Istri yang tak dihargai adalah sebuah kisah dari seorang wanita yang menikah dengan seorang duda beranak tiga
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sulastri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hesty cape sendiri
Hesty segera menghampiri bayinya yang menangis kencang karena kelaparan. Dengan cepat ia menggendongnya dan mulai menyusui, merasa bersalah karena harus meninggalkan bayinya begitu lama untuk berjualan. Bayi itu perlahan mulai tenang di pelukannya, sementara Hesty mencoba menahan lelah yang menumpuk di tubuhnya.
Namun, di sudut lain kamar, ia melihat Dody yang masih pulas tertidur, seolah tak peduli dengan tangisan bayi mereka atau perjuangannya setiap hari. Hesty menghela napas panjang, menatap suaminya dengan perasaan campur aduk antara marah, kecewa, dan pasrah.
Dalam hatinya, Hesty bergumam, "Sampai kapan harus begini? Aku yang berjuang, tapi dia seolah tak ada di dunia ini." Meski lelah fisik dan batinnya terasa semakin berat, Hesty terus berusaha tegar demi bayinya, yang kini menjadi sumber kekuatan utamanya.
Setelah bayinya tertidur kembali, Hesty meletakkannya di atas kasur dengan hati-hati. Ia lalu duduk sejenak di pojok ruangan, menatap lelah ke arah dapur yang berantakan. Kepalanya dipenuhi pikiran tentang apa yang harus dilakukan selanjutnya.
Dody, yang masih tertidur lelap, seolah tak menyadari betapa beratnya beban yang kini dipikul Hesty. Bahkan untuk membantu sedikit saja, ia tak pernah tergerak. Air mata mulai mengalir perlahan dari sudut mata Hesty. Ia merasa sendirian, meskipun ada Dody di sampingnya.
"Apakah semua ini layak?" gumam Hesty dalam hati. Meski sudah resmi menikah, tak ada kebahagiaan seperti yang ia harapkan. Yang ada hanya rasa hampa dan tanggung jawab yang semakin menumpuk.
Namun, tak lama kemudian, ia segera menghapus air matanya. "Aku harus kuat," bisiknya. Hesty bangkit dari duduknya, lalu mulai membereskan rumah. Meskipun tubuhnya terasa lelah luar biasa, Hesty tahu ia tak bisa berhenti. Bayinya butuh makan, rumah harus terurus, dan hidup tetap berjalan.
Selesai membereskan rumah, Hesty melihat jam dinding. Hari sudah hampir siang, dan Dody masih saja tidur. Ia merasa kesal, namun memilih untuk tidak mengungkapkannya. Hesty mendekati tempat tidur, berniat membangunkan Dody dengan lembut.
"Dod, bangun, udah siang'" dengan suara rendah.
Dody membuka mata setengah sadar, menguap, lalu memandang Hesty dengan malas. "Iya, nanti. Aku masih ngantuk," jawabnya sambil menarik selimut kembali.
Hesty menghela napas panjang. Ia tahu, menunggu Dody untuk berubah atau lebih peduli tampaknya hanya akan membuatnya semakin kecewa. Di balik semua itu, Hesty masih berharap bahwa keadaan bisa berubah. Bahwa mungkin, suatu hari, Dody akan menyadari tanggung jawabnya.
Tak lama kemudian, Dody akhirnya bangun dan menuju kamar mandi. Sementara itu, Hesty kembali ke dapur, mulai memasak untuk makan siang. Perasaannya bercampur aduk, antara kelelahan, kekecewaan, dan keinginan untuk tetap mempertahankan rumah tangga mereka demi anak-anak.
Namun, semakin hari, Hesty merasa bahwa perjuangan ini terasa lebih berat. Ia berpikir, sampai kapan ia bisa terus bertahan jika Dody tidak pernah berubah.
Hesty duduk termenung di kursi ruang tamu sambil menggendong bayinya yang mulai tertidur pulas setelah menyusu. Dalam hati, ia bertanya-tanya, "Kenapa Dody seperti ini? Apakah dia nggak kangen sama bayinya? Padahal sudah 40 hari sejak kelahiran, tapi dia baru datang sekali untuk melihat anaknya."
