Winarsih, seorang gadis asal Jambi yang memiliki impian untuk bekerja di ibukota agar bisa memberikan kehidupan yang layak untuk ibunya yang buruh tani dan adiknya yang down syndrome.
Bersama Utomo kekasihnya, Winarsih menginjak Jakarta yang pelik dengan segala kehidupan manusianya.
Kemudian satu peristiwa nahas membuat Winarsih harus mengandung calon bayi Dean, anak majikannya.
Apakah Winarsih menerima tawaran Utomo untuk mengambil tanggungjawab menikahinya?
Akankah Dean, anak majikannya yang narsis itu bertanggung jawab?
***
"Semua ini sudah menjadi jalanmu Win. Jaga Anakmu lebih baik dari Ibu menjaga Kamu. Setelah menjadi istri, ikuti apa kata Suamimu. Percayai Suamimu dengan sepenuh hati agar hatimu tenang. Rawat keluargamu dengan cinta. Karena cintamu itu yang bakal menguatkan keluargamu. Ibu percaya, Cintanya Winarsih akan bisa melelehkan gunung es sekalipun,"
Sepotong nasehat Bu Sumi sesaat sebelum Winarsih menikah.
update SETIAP HARI
IG @juskelapa_
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juskelapa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34. Tell Him!
Winarsih tersentak dari tidurnya dan gelagapan melihat ke arah jam dinding di atas pintu.
Sesaat tadi dia mengira telah kebablasan tidur hingga melewati jam makan malam di mana mereka semua harusnya sibuk di dapur.
Bergegas Winarsih menuju wastafel kamar mandi dan membasuh wajahnya berkali-kali.
Dan setelah memastikan di kaca bahwa tampilannya masih layak untuk membantu di dapur, dia segera ke luar dan mengunci kamarnya.
Saat kakinya mendekati pintu dapur utama, telinganya mendengar percakapan antara seorang wanita dan pria.
Tentu saja Winarsih mengenali pemilik suara itu. Siapa lagi jika bukan Pak Lutfi dan Tina yang memang belakangan ini terlihat sangat dekat dan sering mengobrol di ruang makan pegawai.
Mereka berdua sedang berspekulasi tentang kehamilannya. Apa yang mereka katakan tidak salah, tapi yang mereka bicarakan terdengar sangat menyakitkan baginya.
Dia yang memang sudah 3 bulan terakhir tidak mengalami menstruasi, sudah bisa memastikan jika dirinya sedang mengandung.
Tapi Winarsih tak merasa dirinya pernah mengganggu siapa pun atau melanggar peraturan apapun di rumah itu. Hingga dia merasa tak layak jika masalah pribadinya menjadi buah bibir di belakangnya.
Dia telah memutuskan hubungan dengan Utomo dan tak pernah bersentuhan lagi dengan pria itu.
Kedatangan Utomo yang sesekali menanyakan kabar ataupun ingin kembali menjadi pacarnya hanya ia tanggapi biasa saja.
Dia hanya tak ingin menyakiti Utomo lebih banyak. Tak mungkin dia mengatakan bahwa dirinya sedang hamil anak hasil perkosaan.
Hatinya kecut sekali. Dia juga tak ingin berlama-lama memperlihatkan pada orang di rumah itu jika dirinya telah hamil tanpa seorang suami.
Tapi dia masih perlu waktu untuk pergi. Setidaknya dia harus bertahan sebentar lagi agar uang yang dikumpulkannya lumayan untuk bekal pulang.
Air matanya mengembang. Untuk pertama kalinya dia mengasihani diri sendiri.
Dia sudah membalikkan tubuhnya akan pergi dari depan pintu dapur yang sedikit terbuka itu. Miris sekali memikirkan bahwa seseorang bisa membicarakan orang lain tanpa khawatir didengar oleh yang bersangkutan.
Winarsih tak mau lagi mendengar lanjutan percakapan yang terasa sangat mengiris jantungnya.
Saat berjalan dua langkah, dia mendengar suara Dean yang terdengar dingin memerintah seperti biasa.
Dean meminta Pak Lutfi untuk mencuci mobil tak seperti biasanya.
Apa Dean sempat mendengar pembicaraan kedua pegawainya itu?
Winarsih tak berani memikirkannya. Dia segera pergi menuju kamar dan berniat mandi lebih dulu sebelum kembali ke dapur lagi.
*******
Dean baru selesai makan malam bersama orangtuanya. Sejak tiba di rumah tadi, dia belum sempat membuka ponsel.
Pandangannya tertumbuk pada balasan pesan pesan Langit, sahabatnya di Genk Duda Akut yang baru saja tiba di Villa Labuan Bajo untuk kembali berbulan madu.
