Gita, putri satu-satunya dari Yuda dan Asih. Hidup enak dan serba ada, ia ingat waktu kecil pernah hidup susah. Entah rezeki dari Tuhan yang luar biasa atau memang pekerjaan Bapaknya yang tidak tidak baik seperti rumor yang dia dengar.
Tiba-tiba Bapak meninggal bahkan kondisinya cukup mengenaskan, banyak gangguan yang dia rasakan setelah itu. Nyawa Ibu dan dirinya pun terancam. Entah perjanjian dan pesugihan apa yang dilakukan oleh Yuda. Dibantu dengan Iqbal dan Dirga, Dita berusaha mengungkap misteri kekayaan keluarganya dan berjuang untuk lepas dari jerat … pesugihan.
======
Khusus pembaca kisah horror. Baca sampai tamat ya dan jangan menumpuk bab
Follow IG : dtyas_dtyas
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dtyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28 ~
“Gimana, bisa bantu gadis itu?” tanya Kaivan.
Aldo menghis4p dalam-dalam rokoknya lalu menoleh ke arah Gita, Ikbal dan Dirga yang sedang berbincang di dalam musholla setelah menunaikan ibadah.
“Entah, aku tidak pernah menghadapi hal beginian. Entah kalau Ayah, kalau beliau masih ada mungkin beliau bisa bantu.”
“Arka, gimana?” tanya Kaivan lagi.
“Arka lahir sebagai indigo dan kadang merasakan apa yang akan terjadi, bukan menghadapi makhluk gaib apalagi lawan ‘mereka’. Seharusnya Gita ditangani oleh paranormal yang mengerti dua dimensi.”
“Tapi Dirga sangat berharap gadis itu bisa diselamatkan,” ucap Kaivan lalu menghela pelan.
“Tentu saja kita bantu, tapi aku tidak tahu bagaimana caranya.”
Obrolan kedua pria itu terhenti ketika Ikbal menghampiri. Tatapan Aldo masih tertuju pada Gita.
“MAaf Om, kita mau tunggu Pakde Yuda di sini atau ….”
“Disini saja,” jawab Aldo menyela ucapan Ikbal. “Minta Gita istirahat, simpan energi untuk nanti malam!”
Ikbal menganggukan kepalanya.
“Tapi jangan di rumah ini, di sana saja!” tunjuk Aldo ke arah kamar-kamar yang sebelumnya ditempati para pekerja di rumah itu.
Ikbal menyampaikan pesan Aldo, Gita pun patuh. Dirga sempat menggoda untuk menemani yang langsung ditegur oleh Kaivan yang mendengarnya.
“Bercanda, Pah.”
“Ck. Jangan macam-macam, Papa tidak pernah ajarkan kamu kurang ajar sama perempuan. Kalau mau langsung lamar saja, daripada ditikung laki-laki lain.” Tentu saja ucapan Kaivan menyinggung Aldo, masa lalu mereka.
“Yura tidak mencintai kamu, kalian bersaudara. Jadi, aku tidak pernah main tikung,” seru Aldo.
“Sudah sana, jangan dengarkan mereka,” ujar Dirga meminta Gita gegas ke kamar untuk istirahat.
Setelah Gita memasuki kamar yang sebelumnya ditempati Minah dan Nani, Aldo memanggil Ikbal dan Dirga untuk mendekat.
“Jangan jauh-jauh, apalagi lepas maghrib. Pastikan Gita ada dalam pengawasan kalian.”
“Baik, Om,” jawab Ikbal.
“Kalau Bapaknya Gita sudah datang, panggil aku.”
“kalian mau kemana?” tanya Dirga.
“Istirahatlah. Nanti malam akan sangat panjang dan melelahkan,” ujar Aldo lalu mengajak Kaivan bergabung dengannya di musholla kediaman Yuda. Mereka berbaring tidak jauh dari pintu.
“Mas, ayo ke sana. Nanti Gita kenapa-napa, kita nggak tahu.”
***
Terdengar deru mesin kendaraan, Ikbal gegas meninggalkan musholla. Mereka baru saja berjamaah menunaikan sholat maghrib. Ternyata Yuda pulang.
“Bapak pulang,” ucap Gita.
Aldo dan yang lain berjalan mengekor langkah Gita.
“Ada apa ini, kenapa banyak orang? Gita, siapa mereka?” tanya Yuda menatap bergantian Aldo dan Kaivan.
“Aku yang minta mereka di sini, Pak. Untuk bantu kita,” tutur Gita menjelaskan, berharap Yuda akan sepemikiran dengannya.
“Bantu untuk apa?”
“Maaf Pak Yuda, saya Aldo dan ini Kaivan. Bisa kita bicara?”
“Aku tidak ada keperluan dengan kalian, tidak ada yang perlu dibicarakan,” sahut Yuda menolak kehadiran Aldo dan Kaivan.
“Pak, kita butuh bantuan mereka. Bapak harus jelaskan, perjanjian dan pesugihan apa yang sudah bapak lakukan. Aku tidak mau kita jadi korban seperti Ibu. Akhiri saja Pak, kita bertobat,” ungkap Gita sambil memegang lengan Yuda.
