NovelToon NovelToon
Happy Story

Happy Story

Status: tamat
Genre:Tamat / Cinta Murni
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: Riska Darmelia

Karya ini berisi kumpulan cerpenku yang bertema dewasa, tapi bukan tentang konten sensitif. Hanya temanya yang dewasa. Kata 'Happy' pada judul bisa berarti beragam dalam pengartian. Bisa satir, ironis mau pun benar-benar happy ending. Yah, aku hanya berharap kalian akan menikmatinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Riska Darmelia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kopi part 2 End.

Papa dan Mama bertengkar lagi. Kali ini karena Papa mengambil kalung emasku. Aku menangis di kamarku menahan amarah. Kalung emas itu satu-satunya warisan dari nenekku (Mamanya mamaku), setahun lalu. Nenekku meninggal bulan kemarin dan warisan darinya sekarang berakhir di toko emas yang berada entah di mana. Kata nenekku berat kalung itu 10 gram.

“Kalau kamu ingin kuliah, kamu boleh jual kalung yang nenek kasih ke kamu. Kalau menikah, wariskan kalung pemberian nenek ke anak gadismu. Jangan dijual walau sesulit apa pun kondisi ekonomi yang kamu hadapi. Jangan cari suami yang sekedar kaya seperti Ibumu cari suami. Cari yang pandai hidup. Kalau merasa menikah akan membuatmu susah, jangan menikah,”kata Nenek saat ia memberikan kalung itu padaku.

Aku mendengar suara piring pecah.

“Anjing!”teriak suara Aini dari kamarnya.

Aku mendengar langkahnya yang terdengar keras berlari di lantai kayu rumah. Aku melupakan kesedihanku lalu berlari menyusul Aini. “Aini, jangan!”teriakku.

Sebelum sampai di ambang pintu, aku mendengar jeritan Papa. Aku sampai di ambang pintu, melihat Papa memegangi kepalanya lalu jatuh di lantai. Aku terpaku di ambang pintu, tidak berani menuruni tiga anak tangga pendek yang membuatku bisa melangkah menahan Aini memukul kepala Papa dengan batu ulekan.

Aku merasa senang sekaligus jahat karena senang melihat Papa tergeletak di lantai. Aku hanya memperhatikan Aini mendaratkan pukulan-pukulan penuh amarahnya. Serangan terakhir, Aini melemparkan batu ulekan itu ke punggung Papa. Pandangan Aini lalu bertemu dengan pandanganku. “Aku ngebantu Kak Ela ngebales Papa! Lain kali giniin aja! Nggak usah di kasih hati! Bisanya Kak Ela cuma nangis aja! Sekali-sekali bales!”katanya emosi.

Entah Aini dapat kekuatan dari mana untuk memukul jatuh Papa. Aku bersyukur Papa dapat ganjarannya. Aku selalu benci jadi orang yang tidak bisa berbuat apa-apa saat Papa berbuat seenaknya.

“Mama mana?”tanyaku datar. Aku lalu mendengar isakan Ibu dari kamar mandi.

“Aini jangan begitu ke Papamu, nak,”tangis Ibuku.

Aku mendengus. Cinta memang bodoh. Hanya karena cintanya Mama selalu bisa memaafkan kejahatan-kejahatan Papa, membuat kami anak-anaknya dendam. Aku masih ingat saat Papa menjual satu persatu harta milik Mama. Sepatu bermerek, baju, tas, perhiasan dan entah apa lagi. Semua itu terjadi sejak Papa di pecat dari kantornya karena korupsi. Dulu kami tidak tinggal di kota kecil ini. Dulu kami tinggal di Ibukota Negara ini. Rumah kami besar dan kami punya pembantu, supir dan juga kolam renang berwarna biru.

Tapi saat itu aku masih SD. Kemakmuran kami dulu hanyalah masa lalu.

Saat aku masih kecil aku kira Papa adalah orang yang baik. Papa suka menggendongku dan membelikan apa saja yang kuminta. Saat itu Aini juga sepertiku, menyukai Papa. Papa adalah orang tua favorit kami dan Mama yang cuma bisa dandan dan marah-marah selalu jadi orang tua nomor dua yang tidak kami suka.

Mama menyuruh kami sholat, Papa bilang nanti saja saat sudah dewasa. Mama menyuruh kami kami belajar, Papa bilang belajar di sekolah saja cukup. Papa selalu membela kami dan Mama cuma bisa menurut, membuat aku dan Aini akhirnya jadi anak-anak yang tidak punya kesibukan selain bermain. Tapi karena itulah kami menyayangi Papa. Karena memang bermainlah yang kami suka.

