Vivian, kelinci percobaan dari sebuah lembaga penelitian, kembali pada satu bulan sebelum terjadinya bencana akhir zaman.
selama 8 tahun berada di akhir zaman.
Vivian sudah puas melihat kebusukan sifat manusia yang terkadang lebih buas dari binatang buas itu sendiri.
setidaknya, binatang buas tidak akan memakan anak-anak mereka sendiri.
.
.
bagaimana kisah Vivian memulai perjalanan akhir zaman sambil membalaskan dendamnya?
.
jika suka yuk ikuti terus kisah ini.
terimakasih... 🙏🙏☺️😘
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Roditya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 28. Cuaca dingin
Kris membolak balikkan badan di atas kasur merasa tidak nyaman dengan pengabaiannya terhadap William.
Duduk. "Lebih baik aku mengeceknya secara langsung." Kris lalu keluar dari kamarnya secara mengendap-endap. Menghindari agar tidak tertangkap oleh Vivian.
Sesampainya di lantai bawah, Vivian ternyata sedang memasak di dapur.
"Mau ke mana?." Tanya Vivian yang telah menyelesaikan masakannya.
Panik. "Tidak. Aku tidak akan kemana-mana." Kris menghindari tatapan Vivian.
Vivian memicingkan mata curiga. "Apakah benar tidak akan kemana-mana?."
"Be.."
"Jangan berbohong. Aku tahu kamu pasti akan melihat Will, kan?"
Kris merasa malu bahwa rencana nya diketahui oleh Vivian.
"Aku hanya ingin membantu. Bukankah, dia juga satu aliansi dengan kita?, bagaimana kita tidak membantunya saat dia kesulitan?." Kris masih sangat ingin melihat William.
"Kesulitan itu dia sendiri yang ciptakan. Kita hanya menyuruhnya untuk menjaga apartemen selama kepergian kita ke pangkalan militer. Dengan itu saja, kita sudah membantu nya untuk menyingkirkan ular-ular yang telah banyak membunuh penduduk apartemen. Jangan mencari masalah untuk dirimu sendiri." Ucap Vivian memperingatkan Kris.
"Tapi..." Kris ragu.
"Belum tentu mereka akan menghargai kebaikanmu. Jadi, duduk dan makanlah dengan tenang." Vivian menunjuk kursi di depannya dengan sumpit yang ia gunakan.
Dengan sedikit enggan. Kris akhirnya memilih untuk duduk di sebrang Vivian dan makan dengan tenang.
.
Jam 10.00 malam.
"Cek, cek. Halo, halo. Bzz... Halo pengguna apartemen semuanya. Saya adalah kepala apartemen yang baru saja ditunjuk. Fernando. Hari ini sepertinya turun salju dan suhu sudah mencapai minus 10 derajat Celcius. Harap untuk mengenakan pakaian yang tebal dan tetap hangat. Terutama untuk orang tua dan anak-anak agar tidak menjadi korban lagi. Demikianlah pemberitahuan dari saya. Saya harap semuanya dapat aman dan sehat."
"Pantas saja aku merasa sangat kedinginan hari ini." Kris mengeratkan selimutnya sambil duduk di atas kursi.
Saat ini masih merupakan waktu Kris untuk berjaga di depan pintu tangga darurat.
"Meong, aku ingin masuk ke dalam ruang saja meong. Di sini sangat dingin. Aku tidak ingin menjadi basah meong." Blacky yang semula tenang di pangkuan Vivian menjadi semakin gelisah ketika suhu terus-menerus turun.
Sementara di sisi lain, Vivian justru tidak merasakan apa-apa karena kekuatannya yang merupakan tipe es.
Berbeda dengan Kris yang merupakan tipe api. Pemuda itu menjadi sedikit lebih menderita daripada orang lain. Namun, tidak seburuk orang biasa tentunya.
"Hacho..." Mengusap hidung yang memerah. "Aku merindukan berada di dalam apartemen. Setidaknya Vivian masih memiliki generator yang bisa membuat penghangat ruangan masih menyala." Kris mengusapkan kedua telapak tangan untuk mengurangi hawa dingin yang masuk ke tubuhnya.
Klek.
Pintu apartemen milik Rose terbuka.
"Apa yang kamu lakukan malam-malam begini di luar?. Kembalilah, jatahmu menjaga pintu hanya sampai jam 09.00 malam." Kris menyuruh rose, ibu muda yang kehilangan anaknya untuk kembali ke dalam apartemen.
"Aku hanya mengantarkan teh jahe untukmu. Sekarang suhu udara sangat dingin. Kebetulan aku membuat terlalu banyak teh jahe." Rose meletakkan teh jahe di samping Kris.
"Terima kasih." Ucap Kris.
Setelah melihat Rose kembali memasuki apartemennya. Kris segera membuang teh jahe yang disuguhkan oleh Rose.
