Bertransmigrasi kedalam tubuh Tuan Muda di dalam novel.
Sebuah Novel Fantasy terbaik yang pernah ada di dalam sejarah.
Namun kasus terbaik disini hanyalah jika menjadi pembaca, akan menjadi sebaliknya jika harus terjebak di dalam novel tersebut.
Ini adalah kisah tentang seseorang yang terjebak di dalam novel terbaik, tetapi terburuk bagi dirinya karena harus terjebak di dalam novel tersebut.
Yang mau liat ilustrasi bisa ke IG : n1.merena
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Merena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hari Pelantikan.
Keesokan harinya, pagi-pagi buta sekali, aku terbangun saat mendengar suara gaduh yang terjadi di luar. Suara bising yang terdengar seperti langkah kaki yang terburu-buru dan percakapan yang tidak henti-hentinya memecah kesunyian pagi.
Aku membuka mataku, mengerjapkan beberapa kali sebelum perlahan bangkit dari tempat tidur. Mataku tertuju pada pamanku, Lucian, yang sudah mengenakan tuxedo hitam pelayan yang rapi. Dia terlihat serius dan sibuk menyiapkan diri.
"Apa yang terjadi?" tanyaku dengan suara serak, mengantuk setelah seminggu belakangan ini tidak bisa tidur nyenyak akibat latihan yang melelahkan dengan ayahku.
"Ronan, sepertinya hari ini adalah hari pelantikan putra mahkota Kekaisaran," jawab Lucian dengan nada serius. "Cepatlah berganti pakaian. Kita akan ke kastil dalam waktu dekat."
Aku mengangguk, berusaha menyingkirkan rasa kantuk dan cepat berganti pakaian. Tuxedo hitam yang sama dengan pamanku terasa sedikit ketat di tubuhku, tapi aku menyisir rambutku agar terlihat lebih rapi dan pantas.
"Ayo pergi," ajak Lucian, dan aku mengangguk, mengikuti langkahnya saat kami berdua keluar dari rumah kecil ini menuju kastil.
Kami harus menaiki kereta kuda khusus pelayan untuk mencapai kastil, karena jaraknya lumayan jauh dari asrama pelayan. Selama perjalanan, suasana di luar terasa tegang, dengan kesatria dan pelayan yang berlalu-lalang, semua mempersiapkan diri untuk momen penting hari ini.
Singkat cerita, kami akhirnya tiba di kastil Kekaisaran Deluna. Ruangan di dalam istana tersebut sangat mewah, penuh dengan hiasan emas yang berkilau di bawah cahaya. Setiap sudutnya dipenuhi dengan ornamen yang menunjukkan kekayaan dan kekuasaan Kekaisaran.
"Ronan, walaupun kau tidak dapat menahan rasa marah, tahan saja dulu. Ingat, status kita saat ini adalah pelayan," bisik Lucian di sampingku, menegaskan pentingnya untuk bersikap tenang dalam situasi ini.
"Aku mengerti," aku menjawab, berusaha untuk mengendalikan emosiku.
Didalam istana para, bangsawan terlihat berbaris dengan rapi sekitar area kursi tahta mengenakan pakaian mewah yang menampilkan status mereka. Di sisi lebih dekat pintu istana yang besar para pelayan pria dan wanita berbaris dengan teratur, menciptakan garis lurus yang menunjukkan disiplin mereka. Atmosfernya dipenuhi dengan ketegangan dan harapan.
"Kau berdiri di belakang saja, biar aku yang berbasis," Lucian berkata, menunjuk ke arah belakang tempat para pelayan muda berbaris. Setelah itu, dia bergabung dengan barisan para pelayan, meninggalkanku sendirian.
Aku berjalan ke arah yang ditunjuk oleh Lucian, berbaris dan berdiri dengan tenang, merasakan detak jantungku semakin cepat.
