Jesslyn tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah drastis dalam satu malam. Demi menyelamatkan keluarganya dari kehancuran finansial, ia dipaksa menikahi Neo, pewaris kaya raya yang kini terbaring tak berdaya dalam kondisi koma. Pernikahan itu bukanlah perayaan cinta, melainkan sebuah kontrak dingin yang hanya menguntungkan pihak keluarga Neo.
Di sebuah rumah mewah yang sunyi, Jesslyn tinggal bersama Neo. Tanpa alat medis modern, hanya ada dirinya yang merawat tubuh kaku pria itu. Setiap hari, ia berbicara kepada Neo yang tak pernah menjawab, berharap suara dan sentuhannya mampu membangunkan jiwa yang terpenjara di dalam tubuh itu. Lambat laun, ia mulai memahami sosok Neo melalui buku harian dan kenangan yang tertinggal di rumah itu.
Namun, misteri menyelimuti alasan Neo koma. Kecelakaan itu bukan kebetulan, dan Jesslyn mulai menemukan fakta yang menakutkan tentang keluarga yang telah mengikat hidupnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lusica Jung 2, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jadi... Bangunlah
Jesslyn melangkah mundur secara refleks, tubuhnya gemetar. Pemandangan di depannya terlalu sulit untuk diproses. Pria yang disebut-sebut sebagai calon suaminya, ternyata terbaring tak bergerak di atas ranjang besar dengan seprai putih bersih. Tidak ada alat medis yang terlihat, hanya tubuhnya yang tampak begitu tenang, seolah sedang tidur.
"Apa maksudnya ini?" bisik Jesslyn, lebih kepada dirinya sendiri. "Dia, koma?"
Nyonya Maria mengangguk. "Neo, mengalami kecelakaan beberapa bulan lalu. Tubuhnya sehat, tetapi jiwanya belum kembali sehingga hanya bisa terbaring seperti ini."
Jesslyn merasakan dunia di sekelilingnya berputar. Berbagai pertanyaan berkecamuk di benaknya, tetapi satu hal yang mendominasi pikirannya, kenapa dia baru diberitahu sekarang? "Nyonya, kenapa Anda baru memberitahu saya sekarang jika pria yang akan saya nikahi ternyata koma? Di saat semuanya hampir terjadi?"
"Maafkan Nenek, Sayang. Jika kau tau sejak awal, pasti kau akan keberatan dan menolaknya. Keluarga kami membutuhkanmu, Jesslyn," ujar Nyonya Maria penuh sesal. "Dan Nenek sangat yakin jika hanya kau yang mungkin bisa membangunkannya."
Jesslyn menatap wajah pria itu. "Tapi, bagaimana aku bisa menikahi seseorang yang bahkan tidak sadar aku ada?"
Nyonya Maria menggenggam tangan Jesslyn dengan lembut. "Nenek, tau betul apa yang kau rasakan, Nak. Tapi kau sudah tidak memiliki pilihan untuk mundur. Mungkin ini terdengar sangat kejam, tapi kau harus bisa menerima takdirmu sendiri."
Jesslyn menunduk, menatap tangannya yang digenggam oleh Nyonya Maria. "Nenek, paham ini bukan hal yang mudah," ucap Nyonya Maria dengan lirih. "Tapi hidup sering kali membawa kita ke jalan yang tak kita pilih. Kau di sini sekarang, dan dia membutuhkanmu."
Jesslyn mengangkat wajahnya, menatap pria di atas ranjang yang tak bergerak itu. "Anda sangat lucu, Nyonya. Bagaimana mungkin dia membutuhkanku? Bahkan dia tidak sadar aku ada. Dia, tidak mengenalku."
Nyonya Maria menarik napas panjang dan menghela perlahan, senyumnya pahit tersungging dibibirnya. "Nak, yang kau katakan mungkin benar. Tapi itu tidak berarti dia tidak akan mengenalmu. Nenek percaya, ada sesuatu yang hanya bisa kau lakukan, Jesslyn. Sesuatu yang bahkan kami, keluarganya, tidak bisa melakukannya."
