Agistya dan Martin awalnya pasangan yang bahagia.
Namun, semuanya berubah saat Agistya hamil di luar rencana mereka.
Martin yang ambisius justru membencinya dan merasa hidup mereka berantakan.
Tak lama setelah anak mereka lahir, Martin menceraikannya, meninggalkan Agistya dalam kesendirian dan kesedihan sebagai ibu tunggal.
Dalam perjuangannya membesarkan sang buah hati, Agistya bertemu dengan seorang pria yang baik hati, yang membawa kembali kebahagiaan dan warna dalam hidupnya.
Apakah Agistya akan memaafkan masa lalunya dan membuka hati untuk cinta yang baru?
Bagaimana pria baik ini mengubah hidup Agistya dan buah hatinya?
Apakah Martin akan menyesali keputusannya dan mencoba kembali pada Agistya?
Akankah Agistya memilih kebahagiaannya yang baru atau memaafkan Martin demi keluarganya?
Semuanya terjawab di setiap bab novel yang aku update, stay tuned terus ya!✨
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fareed Feeza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mana makasih nya?
*Pintu kamar di buka perlahan.
Terlihat Dimas yang masih menepuk bokong Kevin pelan, dengan mata yang terpejam, sedangkan Kevin sudah pulas tertidur ... Karena botol susu yang sudah terlepas dari mulutnya.
Mau tidak mau, Tya harus membangunkan Dimas.
"Dim ... " Tya menggoyangkan kaki Dimas pelan, dengan suara berbisik.
"Mmmm ... Iya, sudah jam 10 rupanya." Kata Dimas, sebelah tangannya mengusap matanya agar lebih fokus melihat jam di dinding.
"Sshttt jangan berisik, pelan-pelan, nanti kamu malah gagal." Bisik Tya.
Dimas duduk di samping kasur, dengan Tya yang berdiri di hadapannya.
"Sini duduk dulu." Titah Dimas menepuk kasur di sampingnya.
"Di luar aja." Kata Tya yang mendadak dadanya berdebar.
"Sebentar aja, saya cuma mau ngomong."
Tya menurut apa yang Dimas minta, kali ini mereka duduk berdampingan.
"Apa?"
"Jangan marahin Kevin kayak tadi, dia baru pulih dari sakitnya, jadi wajar saja anak lebih rewel dari biasanya, Dulu juga Kevin menurut kan kalau kamu suruh tidur, saya harap kamu lebih ngertiin dia, sampai dia benar-benar fit. Kamu bayangin aja Tya ... Energi dia sudah terkuras sama sakitnya yang lebih dari seminggu itu, Maaf kalau saya terlalu ikut campur, saya harap kamu ngerti apa yang saya maksud."
Tya lalu menunduk, dia sadar telah berbuat sesuatu yang salah pada Kevin, memarahinya dan tidak mengerti apa yang sedang dirasakan anaknya.
Suara isak tangis, terdengar sangat pelan dari wajah Tya. Dia paling tidak bisa tahan jika di nasehati soal anak, Tya selalu merasa bersalah jika telah melakukan hal yang tidak semestinya pada Kevin, karena menurutnya, dia sudah cukup jahat menghilangkan figur seorang papa dari hidup anaknya itu, dengan membuat keputusan bercerai dari Martin.
"I-iya ... Makasih Dim."
Tiba-tiba Dimas merangkul Tya dan menyandarkan kepala Tya pada dadanya. "Saya gak maksud bikin kamu nangis kayak gini, apa sebelumnya kamu gak pernah bentak Kevin sama sekali sehingga kamu merasa sangat bersalah?"
"Engga Dim, saya udah janji padahal sama diri saya sendiri gak bakal bikin Kevin sedih, saya pengen dia bahagia terus, terlebih lagi saat saya memutuskan untuk bercerai, rasanya saya sudah merenggut setengah kebahagiaan Kevin, hingga Kevin tidak pernah merasakan kasih sayang seorang papa, andai saja saya gak egois dan bertahan untuk tidak bercerai, mungkin Kevin .... "
"Stop Tya, keputusan kamu sudah sangat benar, Kevin tidak akan bahagia jika di besarkan bersama pria seperti mantan suami kamu itu, maaf kalau saya lancang. Tapi saya bisa menilai pria itu dari pertemuan pertama saat kamu mengemis meminta dia untuk mendonorkan darahnya untuk Kevin."
Tya lalu menjauhkan tubuhnya dari Dimas, menyudahi curhatnya dan menegakan tubuhnya, dia sudah lebih tenang sekarang.
"Saya minta maaf ya Dim, kamu jadi ikutan repot hari ini." Ucap Tya yang menyudahi pembahasan tentang mantan suaminya itu.
"It's oke, lagian besok weekend, saya bisa bangun lebih siang, Yaudah saya pamit ya. Hapus air mata kamu tuh ... Jelek kamu kalau nangis." Kata Dimas, sambil tangannya mencolek hidung Tya yang sedikit memerah.
