang terlihat. Hanya kabut dan bayang-bayang yang bergerak dengan sendirinya. Ketakutan mencekam hatinya, namun ia mencoba untuk tenang. Berjalan lebih cepat, berpikir mungkin itu hanya permainan pikiran, teror yang dibuat untuk menghancurkan dirinya dari dalam.
Namun, saat itu terjadi lagi. Colekan dingin, kali ini lebih terasa seperti cengkraman yang sangat halus, tapi begitu tajam rasanya di kulit. Bacin merasa jantungnya berdegup sangat cepat, hampir melompat keluar dari tubuhnya. Ia memutuskan untuk berhenti dan melihat kaca di dekatnya. Di sana, pantulannya terpantul samar, namun jelas terlihat ada sesuatu yang menyertainya. Dengan ketakutan yang menggigit, ia melihat pantulan dirinya sendiri—tapi di belakangnya, makhluk itu masih ada.
Bacin hampir tidak bisa bernapas. Itu tidak bisa jadi kenyataan. Dia menengok ke belakang dengan cepat, namun tidak ada apa-apa—hanya kabut hitam yang semakin tebal, mengisi ruang di sekitarnya. Ketika ia menengok kembali ke kaca, makhluk itu sudah berada di belakangnya. Kecepatan yang tak terlihat. Begitu cepat, hampir tak terdeteksi oleh mata manusia biasa.
Dalam ketakutan yang semakin dalam, Bacin menengok sekali lagi, dan makhluk itu menghilang—tapi kali ini, ia melihat di pantulan kaca lagi dan merasakan hatinya hampir berhenti. Sosok itu tidak hanya mengikutinya, tapi berpindah begitu cepat, begitu tak terlihat oleh matanya, sampai ia merasa hancur.
Kecepatan itu bukanlah hal biasa. Sosok yang mengikutinya itu bukan makhluk biasa. Ia bisa berpindah tanpa jejak, seperti bayangan yang memudar hanya untuk muncul kembali. Rasa terror menguasai dirinya, menggelayuti pikirannya. Di dalam cermin, makhluk itu terlihat lebih menakutkan, lebih ganas, lebih nyata daripada yang ia bayangkan. Bacin merasa dunia sekitarnya menjadi semakin sempit, dan dirinya terperangkap dalam teror yang tak bisa dihindari.
Saat dia menatap pantulan itu, makhluk itu hampir bisa merasuk ke dalam dirinya, seolah ingin merobek-robek jiwanya, dan Bacin merasa dirinya terperangkap dalam sebuah dunia yang tak bisa lagi ia lari darinya. Ketakutan menggerogoti dirinya, dan dalam satu detik yang penuh kepanikan, ia mulai merasa seperti dirinya sendiri tidak lagi berada dalam dunia nyata. Hanya mimpi buruk yang tak pernah berhenti.