Ruby Lauren dan Dominic Larsen terjebak dalam pernikahan yang tidak mereka inginkan.
Apakah mereka akan berakhir dengan perpisahan? Atau sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PenaBintang , isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tembakan
"Kak Clarissa?" gumam Ruby tak percaya. Dia tidak menyangka akan melihat kakaknya di sini.
Ruby akan menghampiri Clarissa, namun Dominic menahan tangannya.
"Kenapa? Aku ingin menemui kakakku," tanya Ruby, menatap heran Dominic.
Dominic tidak menjawab. Dia hanya menatap tajam ke arah Robin dan Clarissa yang menghampiri mereka.
"Tuan, aku akan membicarakan hal ini denganmu nanti," kata Robin.
Dominic masih tidak bersuara. Dia hanya menatap mereka dengan pandangan yang sulit diartikan.
"Dom, bolehkan aku bicara berdua dengan kakakku?" tanya Ruby.
Dominic menatap Ruby sejenak, "Ya, aku juga akan bicara dengan Robin sekarang."
Ruby tersenyum, dia lalu mengajak Clarissa ke ruang santai, sedangkan Dominic akan bicara dengan Robin di ruangan pribadinya.
Langkah Dominic terdengar berat ketika dia memasuki ruangan pribadinya, sedangkan Robin yang berjalan di belakangnya hanya menghela nafas, menyadari betapa marahnya Dominic saat ini.
Dominic tidak menyukai Robin membawa Clarissa datang ke mansionnya tanpa izin. Baginya Robin sudah terlalu lancang.
"Kenapa kau membawanya ke sini? Aku tidak tahu apakah dia bisa dipercaya, terlebih dengan situasi kita sekarang. Bagaimana jika dia ada di pihak musuh?" tanya Dominic dengan suara yang tajam.
"Tuan, aku kasihan padanya," jawab Robin.
"Apa yang kau pikirkan? Kau mudah sekali mengasihani seseorang!" Suara Dominic dingin, tapi sorot matanya penuh amarah. Dia berdiri tegak di depan meja, memandang tajam ke arah pria yang selama ini menjadi tangan kanannya.
Robin menunduk sejenak, lalu kemudian dia menatap ke arah lain. "Clarissa mengatakan bahwa dia sangat merindukan adiknya. Dia ingin mencari keberadaan adiknya, sebab kedua orang tuanya tiba-tiba menjadi sangat jahat. Katanya dia tidak tahu apa yang terjadi, saat dia terbangun, dia melihat dirinya berada dalam kurungan dan kedua orang tuanya tidak peduli padanya."
Dominic tertawa, kemudian tatapannya menjadi semakin tajam. "Lalu, kau percaya? Semua orang bisa menjadi penjahat, termasuk wanita itu, Robin!"
Robin berjalan mendekat dan berhenti tepat di depan Dominic. "Clarissa adalah kakak iparmu, Tuan Dom. Tidak semua orang di sekitarmu berniat mencelakaimu, aku yakin Clarissa tidak jahat. Dia benar-benar tidak tahu apa yang sedang terjadi sekarang."
Dominic memukul meja keras, membuat Robin terdiam sesaat. "Kakak ipar atau bukan, aku tidak percaya siapa pun. Kau tahu keluarga Ruby sedang ditekan karena mereka gagal menjebakku. Clarissa bisa saja menjadi pion musuh untuk menghancurkan kita!"
Robin menarik napas panjang, mengangkat kedua tangannya seolah menyerah. "Aku mengerti kekhawatiranmu. Tapi aku sudah memeriksa semuanya. Clarissa tidak memiliki keterkaitan dengan musuhmu. Dia hanya ingin menemukan Ruby dan melindunginya, itu saja, Tuan Dom."
Dominic terdiam, wajahnya tegang. Ada pertarungan batin yang tak terlihat di matanya—antara rasa takut akan pengkhianatan dan kewajibannya sebagai seorang suami untuk melindungi keluarga Ruby. "Bagaimana kau bisa begitu yakin? Kau selalu bersikap santai, Robin, tapi kali ini aku tidak akan membiarkan kelengahan."
Robin mendekati Dominic, menepuk bahunya dengan pelan. “Kau tahu aku tidak pernah main-main, Tuan. Aku sudah memastikan keamanan mansion ini, dan Clarissa tidak membawa ancaman. Jika ada yang salah, aku yang akan menanggungnya."
Dominic menyingkirkan tangan Robin dari bahunya, tapi amarah di matanya mulai mereda. "Kuharap kau benar. Jika ada sesuatu yang terjadi karena ini, kau tahu konsekuensinya."
Robin hanya tersenyum kecil. "Kau terlalu banyak berpikir. Sekarang, kau seharusnya lebih khawatir tentang bagaimana menjelaskan hal ini pada Ruby. Kau tahu, bukan, bahwa dia tidak akan senang jika tahu kau tidak mempercayai kakaknya?"
Dominic menghela napas panjang. Robin benar, tapi itu tidak membuatnya lebih tenang. Di tengah permainan kekuasaan dan pengkhianatan, satu kesalahan kecil bisa berakhir dengan kehancuran. Dan bagi Dominic, mempercayai seseorang sama seperti menggantungkan hidupnya di atas bilah tipis.
