Megha Anantasya, gadis ceria yang terjebak dalam cinta sepihak pada Bima Dirgantara, berjuang melawan penolakan dan dinginnya hati pria yang dicintainya. Meskipun usaha dan harapannya tak pernah padam, semua usaha Megha selalu berakhir dengan patah hati. Namun, saat mereka kembali bertemu di kampus, Megha menyimpan rahasia kelam yang mengancam untuk merusak segalanya. Ketika perasaan Bima mulai beralih, kegelapan dari masa lalu Megha muncul, mengguncang fondasi hubungan mereka. Di tengah ketidakpastian, Megha menghadapi kenyataan pahit yang tak terhindarkan, dan Bima harus berjuang melawan penyesalan yang datang terlambat. Ketika semua harapan tampak sirna, cinta mereka terjebak dalam tragedi, meninggalkan luka mendalam dan pertanyaan tanpa jawaban: Apakah cinta cukup untuk mengalahkan takdir yang kejam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon siscaatann, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KEMBALI KE AWAL
Setelah percakapan yang mendalam antara Bima dan Megha, keduanya merasa lebih yakin untuk melanjutkan hubungan mereka. Namun, seiring berjalannya waktu, Megha merasakan ada hal yang berubah. Bukannya mendekat, perasaan itu seperti membawa mereka kembali ke tempat di mana semuanya dimulai—tempat yang mereka coba hindari sejak lama.
Hari-hari berjalan seperti biasa, tapi Megha merasakan jarak yang tak terlihat mulai tumbuh di antara mereka. Meskipun mereka masih sering menghabiskan waktu bersama, perasaan canggung mulai kembali muncul. Megha bertanya-tanya, apakah perasaan yang dulu begitu menguat kini perlahan-lahan memudar?
Pada suatu pagi yang cerah, di kantin kampus yang ramai, Megha duduk di hadapan Bima. Suasana di sekitar mereka riuh, namun di antara mereka, keheningan terasa begitu nyata. Megha mengaduk kopinya, sesekali melirik Bima yang asyik dengan ponselnya. Biasanya, obrolan mereka mengalir dengan mudah, tetapi pagi itu terasa berbeda.
"Bim, gue mau ngomong sesuatu," ucap Megha, memecah keheningan.
Bima menoleh, matanya sedikit terkejut mendengar nada serius dari Megha. "Kenapa, Meg? Lo keliatan aneh hari ini."
Megha menarik napas dalam sebelum melanjutkan, "Lo ngerasa kita... kayak kembali ke awal, nggak? Maksud gue, setelah kita mutusin buat nyoba serius, kok gue ngerasa hubungan kita malah makin aneh?"
Bima terdiam sejenak, seperti sedang mencerna kata-kata Megha. "Gue ngerti maksud lo. Mungkin kita lagi adaptasi kali, Meg. Kita udah lama jadi temen, dan sekarang... kita coba jadi lebih dari itu. Wajar kalau ada yang berubah."
Megha mengangguk, meski hatinya masih dipenuhi dengan keraguan. "Tapi, gue takut kalau kita justru kehilangan apa yang kita punya dulu. Persahabatan kita. Gimana kalau perasaan yang kita kira cinta itu cuma sesaat?"
Bima menatap Megha dalam-dalam. "Gue ngerti rasa takut lo, Meg. Tapi gue rasa, kalau kita kembali ke awal, itu bukan berarti kita mundur. Mungkin kita cuma butuh waktu untuk menyesuaikan diri."
Megha menunduk, merasa terbebani oleh kekhawatiran yang terus menghantuinya. Dia merindukan hari-hari ketika semuanya terasa sederhana. Ketika mereka hanya sahabat, tanpa perasaan yang rumit di antara mereka.
"Bim, lo inget gak waktu kita pertama kali ketemu?" Megha tiba-tiba bertanya, mencoba mengalihkan pembicaraan.
Bima tersenyum tipis, seolah teringat momen-momen itu. "Tentu aja gue inget. Waktu itu, lo nabrak gue di lorong kampus dan buku gue berantakan semua. Gue kira lo sengaja," katanya sambil tertawa kecil.