Jesslyn menggigit bibirnya, dia berusaha menahan emosi yang berkecamuk di dada dan benaknya. Dia tahu apa yang dikatakan Nyonya Maria adalah kebenaran, tetapi itu tidak mengurangi rasa berat di dadanya.
"Baik," Jesslyn berkata pelan, ada keraguan dimatanya yang turut menyertai. "Jika ini memang jalannya, aku akan mencoba."
"Terima kasih, Nak." Nyonya Maria menepuk tangan Jesslyn dengan lembut sebelum berdiri, meninggalkan Jesslyn sendirian di kamar itu.
***
Sarah dan Nyonya Carlia sedang berada di pusat perbelanjaan. Mereka sedang menikmati kemenangannya. Setelah usaha yang panjang, akhirnya mereka bisa menyingkirkan Jesslyn dari kehidupannya untuk selamanya.
"Ma, kenapa kita tidak melakukannya dari dulu saja? Kau tahu? Rumah tanpa benalu itu, rasanya sangat nyaman." ujar Sarah sambil memilih pakaian disalah satu boutique ternama di kota Beijing.
Nyonya Carlia menghela napas. "Salahkan saja papamu yang terlalu menyayanginya. Jelas-jelas dia hanya anak pungut, tapi memperlakukannya dengan sangat istimewa, dan hal itulah yang membuat Mama menjadi sangat muak padanya."
Sarah mengangguk. "Benar sekali apa yang Mama katakan, Aku paling benci jika harus berbagi barang dan kasih sayang Papa dengannya, semua yang seharusnya hanya tercurah padaku malah dibagi dua dengannya, dan itu sangat-sangat menyebalkan!!" amarah terlihat di mata Sarah.
Carlia menepuk bahu putrinya. "Mama, tahu betul apa yang kau rasakan, tetapi semua sudah berlalu dan kita bisa menikmati kebebasan sekarang."
"Ma, ngomong-ngomong bagaimana nasibnya sekarang? Harus menikahi seorang pria koma yang bahkan dokter sendiri tidak tahu kapan dia akan bangun,"
"Kenapa harus mencemaskannya? Jangan pernah gunakan hatimu untuk orang sepertinya, Sarah. Benalu sialan itu benar-benar layak mendapatkan balasan yang setimpal atas apa yang ia lakukan pada keluarga kita, mungkin saja dia sedang disiksa oleh Nyonya Besar Hou, bukankah kau tahu sendiri bagaimana tempramen wanita tua itu?" ujar Nyonya Carlia sambil menyesap minumannya.
Sarah mengangguk. "Betul juga, sebaiknya kita nikmati saja kemenangan ini dengan bersenang-senang,"
***
Nasi telah menjadi bubur, dan pernikahan telah terlaksana. Kini Jesslyn telah resmi menjadi istri dari seorang pria koma.
Kamar itu sunyi. Hanya suara napas halus milik pria yang kini menjadi suaminya. Jesslyn duduk di tepi ranjang, menatap wajah yang tampak begitu damai, seolah-olah hanya sedang terlelap. Tapi dia tahu kebenarannya—ini bukan tidur.
"Butuh waktu untuk menerima semua ini," ucapnya, suaranya hampir berbisik, "Aku tidak tahu harus merasa apa. Marah? Sedih? Bingung? Karena semua perasaan itu bercampur jadi satu."
Dia terdiam sejenak, matanya terpaku pada jemari pria itu. Jemari yang diam, tak bergerak. "Nenekmu mengatakan padaku semua akan baik-baik saja. Tapi aku tidak yakin kalau itu benar. Kau tau? Bahkan aku tidak tahu bagaimana menjalani hari-hari ke depan. Menjadi istri seseorang yang tidak bisa menyadari keberadaanku adalah hal yang sulit."
Tangannya ragu-ragu menyentuh tangan pria itu. "Aku tidak tahu apakah kau bisa mendengarku. Tapi jika kau bisa, aku hanya ingin kau tahu satu hal. Aku akan mencoba menjadi istri yang baik untukmu."
Jesslyn menarik napas dalam, menahan air mata yang mulai menggenang. "Tapi kau harus melakukan bagianmu juga. Aku tidak bisa melakukan ini sendirian. Jadi… bangunlah."
***
Bersambung