Dengan wajah cemberut Dean menatap balasan sahabatnya itu.
"Huh, enak banget tuh anak! Kerjanya liburan mulu. Mana masih pengantin baru, mo nyetak anak aja mesti pergi jauh-jauh. Dikurungin aja tuh bini harusnya," dengus Dean dengki.
Dean iri dengan kisah percintaan Langit dan Jingga, yang terlihat selalu lancar jaya bak jalan raya Jakarta di lebaran pertama.
Malam ini Dean memakai celana pendek berwarna hijau lumut dan sebuah kemeja berwarna krem bermotif daun besar-besar.
Tadi papanya sudah berpesan agar dia segera pergi ke ruang kerja. Papanya ingin membicarakan sesuatu yang penting.
Setiap mendengar hal serupa, Dean tak pernah tenang. Sejak dulu, sejak dia masih duduk di bangku sekolahnya. Dia tak pernah menyukai saat seseorang mengajaknya bertemu demi ingin mengatakan sesuatu yang penting. Hal itu selalu membuatnya berdebar.
Bukan hanya khawatir hal yang akan disampaikan papanya itu berkaitan dengan Disty, tapi Dean juga khawatir jika papanya menyampaikan suatu hal penting itu saat Winarsih sedang berada di ruangan.
Karena Dean sudah memahami tabiat papanya ketika sudah mempercayai seseorang. Pria tua itu tidak akan menyaring kata-katanya sedikit pun. Dan sikap lugas dan terang-terangan Pak Hartono memang sedikit banyak menakutkan sebagian orang.
Dean melangkahkan kakinya keluar kamar malas-malasan. Pikirannya masih tertuju pada Winarsih yang kemungkinan besar sedang hamil.
Saat menutup pintu kamarnya perlahan, Dean melihat sosok Winarsih baru saja menuruni tangga lingkar menuju lobby rumah.
Dean berjalan cepat mengikuti wanita yang diduganya baru saja meninggalkan ruang kerja Pak Hartono. Winarsih terlihat berjalan lurus menuju teras luar dan berbelok ke kiri yang mengarah ke pos satpam.
Dean menghentikan langkahnya di depan sebuah jendela besar dengan pandangan yang terus mengikuti langkah Winarsih.
Mau apa wanita itu ke luar jam segini? Apa dia sudah lapar? Siapa yang hendak ditemuinya?
Dean melirik jam di pergelangan tangan kirinya. Baru pukul 8 malam lebih sedikit.
Ketika Winarsih tiba di depan gerbang, tampaknya sosok Utomo berada di luar pagar.
Dean melangkahkan kakinya ke arah teras untuk melihat lebih jelas. Dan seperti seorang tuan besar yang sedang murka kepada pegawainya, Dean menyilangkan kedua tangan di belakang tubuh dan berdiri menatap Winarsih yang sedang menuju ke luar.
Tak jauh dari sana Pak Lutfi yang tadi menggunjingkan Winarsih tampak tak melepaskan pandangannya sedikit pun dari wanita itu.
Dean sangat membenci pandangan satpam itu kepada Winarsih.
*******
Winarsih sedang kembali menghadapi berkas-berkas yang diminta Pak Hartono untuk dicek saat telepon di ruang kerja itu berbunyi.
Pak Hartono belum ada di ruangan, dan Winarsih dengan mimik serba salah dan sungkan menjawab telepon yang telah berdering lama itu. Ternyata itu adalah telepon dari Tina yang mengatakan jika Utomo sedang berada di pos satpam mencarinya.
Winarsih merasa gemas sekali dengan sikap Utomo yang seperti tidak mau mengerti keadaannya. Sebelum Utomo berlama-lama di depan gerbang rumah Pak Hartono, Winarsih ingin buru-buru menemuinya dan mengatakan kalau saat ini dirinya benar-benar sibuk.
Buru-buru Winarsih menyeberangi lobby rumah langsung menuju teras ke halaman.
"Mas Ut!" panggilnya langsung saat melihat pria itu berdiri membelakangi pagar.
"Win! Hari ini aku traktir makan ke luar yuk!" ajak Utomo dengan mata berbinar. Pria itu ternyata memang sama sekali tak mau mengerti.
Winarsih menarik lengan Utomo untuk menyingkir dari depan gerbang agar pembicaraan mereka tidak didengar oleh Pak Lutfi yang sepertinya sudah memasang telinga.