Megha ikut tertawa, meski samar-samar. "Dan lo marah-marah, padahal gue udah minta maaf. Tapi sejak saat itu, kita jadi deket."
Percakapan itu membawa mereka kembali ke masa lalu—ke masa di mana semuanya terasa lebih mudah. Megha menyadari bahwa dia merindukan kesederhanaan itu. Namun, dia juga sadar bahwa mereka tidak bisa kembali ke masa lalu sepenuhnya. Apa yang mereka alami sekarang adalah bagian dari perjalanan mereka.
"Bim, gue nggak mau kita kehilangan apa yang kita punya. Gue nggak mau kita terjebak di masa lalu, tapi gue juga nggak mau kita kehilangan diri kita yang dulu," ucap Megha dengan jujur.
Bima mengangguk pelan. "Gue juga, Meg. Gue mau kita tetap jadi kita. Mungkin kita nggak perlu buru-buru. Kita bisa pelan-pelan lagi, kaya dulu. Kembali ke awal, bukan berarti kita menyerah, tapi mungkin kita butuh waktu untuk menyesuaikan."
Megha tersenyum, merasa sedikit lega mendengar kata-kata Bima. Mungkin dia benar. Mungkin mereka tidak perlu memaksakan diri untuk langsung melangkah ke depan. Mungkin mereka perlu sedikit kembali ke tempat di mana semuanya dimulai—tempat di mana mereka hanya dua orang sahabat yang saling mendukung tanpa tekanan.
Seiring berjalannya waktu, hubungan antara Bima dan Megha perlahan menemukan keseimbangannya kembali. Mereka masih sering menghabiskan waktu bersama, belajar, makan, dan menonton film, tetapi tidak ada lagi tekanan untuk mendefinisikan apa yang sedang terjadi di antara mereka. Keduanya sepakat untuk membiarkan semuanya berjalan seperti dulu—seperti sahabat yang selalu saling mendukung.
Suatu sore, setelah selesai kuliah, mereka berdua berjalan santai di taman kampus. Matahari hampir tenggelam, meninggalkan semburat jingga di langit. Suasana sore itu membuat Megha merasa nyaman dan tenang.
"Bim, gue rasa lo bener waktu bilang kita harus pelan-pelan," ujar Megha, menghentikan langkahnya sejenak untuk menatap langit.
Bima ikut berhenti, tangannya dimasukkan ke saku celananya. "Ya, kadang kita nggak bisa maksa sesuatu. Gue rasa hubungan apapun, baik persahabatan atau cinta, nggak bisa dipaksain buat jalan cepat."
Megha tersenyum, lalu menatap Bima. "Gue rasa ini yang kita butuhin. Waktu buat ngembaliin diri kita yang dulu."
Bima mengangguk. "Ya, tapi kita juga harus terima kalau sekarang kita udah bukan diri kita yang dulu lagi. Kita berkembang, kita berubah. Mungkin kita nggak sepenuhnya bisa balik ke masa itu, tapi kita bisa bawa hal-hal baik dari dulu ke masa sekarang."
Megha terdiam mendengar kata-kata itu. Bima benar. Mereka tidak bisa sepenuhnya kembali ke masa lalu, dan itu bukan hal yang buruk. Setiap momen yang mereka alami telah membentuk mereka menjadi lebih kuat. Persahabatan mereka telah diuji oleh banyak hal, dan itu membuat ikatan mereka lebih erat.
Mereka melanjutkan langkah mereka, berjalan tanpa tujuan di sekitar taman, menikmati keheningan yang ada di antara mereka. Tak ada lagi kecanggungan, hanya ada kedamaian dan perasaan saling memahami.
---
Beberapa minggu setelah itu, Megha memutuskan untuk kembali fokus pada hal-hal yang membuatnya bahagia, selain persahabatannya dengan Bima. Salah satunya adalah hobinya menggambar. Dia selalu merasa damai ketika mencurahkan pikirannya ke atas kertas. Sejak hubungannya dengan Bima menjadi lebih rumit, Megha jarang menyentuh sketsa-sketsa lamanya. Namun, kini dia merasa ada dorongan untuk kembali.