Aku melihat Papa yang terbaring di lantai dan pandanganku mendadak kabur karena air mata. Aku menangisi kondisi Papa? Aku bingung sendiri. Barusan aku senang melihat Papa menderita karena di pukul Aini. Tapi mengingat betapa sayangnya Papa di masa lalu kepada kami berdua, aku merasa jahat sekali. Kami membenci Papa saat Papa jatuh miskin, sedangkan Mama tetap setia membela orang yang ia cintai saat anak-anaknya menjahatinya.

“Aini, bawa Papa ke kamar atau kakak laporin kamu ke polisi,”kataku tegas.

Aku menghawatirkan Mama yang hanya bisa bicara dari kamar mandi tanpa bisa membantu Mama. Padahal Mama yang biasanya melerai Papa dan Aini saat mereka bertengkar. Aku berjalan dengan rasa khawatir di hatiku dan menemukan Mama sedang terduduk di kamar mandi sambil mengurut-urut kakinya.

“Kaki Mama kenapa?”tanyaku. Air mataku akhirnya jatuh. Aku berpikir jika suatu hari nanti aku punya anak aku tidak ingin punya anak seperti Aini dan aku. Aku ingin punya anak yang lebih bisa menghargai apa yang aku beri dan bukan hanya menyesali apa yang aku ambil. Ayahku pernah jadi orang tua yang tanpa ragu membeli benda tidak berguna seperti rumah boneka dan lego untukku hanya karena aku minta.

“Aini, inget nggak, kata Ustad orang tua itu nomor dua yang harus kita taati setelah Allah. Walau kata nabi Muhammad Papa harus di hormati setelah 3 kali menghormati Mama, bukan berarti mereka tidak boleh di setarakan,”kataku karena mengikuti kata hati dan emosiku saat ini. Aku bersyukur. Ternyata kata hatiku masih baik untuk kuturuti untuk saat ini.

Aini tidak bersuara. Ia hanya menatap Ayah yang tergeletak di lantai.

“Aini!”panggilku dengan nada sedikit keras.

“Iya. Makasih udah ngingetin. Bantuin Aini ngangkat Ayah ke kamarnya.”

“Kalau nggak kuat, kasih bantal aja.” Aku mengalihkan pandangan pada Mama yang masih duduk di lantai. “Mama mau Ela papah ke kamar?”tanyaku lembut. Aku mendengar ada sedikit tangis tertahan di suaraku, membuatku merasa emosiku kadang membuatku terasa lebih baik dari apa yang kupikirkan tentang diriku.

Mama menggeleng sambil tersenyum. Ia bergantung di pinggir bak lalu berdiri. “Mama mau lihat Papa kalian dulu. Tadi diapain Aini?”

“Aini pukul pakai ulekan!”teriak Aini. “Papa pantes di gituin!”

“Ya Allah Aini!”Mama lalu menangis.

“Ela setuju sama Aini, Ma. Kalung itu satu-satunya kesempatan Ela buat kuliah.”

Kali ini aku terdengar kejam. Tapi aku tidak merasa ucapanku salah. Sekarang satu-satunya barang berharga di rumah kecil kami adalah kulkas tua pemberian nenek. Kalau di jual pun tidak akan jutaan nilainya.

“Kalau kamu memang mau kuliah, Ela, bisa Mama usahain,”kata Mama di sela tangisnya.

“Pakai apa, Ma?”tantang Aini. “Pakai hutang?”

“Aini…”kataku memperingatkan.

Aini menatapku. Ia terlihat seperti akan menangis. “Nggak ada yang ngertiin Aini! Kak Ela itu kasihan tau! Dia nggak pernah ngelawan waktu di ledekin gara-gara keluarga kita! Nggak pernah bisa punya teman yang bener-bener bisa di bilang temen! Satu-satunya yang bisa dia andalkan cuma otaknya doang! Kalau orang kayak Kak Ela nggak kuliah, kesempatan apa lagi yang dia punya?!”teriaknya diantara tangis.

Ternyata Aini memang mengkhawatirkanku. “Iya Aini. Kakak nggak punya kebanggaan lain selai nilai. Fisik kakak jelek, nggak kayak kamu. Temen kakak cuma mau ambil untung karena begitulah cara mereka berteman. Tapi kakak bahagia, kok. Kamu nggak usah khawatirin apa-apa.” Mencoba berbesar hati. Itulah satu-satunya hal yang bisa kulakukan sekarang.

“Kakak bohong!”tuduh Aini.

Tuduhannya benar. Aku tidak bahagia. Tapi aku tidak ingin merespon. Aini tidak memerlukan jawaban. Aini tahu bagaimana aku luar dalam karena aku sering curhat padanya.

“Aku mau ke rumah temen!”teriak Aini sambil mengambil jaketnya yang tergantung di dinding ruang makan. “Kalau kalian mau bertahan sama Papa jangan bawa-bawa aku lagi dalam masalah kalian! Aku capek ngebela orang yang nggak mau dibela!”