"Mas, aku udah bilang, Mas Ut nggak usah ke sini lagi. Kita 'kan sekarang hanya berteman. Mas Utomo udah nggak ada kewajiban untuk selalu menengokku ke sini. Aku nggak apa-apa kok Mas, aku baik-baik aja di sini. Aku nggak enak dengan pegawai-pegawai di sini," terang Winarsih.
"Tapi waktu kemarin kamu ngajak aku makan, kamu masih baik-baik aja ke aku Win...." Utomo setengah merengek.
Winarsih menoleh ke kiri dan ke kanan memastikan tak ada yang sedang mendengarkan perkataannya.
"Tapi aku 'kan sudah bilang ke Mas Ut, itu traktiran gaji pertamaku. Aku nggak bisa lagi Mas, aku minta maaf. Mas Ut jangan marah atau sedih kalau lain kali aku nggak bisa keluar nemuin Mas Ut." Winarsih menatap Utomo lurus-lurus dengan maksud agar pria itu benar-benar menganggap ucapannya serius.
"Tapi aku masih sayang kamu Win, aku nggak sanggup rasanya tiap mikirin kalau kita udah nggak sama-sama lagi." Utomo hampir menangis.
"Kamu nggak ada kerjaan lain selain dengerin pembicaraan orang lain??" Suara bentakan Dean yang khas terdengar tak jauh dari mereka. Winarsih langsung terdiam. Bulu kuduknya serasa berdiri.
"Maaf Pak...." Terdengar suara Pak Lutfi yang menjawab perkataan Dean barusan.
"Kebiasaan buruk! Mau tau urusan orang, sana kamu!" Bentakan Dean terdengar lagi dari balik pagar yang hanya berjarak beberapa langkah dari trotoar tempat Winarsih dan Utomo berdiri.
Jantung Winarsih benar-benar tak bisa tenang. Dia takut sekali jika Utomo adalah sasaran bentakan Dean yang berikutnya.
"Nah, yang ini?? Udah selesai pembicaraannya? Kamu udah denger dia ngomong apa ke kamu? Udah ngerti? Kalo udah ngerti, kamu jangan datang lagi ke sini. Winarsih sekarang sedang membantu Pak Hartono. Kamu cepat masuk! Mulai sekarang jangan sembarangan keluar nemuin orang tanpa izin saya." Setelah mengatakan itu Dean pergi dengan wajah yang benar-benar angker.
Winarsih menggigit bibirnya. Mata Dean yang sedikit sipit itu semakin terlihat tenggelam karena tarikan wajahnya.
Bagi Winarsih, untuk menggambarkan anak majikannya ini, dia tak bisa menggunakan kata 'cukup' atau 'sedang'.
Karena Dean bisa menjadi baik sekali, romantis sekali, lembut sekali dan di lain waktu, pria itu akan menjadi menakutkan sekali, kasar sekali, atau juga kejam sekali.
"Mas Ut, maafkan anak Pak Hartono. Sebenarnya Pak Dean itu baik, dia cuma---"
"Ya sudahlah Win, kamu masuk sana. Nanti kamu dipecat karena aku. Sesekali telepon aku untuk berkabar Win." Utomo mengatupkan mulutnya dan mulai melangkah pergi. Sepertinya Utomo tak mau Winarsih melihat wajahnya.
Setelah Utomo melangkah, Winarsih buru-buru masuk ke halaman dan setengah berlari mengejar Dean yang telah menaiki tangga lingkar.
Winarsih mau meminta maaf kepada pria itu. Entah itu maaf atas Utomo, atau juga tentang sikapnya.
"Pak! Pak Dean!" panggil Winarsih kepada Dean yang berjarak beberapa anak tangga di atasnya.
"Pak!" Winarsih melangkah lebih cepat hendak menjajari langkah Dean.
Dean hanya diam dan berjalan dengan wajah cemberut.
Saat tiba di sebelah pria itu, "Pak! Aduh!!!" Panggilan dan jeritan Winarsih terdengar di waktu yang hampir bersamaan.
Salah satu kakinya luput menginjak anak tangga pualam yang mengkilap hingga tergelincir.
Dean yang berjalan dengan kedua tangan masih terlipat di belakang tubuhnya, menangkap tangan Winarsih dengan cepat.
Tangan Dean masih melingkari lengan kiri atas Winarsih. Wajah Dean menunjukkan rasa lega sekaligus kesal.
Sesaat mereka berpandangan dengan wajah Winarsih yang masih meringis.
"Maaf Pak--saya minta maaf," ucap Winarsih pelan.
Dean melepaskan tangan Winarsih dan kembali berjalan.
"Hati-hati kamu, jangan lari-lari. Bahaya. Kamu kan pasti lebih ngerti," ucap Dean meneruskan langkahnya menuju ruang kerja Pak Hartono.