"Maaf. Bukannya aku tidak menghargai rezeki. Hanya saja, aku tidak bisa meminum sesuatu yang terbuat dari air banjir." Gumam Kris sambil membuang teh jahe dari jendela.
.
Vivian keluar dan menghampiri Kris yang sedang tidur sambil meringkuk di kursinya.
Pluk
Menepuk bahu untuk membangunkan Kris yang ketiduran.
"Kembalilah. Ini sudah waktunya untuk berganti giliran jaga." Ucap Vivian dengan lembut.
Mengucek mata. "Vivi? maaf aku ketiduran." merenggangkan tubuh. "Aku akan kembali dulu." Dengan setengah sadar, Kris kembali ke dalam apartemen.
"Kamu sudah datang?." Peter yang baru saja keluar dari apartemennya terkejut melihat bahwa Vivian datang lebih cepat dari biasannya.
Menaruh teh jahe di atas meja kecil. "Ya. Kris cukup kasihan karena atribut apinya cukup membuatnya sengsara." Vivian tanpa sadar tersenyum mengingat Kris yang sudah seperti kehilangan semangat yang biasa dia miliki.
Mengerutkan kening. "Dia bukan kekasihmu. Bukankah kamu terlalu memanjakan anak itu?." Ucap Peter sambil mengambil teh jahe yang dituangkan oleh Vivian.
"Apakah seperti itu?." Berpikir. "Entahlah, mungkin hanya naluri." Vivian juga ikut meminum teh jahe buatannya.
"Apakah kamu tidak kedinginan dengan pakaian seperti itu?." Peter menatap pakaian yang dikenakan oleh Vivian dengan pandangan yang tidak dapat diartikan.
"Ini cukup hangat. Kurasa." menghendikkan bahu. "Pakaian musim semi sudah cukup hangat untukku yang kebetulan memiliki atribut es. By the way, bagaimana denganmu yang beratribut petir, tidakkah cukup dingin?." Tanya Vivian yang melihat Peter mengenakan pakaian awal musim dingin.
"Belum terlalu dingin. Di tentara, aku sering menghadapi cuaca yang seperti ini. Jadi lumayan terbiasa."
.
Pagi hari.
Ketika Vivian dan Peter akan kembali ke apartemen mereka masing-masing. Mereka melihat Rose yang keluar dengan terburu-buru menuju ke apartemen William sambil menangis.
Tok tok tok tok tok...
Rose mengetuk pintu William dengan sangat keras dan terburu-buru.
"Dokter William, tolong... Tolong orang tuaku.." Rose berkata dengan sangat panik.
Cklek
Memasang kacamata. "Ada apa?." William yang baru saja menyelesaikan latihan paginya terkejut mendapati rumahnya diketuk dengan tergesa-gesa.
Menangis. "Tolong... Tolong orang tuaku, hiks. Mereka... Mereka..." menarik tangan William. "Ayo cepat lihat orang tuaku."
"Tunggu dulu. Aku harus mengambil peralatan medis dulu di dalam." William masuk kembali ke dalam apartemennya untuk membawa peralatan medis.
"Ayo kita segera ke apartemen mu." William mengikuti Rose dari belakang.
Vivian yang penasaran mengikuti keduanya menuju ke apartemen Rose. Peter juga mengikuti Vivian.
Menggoyangkan badan kedua lansia yang terbaring di kasur. "Ayah... Ibu... Ayo bangun... Aku sudah membawa dokter William kemari, hiks. Kalian pasti bisa selamat..." Rose menangis tersedu-sedu di samping orang tuanya.
Memeriksa "Ini..." William melihat Rose dengan pandangan kasihan.
"Bagaimana, bagaimana keadaan orang tuaku dokter William?." Rose menoleh ke arah William.
Menghela nafas. "Maafkan aku. Mereka sudah lama pergi. Diperkirakan sudah 3 jam sejak kematian mereka. Dan, penyebab kematiannya adalah kedinginan." William memandang dua lansia yang saling berpelukan di atas kasur sambil tersenyum.
"Tidak mungkin... Tidak mungkin!.... Tadi malam... Tadi malam mereka masih baik-baik saja. Tidak mungkin mereka pergi begitu saja. Tidak. TIDAK... AYAH... IBU..." Rose berteriak histeris tidak mau mempercayai kepergian kedua orang tuanya.
"Ini pasti ulah sepupu. Semua gara-gara mereka. Jika saja, Jika saja mereka tidak memberitahukan bahwa persediaan makanan di rumah semakin menipis. Tidak mungkin orang tuaku memilih untuk pergi. Aku benci." memukul-mukul kasur. "AKU BENCI... ARGH..." Rose menjambak rambutnya frustasi.
Vivian dan Peter saling berpandangan dan memilih untuk segera meninggalkan tempat tersebut tanpa menenangkan rose.
Sementara William masih senantiasa menenangkan ibu muda yang baru saja kehilangan anak dan kedua orang tuanya itu.
aku juga pengen hehe...
pengen juga punya ruang hehe
author juga terimakasih atas dukungannya 😊