Raya yang baru saja melakukan ujian nasional, mendapatkan musibah saat akan datang ke tempat tinggal temannya. Kesuciannya direnggut oleh pria tak dikenal. Raya memutuskan untuk melaporkannya ke polisi. Bukannya keadilan yang dia dapatkan, namun ancaman. Tidak hanya sampai di situ saja, dia dinyatakan hamil akibat insiden itu. Lagi-lagi bukannya keadilan yang dia dapatkan, namun perlakuan buruk yang dia terima.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ROZE, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34 Sidang?
Raya tiba di salah satu hotel untuk melakukan interview. Dia membawa surat lamaran kerja yang sudah diprint. Semoga saja dia bisa diterima kerja dan besok bisa langsung bekerja di sini. Tak apa walau hanya bekerja di bagian resepsionis, setidaknya dia masih bisa menerima uang bulanan dari bekerja.
Raya duduk di lobi, menunggu resepsionis memanggilnya. Di sebelahnya duduk seorang pria yang cukup tampan. Mungkin ingin interview juga. Melihat penampilan pria itu yang sangat rapih dan terkesan wow. Ya tidak heran juga, sih, karena orang-orang yang bekerja di hotel, tentu harus berpenampilan menarik. Bahkan kalau bisa, tampan dan cantik.
Ya, terkesan mementingkan penampilan dan fisik, tapi seperti itulah kenyataannya. Bekerja di mana pun, penampilan termasuk yang utama.
Raya merapihkan penampilan. Menyisir rambutnya dengan jari-jarinya. Dia jadi merasa minder. Padahal yang duduk di sebelahnya ini adalah seorang laki-laki, bukan perempuan.
"Anda mau interview juga?" tanya pria itu.
"Iya."
"Saya juga."
"Ini interview pertama saya. Saya baru saja lulus kuliah, sebelumnya bantu-bantu orang tua saja."
Raya mengangguk saja. Mereka akhirnya terlibat obrolan santai. Resepsionis akhirnya memanggil keduanya untuk melakukan interview dengan HRD.
Malam harinya Raya baru pulang.
"Mommy."
"Halo, para kesayangan mommy."
Raya memeluk Rean dan Rion. Rasa lelahnya seketika hilang, saat dia menghirup aroma tubuh kedua anaknya itu—penyemangat hidupnya.
"Malam ini mommy akan tidur dengan Rean dan Rion."
"Yey."
Raya tidak lagi tidur bersama dengan kedua anaknya, karena takut mengganggu kedua anak itu saat dia harus mengerjakan tugas kuliahnya hingga larut malam. Tapi kini dia ingin melepaskan rasa rindunya kepada kedua anaknya itu.
Dia tidak mau anak-anaknya berpikir dia tidak menyayangi mereka dan lebih memilih pekerjaan. Meski dengan tidak bekerja, dia begitu cemas dengan biaya semua kebutuhan. Untung saja uang hadiah itu masih ada, jadi bisa dia gunakan saat tabungannya yang lain telah habis. Tapi sebisa mungkin, sebelum itu terjadi, dia sudah memiliki pekerjaan baru.
Pagi-pagi sekali Raya bangun dan kembali menyiapkan sarapan yang lebih komplit, meski masih tetap sederhana untuk sebagian orang.
"Doakan mommy, ya, semoga mommy bisa segera mendapatkan pekerjaan."
"Mommy belhenti kelja?"
"Iya, tapi mommy sudah mencari pekerjaan baru, agar kalian bisa makan enak, membeli baju dan sepatu baru, juga buat kalian sekolah nanti."
"Iya, Mommy. Mommy pasti akan dapat kelja balu."
"Terima kasih, Sayang-sayangnya mommy."
Raya pergi ke kampusnya, berharap hari ini juga dia akan mendapatkan pemberitahuan tentang interviewnya kemaren.
Sesekali dia melihat ponselnya setelah tiba di kampus.
Email masuk berbunyi, dia segera membuka email yang ada lambang hotel yang dia lakukan interview kemarin. Di email itu, tertulis kalau dia tidak diterima bekerja karena dibutuhkan pegawai yang bekerja full time, termasuk hari libur dan tanggal merah. Bukan karyawan magang seperti dirinya.
Hilang sudah harapan Raya.
Dia ingin menangis, tapi berusaha dia tahan. Dia teringat Rean dan Rion yang harus dia nafkahi. Andai saja perusahaan tempatnya bekerja memberi tahunya lebih dulu sebelum pemutusan hubungan kerja, pasti dia sudah jauh-jauh hari mencari pekerjaan baru.
"Aya, kamu kenapa?" tanya Livia.
"Gak apa."
"Aya, aku sudah menganggap kamu sahabatku. Kalau ada apa-apa, kamu bisa cerita padaku, siapa tahu saja aku bisa menolong."
Ya, mungkin Livia bisa menolong. Tapi Raya yang tidak mau meminta tolong padanya. Mana mungkin dia meminta tolong pada calon ibu tiri anak-anaknya.
Selain masalah harga diri, Raya juga tidak mau dipandang rendah lagi oleh mereka. Dia tidak mau punya hutang budi pada perempuan yang kemungkinan akan menjadi ibu tiri dari anak-anaknya. Bisa-bisa nanti dia kembali ditekan. Diminta imbalan dan sebagainya.
"Aya, kenapa kamu terlihat kesal?"
"Hah? Eh? Gak, gapapa."
Livia merasa Raya menjaga jarak darinya ... sejak di restoran waktu itu.
Tapi, kenapa?
Raya melirik Livia dari ujung matanya. Dia juga sebenarnya tidak enak dengan Livia, tapi mau bagaimana lagi. Hati tidak bisa berbohong, kalau dia sedikit kesal.
Pikiran berkata lebih baik jaga jarak dari sekarang, daripada nanti sakit hati karena merasa dikhianati.
Ponsel Raya sekali lagi berbunyi, pesan masuk dari ketua jurusan yang memintanya untuk datang ke ruangan rektor.
"Liv, aku harus pergi dulu sebentar, ya."
Aya, sebenernya apa yang kamu sembunyikan dariku? Apa aku melaksanakan kesalahan pada kamu?
Raya berjalan dengan lesu menuju gedung rektorat. Dia tidak tahu untuk apa dia dipanggil. Apa mereka sudah tahu kalau dia tidak lagi bekerja, jadi meminta agar dia bisa kembali aktif kuliah? Atau karena ingin membicarakan tentang beasiswanya?
Ketua jurusan yang menghubunginya tadi adalah ketua jurusan teknik.
Oh, atau mungkin ingin membicarakan tentang lomba desain atau membahas tentang kemenangannya? Karena memang dia belum bicara secara khusus dengan dosen-dosennya.
Hanya itu yang Raya pikirkan.
Raya menghela nafas, lalu mengetuk pintu.
"Masuk!" Terdengar jawaban dari dalam.
Raya membuka pintu, dan melihat ada banyak orang di dalamnya. Entah kenapa, melihat mereka membuat jantung Raya berdebar. Dia merasa sedang memasuki ruang persidangan.
Jangan berlebihan, Raya. Kamu ini calon pengacara, semuanya akan baik-baik saja. Anggap saja ini latihan di persidangan.
Entah kenapa Raya harus berpikir seperti itu. Raya sedikit membungkuk untuk memberikan salam.
"Selamat pagi," sapanya.
"Silahkan duduk, Rayana."
"Terima kasih, Pak, Bu."
Raya duduk di salah satu sofa singel. Mengeryitkan alisnya karena merasa diperhatikan sedemikian rupa.
Ada apa ini, sebenarnya?