Winarsih mengikuti langkahnya di belakang dalam diam.
*******
Winarsih telah kembali berkutat dengan berkas di sudut ruangan dan Dean berada di sebelah Pak Hartono membalik-balik puluhan lembar kertas dengan pikiran yang ternyata sangat sulit difokuskannya.
Sejak tadi matanya tak lepas menatap fitur tubuh bagian kanan Winarsih. Yang pada awalnya mengira dia bisa semakin termotivasi untuk menyelesaikan yang diminta papanya lebih cepat ternyata malah sebaliknya.
Matanya sejak tadi susah fokus. Perasaannya yang tak enak sejak mendengar pergunjingan dua pegawai sepertinya butuh ditenangkan. Lebih dari sekedar kata maaf Winarsih barusan padanya.
Setelah selama ini mereka sering bersama, kenapa Winarsih tak mau juga terbuka kepadanya.
Drrrrrt.... Drrrrrt....
Ponsel di meja Pak Hartono bergetar. Setelah melirik sekilas, Pak Hartono meraih ponselnya dan menjawab panggilan.
"Ada apa Man?" tanya Pak Hartono kepada suara Ajudannya di seberang telepon.
"Oke, nggak apa-apa. Kamu suruh masuk aja. Antarkan ke ruang kerja saya. Nanti kamu tunggu di luar aja." Setelah menutup telepon, pandangan Pak Hartono mengeras.
"Kamu ikuti kata-kata Papa ya Dean. Percaya sama Papa," ujar Pak Hartono.
"Maksudnya Pa?" tanya Dean sama sekali tak mengerti.
"Sebentar--tunggu," ucap Pak Hartono menatap pintu.
Dean gelisah menanti hal yang ingin ditunjukkan papanya. Sesekali matanya melirik ke arah Winarsih yang masih khusyuk di depan setumpuk berkas.
Tok!! Tok!!
Terdengar ketukan di pintu.
"Masuk," pinta Pak Hartono.
Pintu terbuka, dan suara langkah kaki yang memakai sepatu bertumit tinggi terdengar mengetuk lantai.
"Selamat malam... Pak Menteri Hartono," sapa Disty tersenyum riang kepada papanya.
Pak Hartono hanya memasang wajah santai dan biasa saja.
"Selamat malam Disty, benar kata Dean. Kamu memang cantik sekali," puji Pak Hartono.
Dean meletakkan map yang berada di tangannya. Tak pernah dia merasa segelisah itu. Winarsih yang sepertinya tak terganggu dengan pembicaraan mereka masih menunduk menatap kertas.
"Hai Dean, apa kamu udah siap jadi seorang pengantin? Malam ini aku dateng ngebawa semua persiapan yang selama ini aku susun. Sekalian mau ketemu dengan Bapak dan ibu calon mertua." Disty tersenyum manja mendekati Dean.
Dean belum mengerti semua duduk persoalannya. Keringat dingin terasa membasahi punggungnya. Tiba-tiba ruangan kerja itu terasa sangat panas.
"Persilakan tunanganmu duduk. Tarik kursi yang di sebelah sana," pinta Pak Hartono pada anaknya.
"Disty selalu mau terburu-buru sampe papa nggak sempat jelasin ke kamu. Karena baru sore tadi Disty bilang mau nikah bulan depan. Gimana Dean? Papa sudah menyetujuinya. Lagipula bukankah ini yang sejak dulu kamu minta ke papa?" ucap Pak Hartono.
Kepala Dean terasa semakin berdenyut. Bulan depan menikahi tunangannya? Semua orang pasti akan memberinya selamat.
Sedetik kemudian terdengar suara kursi yang diseret. Dean melihat Winarsih bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah mereka.
"Maaf Pak, sepertinya ini pembicaraan keluarga. Saya mohon izin keluar sekalian istirahat. Nanti saya kembali lagi ke sini melanjutkan pekerjaan saya," ucap Winarsih seraya menunduk kepada Pak Hartono tanpa menoleh ke arah Dean sedikit pun.
Dada Dean terasa sakit. Sesak dan menyakitkan. Apalagi mendengar Disty yang berujar, "Oh, pembantu itu ternyata sudah naik jabatan di sini."
To Be Continued.....
Minta dibantu like-nya ya...
kok malu ya😂😂
apa ada di lapak lain?
Ada Dr Firza juga /Rose//Wilt//Rose//Wilt//Kiss//Kiss//Kiss/
Pinter bener tuh Pakde klo ngeles..Ampe Bude winar manut aj
untuk bisa tau besarnya Arus sungai..
#catat dech