Tya mengantar Dimas sampai depan mobil, Dimas tidak pamit pada Rini karena wanita paruh baya itu tidur sampai mendengkur di atas sofa ruang tamu.
"Hati-hati ya Dim."
"Iya nanti saya chat kalau udah sampai rumah."
Tya mengangguk, bibirnya tersenyum malu.
.
.
Hampir satu jam, Tya belum mendapatkan kabar dari Dimas.
"Kok belum ngabarin ya? Aku takut banget kalau dia sampai kenapa-kenapa di jalan, pulang larut malam karena temenin Kevin tidur." Tya terus menepuk ponselnya dengan gelisah.
Beberapa menit kemudian notifikasi ponsel berbunyi, padahal mata Tya sudah terasa lumayan berat, menunggu kabar dari Dimas.
Pak Dimas : (Maaf saya baru kabarin, saya udah sampai rumah dari tadi, terus bersih-bersih dulu lumayan lama, sekarang sudah naik ke tempat tidur, oh ya ... kasur kamu merk apa? Nyaman sekali sampai saya hampir ketiduran saat menemani Kevin tadi.)
Mendadak mata Tya segar, seperti sudah tertidur lama, rasa kantuk pun mendadak hilang.
"Syukurlah kalau dia udah sampai." Gumamnya sambil mengetik sesuatu.
Tya : ( Syukurlah Dim kalau sudah sampai rumah, kasur saya nyaman? Kamu ngeledek ya? Ini kasur dari jaman saya masih perawan Ting Ting, tentunya sudah tidak nyaman dong Dim, kamu ini ada-ada aja.)
Pak Dimas : ( Betul, saya tidak meledek. tolong beritahukan saya merk-nya Tya ... )
Tya : ( Air bed, itu nama merknya pak.)
Pak Dimas: ( Baik kalau begitu, selamat istirahat Tya.)
Tya tersenyum saat membaca pesan penutup dari Dimas, di tidak membalasnya lagi karena tak ingin menganggu jam istirahat bos nya itu.
***
Hari Senin, setelah lama tidak masuk bekerja akhirnya Tya kembali ke kantor.
Banyak teman yang menanyakan bagaimana keadaan Kevin, dan Tya menjawab seadanya tapi tanpa menceritakan bagian donor darah, karena ini akan sangat menjadi pertanyaan besar jika mereka semua tahu.
Saat Tya sedang di kelilingi beberapa temannya yang sedang bercerita, tak lama Dimas masuk ke dalam ruangannya, dan itu otomatis membuat kerumunan kecil itu buyar seketika, padahal pagi ini wajah Dimas lebih terkendali, tapi tetap saja semua karyawan segan padanya.
Hari ini Tya membawa bekal untuk Dimas, Rini memaksa untuk Tya membawakan bekal itu, padahal Tya sudah berusaha merasa menolak dan memberitahukan alasannya, tapi tetap saja Rini bersikeras.
Sirli jangan sampai tau, kalau aku bawa 2 bekal ... Duh gimana ya cara ngasihnya.
Jam istirahat tiba.
Ponsel Tya berbunyi, tanda pesan masuk dari Dimas.
Pak Dimas : ( Ibu chat saya, katanya kamu bawakan saya bekal?)
Tya meringis, tidak terbayangkan jika ibunya sudah mengirim pesan pada Dimas, dan kapan mereka bertukar nomor telpon pun Tya tidak mengetahuinya.
Ibu ... Gercep banget.
Tya sengaja tidak membalas pesan tersebut, karena Sirli sudah menghampirinya untuk mengajak makan siang.
"Sir, aku agak lemes kayaknya siang ini, aku makan di kantor aja."
"Hm gitu ya mba, yaudah oke deh .. Aku duluan ya."
"Iya Sir." Ucap Tya sambil melihat keadaan sekitar.
Mba Gisel ada di dalam gak yah? Dari tadi aku gak liat dia, tapi kalau misalkan dia ada di dalam, bisa malu aku.
Pintu ruangan Dimas terbuka, Dimas berjalan menghampiri Tya ... Rupanya dari dalam Dimas juga tengah memantau keadaan di luar ruangan, saat dirasa aman ... Pria itu baru memberanikan diri keluar.
"Mana bekal saya?" Pinta Dimas, matanya melihat ke sekitar meja kerja Tya.
"Iya .. Ini pak." Tya menyerahkan tas bekal berwarna hitam, yang sudah di siapkan khusus untuk Dimas oleh ibunya.
Dimas langsung tersenyum sumringah, lalu kembali ke dalam ruangannya tanpa mengucapkan terimakasih, karena dia akan mengucapkan terimakasih pada Bu Rini melalui chat.
Mana makasih nya? Huh! Batin Tya saat melihat Dimas berjalan menjauh darinya.
puasssss banget tuhhhh si Martin 😡😡😡
thank you Thor 😘😍🤗
semangat lanjut terus yaaa 💪💪😘🤩🤗🤗