Hesty merasa semakin kecewa. Setiap kali ia melihat wajah bayinya yang mungil, hatinya semakin terluka, karena perhatian yang diberikan Dody sangat minim. Seharusnya, sebagai ayah, Dody bahagia dan terlibat dalam merawat anak mereka, tapi nyatanya Dody seolah tak peduli.
"Kenapa rasanya aku seperti mengurus semuanya sendiri?" pikir Hesty, air matanya mulai menggenang. "Apakah Dody benar-benar menginginkan keluarga ini?"
Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepalanya, namun Hesty tetap berusaha tegar. Meski ia tahu, tak selamanya ia bisa memendam perasaan kecewa ini.
Hesty melanjutkan aktivitasnya di dapur dengan penuh perasaan campur aduk. Meskipun lelah, ia tetap berusaha untuk memasak makan siang, berharap Dody bisa melihat usaha dan dedikasinya. Dengan hati-hati, Hesty menyiapkan makanan dan menata meja makan.
Saat Dody akhirnya keluar dari kamar mandi, ia tampak segar, tetapi ekspresinya tampak tidak peduli. Ia duduk di meja makan, menyantap makanan dengan cepat, seolah tidak ada yang penting selain perutnya. Hesty memandang Dody dengan rasa kecewa, namun ia memilih untuk tetap diam dan tidak mengungkapkan perasaannya.
Setelah makan, Dody mulai berpakaian dan memutuskan untuk keluar rumah. "Aku ada urusan sebentar," ujarnya singkat sebelum pergi. Hesty hanya mengangguk, merasakan kepedihan di hatinya, namun tidak berani menghalangi atau bertanya lebih lanjut.
Ketika Dody pergi, Hesty duduk kembali di ruang tamu, meraih bayinya dan memeluknya erat. Hesty berbisik lembut, "Maafkan Ibu, Nak. Ibu berusaha semampu Ibu untuk memberikan yang terbaik buat kamu, meski Ibu merasa sendirian."
Di dalam hatinya, Hesty merasa semakin tertekan dengan keadaan ini. Ia ingin sekali Dody lebih terlibat dan menunjukkan rasa tanggung jawabnya sebagai suami dan ayah. Namun, ia juga tahu bahwa mengharapkan perubahan dalam waktu dekat mungkin hanya akan membuatnya semakin kecewa.
Sambil menenangkan bayi yang mulai terbangun, Hesty memikirkan langkah berikutnya. Ia harus tetap kuat, tetapi juga perlu mencari cara untuk memperbaiki keadaan rumah tangganya. Dalam benaknya, ia mulai merencanakan untuk berbicara dengan Dody tentang perasaannya dan mencari solusi bersama, meskipun ia merasa ragu dan cemas tentang bagaimana Dody akan menanggapinya.
Hesty sibuk dengan pekerjaannya, sesekali mencuri pandang ke arah bayinya yang tertidur pulas di buaian. Bayi itu tampak damai, dan Hesty merasakan ketenangan saat melihatnya. Momen-momen seperti ini mengingatkannya pada alasan dia berjuang keras setiap hari.
Sementara itu, ibunya, yang sedang berada di sawah, meninggalkan Hesty sendirian di rumah. Hesty menghargai bantuan ibunya dalam merawat bayi, namun kadang-kadang ia merasa beban ini sangat berat. Terutama saat ibunya pergi ke sawah, Hesty harus berhadapan dengan semua pekerjaan rumah tangga dan merawat bayi sendirian.
Meskipun Hesty merasa lelah, ia berusaha keras untuk tetap positif. Ia terus berdoa agar segala usaha dan pengorbanannya membuahkan hasil yang baik untuk masa depan bayinya. Setiap kali merasa putus asa, ia menatap wajah bayi yang penuh ketenangan dan merasa terinspirasi untuk terus maju.
Dalam keheningan rumah, Hesty sering merenung tentang masa depan dan bagaimana ia bisa memberikan yang terbaik untuk anaknya. Ia berharap bisa menemukan solusi untuk memperbaiki rumah tangganya dan juga menciptakan kehidupan yang lebih baik bagi mereka berdua.