Di kamarnya yang tenang, dengan buku sketsa dan pensil di tangan, Megha mulai menggambar lagi. Gambar pertama yang dia buat adalah sketsa dari pemandangan taman kampus yang sering dia kunjungi bersama Bima. Tanpa dia sadari, saat tangannya bergerak di atas kertas, gambar Bima muncul di sudut sketsa itu. Megha tersenyum melihat hasilnya, merasa terhubung kembali dengan dirinya sendiri.
Sementara itu, di sisi lain, Bima mulai lebih fokus pada karier dan kuliahnya. Dia merasa bahwa membiarkan dirinya terlalu tenggelam dalam masalah perasaan hanya akan membuat semuanya semakin rumit. Maka, dia memilih untuk menyibukkan diri dengan hal-hal yang dia sukai—menyelesaikan proyek-proyek kuliahnya, berolahraga, dan tentunya tetap menjaga hubungan baik dengan Megha.
Namun, tak bisa dipungkiri bahwa ada momen-momen di mana dia merasakan perasaan asing menggelitik hatinya setiap kali melihat Megha. Meskipun mereka telah sepakat untuk pelan-pelan, ada bagian dari dirinya yang masih bertanya-tanya, apakah Megha merasakan hal yang sama?
---
Suatu hari, Megha mengajak Bima ke sebuah kafe kecil yang baru dibuka di dekat kampus. Suasana kafe itu hangat, dengan hiasan lampu-lampu kecil dan aroma kopi yang harum. Mereka duduk di pojok, berbicara tentang berbagai hal, mulai dari kuliah hingga rencana masa depan.
"Sebenarnya, lo udah mikirin apa yang bakal lo lakuin setelah lulus nanti, Bim?" tanya Megha tiba-tiba.
Bima mengangkat bahu. "Gue mungkin bakal cari kerja dulu. Atau mungkin lanjut S2. Gue belum terlalu pasti."
Megha menatap Bima dengan rasa ingin tahu. "Gue rasa lo cocok banget jadi dosen, Bim. Lo punya cara mengajar yang asik, dan lo selalu sabar."
Bima tertawa kecil. "Gue? Jadi dosen? Nggak pernah kepikiran sih. Tapi kedengerannya menarik juga."
Megha tersenyum, lalu menatap cangkir kopinya. "Gue juga belum tau sih, Bim. Kadang gue merasa takut sama masa depan. Gimana kalau kita nggak sukses? Gimana kalau kita nggak bahagia?"
Bima menyentuh lengan Megha dengan lembut. "Meg, masa depan itu misteri. Kita nggak akan pernah tahu apa yang akan terjadi, tapi yang penting adalah kita terus berusaha. Gue yakin, apapun yang terjadi nanti, kita bakal baik-baik aja."
Momen itu, di kafe yang hangat dan nyaman, Megha merasakan ketenangan yang selama ini dia cari. Kata-kata Bima selalu bisa menenangkannya, memberi keyakinan bahwa semuanya akan baik-baik saja, meskipun mereka belum tahu apa yang akan terjadi di masa depan.
---
Waktu terus berlalu, dan hubungan Megha serta Bima tetap kuat. Mereka berdua tahu bahwa perasaan di antara mereka tidak bisa dipaksakan, tapi juga tidak bisa diabaikan. Mereka memilih untuk tetap berada di titik ini, menikmati setiap momen yang mereka lalui bersama, tanpa terlalu memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Bagi Megha, kembali ke awal tidak berarti kembali ke masa lalu yang penuh kerumitan, tetapi lebih kepada menemukan kedamaian di dalam dirinya sendiri dan persahabatan yang telah terjalin begitu lama.
Dan bagi Bima, kembali ke awal adalah mengingat siapa dirinya dan siapa Megha dalam hidupnya—seseorang yang tidak hanya sahabat, tetapi juga orang yang dia pedulikan lebih dari apapun.
Akhirnya, mereka menyadari bahwa mungkin, cinta bukanlah tentang bagaimana memulai sesuatu yang baru, tetapi tentang menjaga apa yang sudah ada dan membiarkannya tumbuh dengan sendirinya. Mereka tidak tahu ke mana arah hubungan mereka akan berakhir, tapi yang mereka tahu adalah, untuk saat ini, mereka bahagia dengan apa yang mereka miliki.