Setelah berkata begitu Aini pergi dan membanting pintu belakang.

Mama berteriak memanggil Aini agar kembali dan berjalan keluar dari pintu dengan langkah tertatih-tatih. Kaki Mama pasti sedang sakit sekali. Entah apa yang sudah Papa lakukan pada Mama saat aku sibuk menangisi kalungku tadi.

Aku melihat Papa yang kepalanya sudah di alasi Aini pakai bantal. Aku melihat Papa sedikit bergerak lalu mengeluh pusing. Aku jadi takut membayangkan apa yang akan terjadi jika aku bermasalah dengan Aini. Kalau dipikir-pikir Aini memang kuat sekali karena bisa menumbangkan Papa yang pastinya lebih kuat dari Aini.

Aku mendekati Papa. “Pa, gimana sih caranya bikin Papa jadi kayak Papa yang dulu lagi?”tanyaku lembut. “Kami ingin Papa jadi orang yang sayang keluarga kayak dulu lagi.”

“Jangan ceramahin orang tua! Kamu cuma anak kecil yang nggak tau apa-apa soal hidup!”

Aku ingin menangis sekali rasanya. “Kalo Papa gini terus, aku nggak mau ngurus Papa kalau udah tua!”teriakku, lalu masuk ke kamar untuk melepas tangis.

Aku berjalan kaki ke sekolah dengan perasaan cemas akan telat. Mama tidak bisa memberiku jajan dan ongkos karena tidak punya uang. Sedangkan Papa masih marah pada Aini dan aku. Semalam Aini tidak pulang. Aku berharap dia tidak melakukan hal aneh-aneh di luar sana. Mama tidak bisa tidur semalam karena mencemaskan keadaan Aini.

“Ela!”panggil suara yang kukenali sebagai suara Ami.

Aku berhenti berjalan. Ami menghentikan motornya di depanku lalu membuka bagian depan helmnya. Ami tersenyum padaku. “Kenapa jalan kaki?”

Aku rasanya tidak ingin bercerita apa-apa. “Lagi pengen jalan kali buat olahraga pagi. Lagi pula sekolah dan rumahku cuma sekitar 2 km. Nggak terlalu bikin capek lah,”kilahku.

“Jangan jalan kaki deh. Naik motorku aja,”ajak Ami.

Tawaran Ami membuatku nyaris membuang nafas saking leganya. Aku belum pernah jalan kaki ke sekolah walau waktu SD aku selalu pulang sekolah jalan kaki. SD-ku dulu letaknya bersebelahan dengan SMA-ku sekarang. Aku sengaja memilih sekolah yang tidak terlalu jauh dari rumah karena tidak ingin membebani ekonomi keluarga. Sejak Papa di pecat dari perusahaan karena korupsi, kami selalu kesulitan keuangan.

Aku naik ke motor Ami. Ami langsung memelajukan motornya tanpa banyak bicara. Sepanjang perjalanan Ami diam saja. Ia tidak menanyakan kopi yang kujanjikan kemarin. Aku juga tidak bertanya apakah dia bawa muffin yang ia janjikan kemarin atau tidak. Saat kami sampai di sekolah Ami memarkir motornya di daerah parkiran gerbang depan, bukan di gerbang belakang yang lebih dekat dengan kelasnya seperti biasa.

“Kenapa parkirnya jauh banget?”tanyaku.

Ami melepas helm-nya. “Kita makan muffin dulu. Kalo aku buka kotak bekalnya di kelas nanti nggak kebagian. Paling ntar dapet masing-masing satu. Nggak puas,”jelas Ami. “Kamu bawa kopinya, kan?”

“Bawa.” Aku mendesah. Mengingat kopi ini aku jadi ingat Aini.

“Kenapa?”

Rasanya aku harus curhat. “Mau denger ceritaku? Aku butuh teman curhat, nih.”

“Oke. Cerita aja.”

“Kita cari tempat duduk dulu, yuk. Di teras labor fisika aja gimana? Di sana terasnya biasanya bersih karena jarang di lewatin, kan?”

Ami mengangguk. Kami berdua berjalan santai ke sana.

“Jadi kamu mau cerita soal apa?”tanya Ami setelah kami berdua duduk nyaman di lantai teras.

“Aku bingung harus mulai dari mana.”

“Cerita aja, jangan pakai bingung segala.”

Aku menghela nafas lalu mulai menceritakan semuanya. Ami mendengarkan saja semua ceritaku tanpa berkomentar. Kadang aku melihatnya seperti sedang berpikir. Tapi sepertinya Ami lebih banyak mendengarkan dari pada berpikir.