Suara terompet yang meriah terdengar dari pintu kastil yang besar, diiringi oleh para kesatria yang membawa bendera lambang Kekaisaran. Di bendera tersebut, terlihat lambang bulan yang dikelilingi oleh naga, simbol kekuatan dan keanggunan.
"Kaisar Alaric Darius Deluna sudah tiba, tundukkan kepala kalian!" teriakan salah satu kesatria menggema di dalam ruangan. Dengan suara itu, para bangsawan mulai membungkuk hormat, sementara para pelayan berlutut di lantai yang dingin.
Aku mengikuti mereka secara refleks, merasakan beban tanggung jawab sebagai pelayan.
Seorang pria tua dengan rambut yang sudah beruban dan tubuh bungkuk muncul, jubahnya yang mewah berkibar lembut saat ia melangkah. Di atas kepalanya, sebuah mahkota emas berkilau menambah kesan megah pada sosoknya. Dia adalah Kaisar.
Pria tua itu berjalan dengan perlahan, diiringi oleh tiga orang wanita cantik yang memiliki wajah serupa, semua memiliki rambut emas yang berkilau. Yang membedakan mereka hanyalah panjang rambut dan warna mata mereka. Mereka memegang tangan pria tua itu dengan lembut, menuntunnya ke kursi tahta dengan penuh kehormatan.
Ketika sang Kaisar duduk di kursi tahta yang mewah, aura dan wibawa yang dimilikinya terasa kuat, meskipun tubuhnya terlihat lemah dan tidak akan hidup lama. Aku dapat merasakan bahwa kekuasaan dan kehormatan itu masih mengalir dalam dirinya, mirip dengan yang kurasakan dari ayahku.
Para wanita yang menggiringnya duduk di kursi yang telah disiapkan di samping Kaisar, satu di kiri dan satu di kanan. Aku berusaha mencari tahu di antara mereka, siapa yang mungkin ibuku, Aurelia.
Setelah Kaisar, suara terompet berbunyi lagi. "Pangeran pertama Lysander Darius Deluna sudah tiba!" Suara teriakan itu menggema sekali lagi.
Seseorang yang sudah aku lihat sebelumnya, Lysander, melangkah masuk dengan senyuman di wajahnya. Dia berjalan dengan langkah mantap dan percaya diri, jubah emasnya terlihat anggun menyelimuti tubuhnya.
Dia membungkuk kepada salah satu wanita di sisi kanan Kaisar yang tampaknya adalah ibunya, dan wanita itu tersenyum menanggapinya. Lalu, Lysander membungkuk kepada Kaisar dengan senyuman tulus yang seolah-olah mencerminkan kebahagiaannya.
"Kakek, senang melihat Anda masih sehat," katanya, suaranya hangat meskipun Kaisar tidak memberikan respons apapun, tetap diam dalam keheningan.
Terompet berbunyi lagi, "Pangeran Kedua Bram Darius Deluna sudah tiba!" Suara teriakan tersebut membangkitkan perhatian semua orang.
Dari luar, seorang laki-laki dengan perut buncit dan wajah ceroboh memasuki ruangan. Dia berjalan dengan terburu-buru, dan jika tidak berhati-hati, sepertinya dia akan terjatuh.
Bram, yang tampak tidak berpengalaman, membungkuk kepada wanita di sisi kanan dan tersenyum, lalu, seperti yang dilakukan Lysander, dia memberi hormat kepada Kaisar. "Kakek... senang melihat... Anda sehat..." kata Bram dengan suara yang tersengal-sengal, jelas menunjukkan ketidakmampuannya untuk berbicara dengan lancar.
Sama seperti sebelumnya, Kaisar tetap diam dan hanya menatap dengan matanya yang kosong. Bram kemudian berdiri di sisi Lysander, yang masih dengan senyuman di wajahnya, menciptakan kontras antara sikapnya dan kediaman Kaisar.
the darkest mana
shadow mana
masih ada lagi tapi 2 itu aja cukup