“Diam kamu Gita dan kalian pergi dari rumahku,” usir Yuda.
“Pakde, Gita benar. Biar mereka bantu kalian untuk mengakhiri ini semua. Kalian bukan hanya berurusan dengan gaib, tapi masyarakat di sini sudah melihat keanehan dan kecurigaan.”
“Itu urusanku. Ikbal, bawa mereka pergi dari sini. Kamu juga pulang sana!”
“Bapak,” ucap Gita.
“Ayo, masuk!” Yuda menarik tangan Gita dan menyeretnya untuk melangkah.
“Lepaskan Gita,” sentak Dirga.
Namun, Aldo menahan bahu Dirga yang akan mendekat.
“Kita pergi,” ajak Aldo.
“Tapi Om, Gita dalam bahaya.”
Gita berusaha melepaskan tangan Yuda sambil terus berteriak, kalah tenaga dari Yuda yang menarik paksa membuatnya ikut melangkah meski terpaksa.
“Kita pergi dan kembali kalau pria itu sudah lengah,” ujar Aldo lirih.
Padahal baru lepas maghrib, tapi suasana kampung itu sudah sepi. Bahkan jarang sekali kendaraan atau orang lewat.
“Aneh,” ucap Aldo.
Sedangkan di dalam rumah, Yuda menghempaskan tubuh Gita lalu mengunci pintu depan. Bergegas ke belakang, menghalangi pintu dengan rak piring karena pintu belakang tidak bisa terkunci setelah dibuka paksa.
“Seharusnya kita terima bantuan mereka, Pak,” ujar Gita lirih. “Aku takut, pak. Semalam ‘mereka’ datang dan menyiksaku.”
Maafkan Bapak Git, kamu harus tetap di rumah ini. Mereka akan ambil kamu, besok Bapak ada waktu untuk cari bantuan lagi, batin Yuda.
“Masuk kamar kamu dan tidur!”
“Tidak mau, aku takut Pak.”
Brak.
Terdengar suara dari pintu belakang.
“Pak,” ucap Gita langsung bersembunyi di belakang tubuh Yuda. “Mereka datang.”
“Ikut bapak,” ujar Yuda menarik tangan Gita.
Yuda mengajak Gita ke ruangan yang selalu terkunci, ruang ritual untuk tumbal pesugihannya. Kunci ruangan itu selalu dibawa Yuda, tidak mudah dijebol karena gembok dan handle pintu terbuat dari besi khusus yang sangat sulit bahkan dilas sekalipun.
Saat pintu ruangan terbuka, ada bau menyengat. Bau dupa, kemenyan, apek dan bau bangkai. Gita bahkan menutup hidungnya. Ruangan sangat gelap, entah ada apa di dalam.
“Kamu tunggu di sini,” ujar Yuda lalu mendorong tubuh Gita dan langsung menutup kembali.
“Bapak!” teriak Gita sambil memukul pintu.
“MAaf Gita, bapak harus lakukan ini. Tidak ada cara lain.” Suara Yuda parau menahan tangis. Jalan yang ia tempuh salah dengan alasan membahagiakan keluarga. Namun, keluarganya ia korbankan untuk keselamatannya.
Teriakan Gita dan suara pukulan pintu masih terdengar. Yuda menuju kamarnya, mengunci pintu lalu duduk bersandar pada headboard dan merem4s rambut sambil berteriak.
“Asih, maafkan aku. Aku sayang kalian.”
Dalam kamar ritual, Gita bersandar pada pintu sambil terisak. Tangannya meraba saku celana mengeluarkan ponsel, menghubungi Ikbal.
“Gita, kamu ….”
“Bal, tolong aku. Aku dikunci di kamar ini. Tolong aku di sini ….”
Srek.
“Gita!”
Gita terdiam, ia mendengar suara. Dengan tangan gemetar dan masih berada dalam panggilan dengan Ikbal, ia menyalakan lampu dan menyorot ke depan. Masih terdengar suara Ikbal di ujung sana, sedangkan lampu perlahan menyorot ke arah meja. Meja ritual dengan sesaji yang sudah berantakan.
Tangan Gita lainnya menutup mulut ada bangkai ayam yang sudah berantakan. Bahkan rasanya ia mau muntah. Perlahan ia arahkan lagi ke arah lain, dipan di sisi meja ritual.
Deg.
Jantungnya berdebar kencang dari detakan normal. Mulutnya menganga, bahkan lida terasa kelu saat ingin beristighfar. Arah sorot cahaya ponselnya tertuju pada sosok yang selama ini sering muncul mengganggu. Termasuk tadi malam sebelum Ikbal dan Dirga menjemputnya.
Dengan kain lusuh dan kotor, sosok itu terbujur kaku. perlahan arah cahaya bergerak semakin ke atas. Beberapa ikatan tali pocong sudah terlepas. Entah apa yang dilakukan Yuda dengan jenazah di ruangan itu.
Cahaya terhenti tepat di bagian kepala, ikatan masih utuh meski sebagian tubuh jenazah terbuka dan tangan melipat di dada. Mata Gita terbelalak saat sosok tersebut tiba-tiba bergerak dan beranjak duduk.
“Aaaaaa.”