“Menurut kamu aku harus gimana?”tanyaku pada Ami setelah merasa puas bercerita.

“Aku nggak ngerti gimana rasanya jadi kamu jadi aku nggak bisa ngasih saran apa pun. Aku cuma bisa berharap kamu bisa berpikir jernih dalam menghadapi masalah ini. Kamu juga harus ingat kalo aku bisa jadi temen curhat kamu kapan aja,”kata Ami sambil mengelus punggungku.

Aku bingung harus berkata apa lagi. Tapi aku bahagia punya teman seperti Ami. Dia tidak seperti teman-temanku dulu yang cuma mau ambil untung dari pertemanan kami.

“Kenapa? Nggak mau curhat sama aku lagi?”

“Masih, kok. Aku cuma nggak mau ngadepin masalah lagi dalam waktu dekat. Kamu jangan do\`ain aku harus curhat lagi dalam waktu dekat dong.”

Ami tertawa. “Aku bingung kenapa kamu jadi mikir kayak gitu.” Ami mengeluarkan kotak bekalnya dari tas. “Sekarang kita makan muffinnya. Aku bikin yang rasa coklat. Kamu pasti suka.”

Aku menerima sebuah kue muffin berbau harum dari Ami. Aku terpesona dengan rasanya yang lumer di mulut. Aku tahu Ami pintar masak tapi tidak menyangka Ami sepintar ini. Untuk sesaat rasanya aku bisa melupakan masalahku dengan makan kue muffin buatan Ami. Efek cita rasa memang hebat.

Papaku sedang berusaha mencari Aini yang sudah 2 hari tidak pulang ke rumah, sementara Mama sedang menangis karena menkhawatirkan Aini. Aku sebagai satu-satunya orang di rumah ini yang tahu Aini ada dimana baru saja berbohong dengan mengatakan aku tidak tahu Aini ada dimana. Saat ini aku memilih untuk berkerja sama dengan Aini karena aku tahu Aini masih terlalu takut untuk bertemu Papa. Aini berkata kalau ia menyesal karena sudah mengikuti emosinya. Aini takut dengan efek perbuatannya. Karena paham aku memutuskan untuk berkerja sama.

“Kamu kenapa tenang-tenang aja adik kamu ngilang?”tanya Mama.

Mama mengelap air matanya pakai lengan baju daster yang ia pakai. Mama terlihat kacau dan khawatir.

“Aini pasti baik-baik aja, Ma. Aini kan udah gede,”kataku lembut.

“Aini masih anak-anak. Dia belum pernah kabur kayak gini. Bisa-bisanya kamu nggak khawatir.”

“Trus aku harus apa?”tanyaku pasrah.

Aku sebenarnya malah iri dengan Aini yang bisa lepas dari pengawasan Mama dan Papa. Dia mungkin sedang bergembira dengan teman yang ia tumpangi. Pasti menyenangkan sekali bisa menikmati suasana baru dengan teman sebaya.

Di rumah ini aku harus menjaga rahasia Aini dan cuma bisa menyeduh secangkir kopi yang Aini hadiahkan padaku di hari ulang tahunku yang ke 17. Aku mengkhawatirkan Mama yang terus mengkhawatirkan Aini tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Aku juga menkhawatirkan apa yang akan terjadi seandainya Papa akhirnya bisa menemukan Aini. Aku mengkhawatirkan Papa akan main tangan walau ia belum pernah main tangan pada anak-anaknya.

Saat sore hari tiba, Papa akhirnya pulang ke rumah tanpa Aini. Wajahnya terlihat kusut. Aku ingin bersimpati pada Papa tapi rasanya tidak bisa.

Mama menangis menyambut kabar dari Papa. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku melihat Papa memeluk Mama. Papa menenangkan Mama yang menangis, membuatku larut dalam perasaan hangat sendiri. Aku menyembunyikan senyum lalu meminum kopiku lagi. Mungkin Papa dan Mama menemukan suaka kasih sayang mereka kerena Aini pergi. Mungkin cinta seperti inilah yang dinamakan cinta sejati.

~Selesai~

1
𝕻𝖔𝖈𝖎𝕻𝖆𝖓
Hai ka.....
gabung di cmb yu....
untuk belajar menulis bareng...
caranya mudah cukup kaka follow akun ak ini
maka br bs ak undang kaka di gc Cbm ku thank you ka
Riska Darmelia
〤twinkle゛
Terima kasih sudah menghibur! 😊
Riska Darmelia: sama-sama/Smile/
total 1 replies
Tiểu long nữ
Suka dengan gaya penulisnya
Riska Darmelia: makasih.
total 1 replies
🍧·🍨Kem tình yêu
Nggak kebayang akhirnya. 🤔
Riska Darmelia: terima kasih karena sudah membaca.😊
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!