Robin tersenyum tipis kepada Dominic. "Tuan, kau saja bisa percaya pada Ruby bukan? Aku yakin kau sedikit mulai bisa mempercayai orang di sekitarmu."
"Pelayan di mansion ini." Suara Dominic kembali dingin. "Jika mereka melihat Clarissa di sini, aku yakin mereka akan melaporkannya kepada Bryan ataupun Angelic."
"Tuan, sebenarnya jika Anda ingin semua masalah ini berakhir, Anda memang harusnya menunjukkan diri dan melakukan perlawanan yang besar," ungkap Robin.
"Aku tahu, aku memang akan melakukan perlawanan. Tapi kita harus menyiapkan strategi, bukan asal melakukan perlawanan, kita tidak tahu siapa yang berada di pihak kita," sahut Dominic, berjalan menuju kursi dan duduk di sana. "Kecuali.........." Dia mengangkat kepalanya dan menatap Robin. "Aku menghabisi mereka semuanya, semua saudaraku, orang tuaku, dan juga orang-orang yang bekerja untuk mereka."
"Benar, kau memang harus menghabisi mereka semua, Tuan," sahut Robin.
Namun, baru saja Dominic hendak menyahut, dia seperti menangkap siluet seseorang di dekat pintu masuk ruangan itu. Dominic berdiri, sambil memegang pistol yang baru dia raih dari atas meja, lalu berjalan pelan mendekati pintu ruangan.
Dominic melebarkan pintunya dengan kaki, kemudian dia menemukan seorang pelayan berdiri di sana dalam keadaan yang tak terduga, tangannya masih menggenggam erat ponsel dengan layar yang menyala aplikasi perekam.
Pelayan itu terpaku, matanya membulat penuh teror menatap Dominic yang memergoki dirinya berdiri di sana. Tanpa membuang waktu, Dominic mengangkat pistolnya dan dengan gerakan cepat, peluru telah melayang tepat menghantam kepala pelayan tersebut.
Tubuh pelayan itu roboh ke lantai dengan kepala berlumuran darah yang mengucur deras, menciptakan genangan merah di sekitar. Dominic mendekati tubuh yang tak bernyawa itu, mencabut ponsel dari genggaman dinginnya dan mulai menggali informasi dari rekaman yang tersimpan. Setiap gesekan jari Dominic di layar ponsel membawa dia lebih dekat pada rahasia yang mungkin terungkap.
"Kurang ajar!" geram Dominic, menemukan begitu banyak rekaman video tentang dirinya dan juga Robin.
"Robin, kumpulkan semua pelayan yang ada di mansion ini. Aku akan menghabisi mereka semua sekarang juga!" perintah Dominic.
"Baik, tuan," sahut Robin.
......................
Robin dengan ekspresi tegang mengarahkan semua pelayan dan pekerja mansion ke halaman belakang. Langkah mereka terasa berat, dipenuhi ketakutan akan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Di sana, Dominic, sang pemilik mansion, telah menunggu dengan dua buah pistol yang mengilap di kedua tangannya. Dominic, dengan tatapan dingin yang tak terbaca, memerintahkan anak buahnya untuk mengikat tangan para pelayan dan pekerja dengan tali yang kuat.
Udara menjadi tegang, suara desir angin seolah membawa aura mencekam yang membuat bulu kuduk berdiri. Tanpa banyak bicara, Dominic mengangkat kedua pistolnya.
Detik berikutnya, suara tembakan menggema keras di halaman belakang, memecah kesunyian yang sempat tercipta. Satu per satu, kepala pelayan dan pekerja mansion terhantam peluru, jatuh tak bernyawa dengan mata terbelalak tak percaya.
Ruby, yang tadinya berada di dalam mansion, mendengar deru tembakan yang mengejutkan. Dengan langkah tergesa-gesa dan nafas yang tersengal, dia bergegas menuju sumber suara tersebut.
Sampai di halaman belakang, pandangannya langsung tertuju pada pemandangan mengerikan di depannya. Dominic, suaminya, dengan ekspresi datar, masih memegang pistol yang asapnya mengepul perlahan.
Ruby terpaku, rasa takut dan tak percaya bercampur menjadi satu. Dengan gemetar, dia menatap Dominic yang perlahan menoleh ke arahnya. Matanya yang semula dingin, kini sedikit menunjukkan keraguan saat melihat Ruby yang terpukul dengan apa yang baru saja dilihatnya.
"Ke-kenapa kau mem-membunuh mereka, Dom?" tanya Ruby, suaranya terbata.
"Karena mereka pengkhianat, aku benci pengkhianat!" jawab Dominic, namun tatapannya tajam ke arah wanita yang berdiri di belakang Ruby, Clarissa.
Clarissa merasakan gemetar yang tak terkendali melanda tubuhnya, matanya memandang lurus pada mayat-mayat pelayan yang tergeletak di tanah. Darah yang banyak di sekitar mereka, menciptakan suasana yang mencekam.
Sementara itu, Ruby, tidak dapat lagi menahan pandangan horor di depannya, tangannya mencengkeram dada seolah mencari sesuatu yang bisa menguatkan. Namun, hanya sesaat kemudian, kakinya terasa lemas dan dengan tiba-tiba, dia ambruk ke tanah dalam keadaan pingsan.
...****************...
baru kali ni aku julid di lapak Cici /Grin//Grin/ maafkan aku yaa author kesayangan 😘