Rinda mengenalkan sahabatnya yang bernama Dita dengan Danis, kekasihnya. Sikap dan kebiasaan Danis berubah, setelah Rinda kenalkan pada Dita. Tidak ada lagi Danis yang selalu ada disetiap Rinda membutuhkannya. Karena setiap kali Rinda butuh Danis, pria itu selalu bersama Dita.
Rinda menyesal mengenalkan Dita pada Danis. Rinda tidak menyangka orang terdekatnya akan mengkhianati dirinya seperti ini.
Puncak penyesalan Rinda, dia melihat dengan mata kepalanya sendiri, Danis dan Dita masuk ke dalam hotel sambil menautkan jari-jari tangan mereka. Kebetulan Rinda sedang bersama Keenan, pria yang baru saja menjadi temanya. Rinda tidak tahu, jika Keenan adalah calon suami Dita.
Bagaimana sikap Rinda selanjutnya pada Danis dan Dita?
Keputusan apa yang akan dipilih Rinda tentang hubungannya dengan Danis
Bagaimana sikap Rinda pada Keenan, setelah tahu pria itu calon suami Dita?
Yuk simak cerita 'MENYESAL' selengkapnya, hanya di NOVEL TOON
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12 Sebentar Saja
"Luka yang ayah kamu alami tidak terlalu parah. Hanya saja, dia punya riwayat hipertensi dan serangan jantung. Jadi kita harus bersiap bila terjadi kemungkinan terburuknya." Om Cipto yang menjelaskan hasil pemeriksaan dokter yang menangani ayah Riza.
"Kapan ayah bisa sadar?" Tanya Rinda.
"Tidak bisa dipastikan. Semakin cepat, akan semakin baik." Kali ini dokter yang menangani ayah Riza yang menjawab.
"Boleh Saya dan bunda menemani ayah disini Om?"
"Bagaimana Dok?" Om Cipto meminta pendapat dokter yang merawat ayah Riza.
"Sebentar saja," jawab dokter tersebut.
Rinda berterima kasih diperbolehkan walau hanya sebentar. Dia dan bunda Nara hanya ingin menggenggam tangan ayah Riza. Sebentar tidak apa-apa. Hanya untuk memberitahu ayah Riza, dia dan bunda Nara menunggu ayah Riza sadar, sembuh, lalu bisa beraktifitas seperti semula.
"Waktunya sudah habis." Perawat mengingatkan Rinda dan bunda Nara untuk keluar. Waktu yang diberikan hanya lima belas menit. Dan tidak terasa, lima belas menit itu sudah berlalu.
"Nda, bunda belum siap ditinggalkan ayah," ucap bunda Nara begitu mereka keluar dari ruangan ayah Riza.
"Rinda juga belum siap Bun. Kita doakan ayah bisa kembali bersama kita," jawab Rinda.
Selama ini, ayah Riza menjadi satu-satunya pelindung keluarga, setelah kepergian Rendi. Sekarang pria paruh baya itu terkulai tidak berdaya. Rinda harus kuat. Dia harus bisa jadi penopang untuk bunda Nara dan Ardi, selama ayah Riza tidak sadarkan diri.
"Bunda, Rinda mau menemui Delia. Memintanya untuk kembali ke kantor saja."
Bunda mengangguk. "Biar Bunda yang temani ayah."
Rinda bangkit dari duduk. Sekilas pandangannya menjadi putih, lalu kembali normal. Rinda ingat, dia belum sempat mengisi perutnya dengan makanan yang berat. Saat sarapan, Rinda hanya minum segelas susu yang selalu disiapkan oleh bunda Nara, untuk dia dan Ardi. Lalu ditambah sepotong roti tawar. Rinda melewatkan nasi goreng masakan bunda Nara, karena terburu-buru datang ke perusahaan untuk wawancara.
"Nda, kamu kenapa?" Tanya bunda Nara. Dia melihat tubuh Rinda tidak seimbang saat berdiri.
"Bunda, Nda sekalian mau cari makan siang."
"Kamu belum makan?" Tanya bunda Nara lagi. Rinda menjawab dengan menggelengkan kepala, yang berarti dia belum makan.
"Bunda temani," ucap bunda Nara yang tidak tega membiarkan Rinda pergi dalam kondisi seperti ini.
"Bunda temani ayah saja. Nda, biar minta ditemani Delia." jawab Rinda.
Bunda Nara mengangguk. "Hati-hati. Bunda menunggu disini sambil menemani ayah," jawab bunda Nara. Meskipun dia tidak bisa berada di samping tempat tidur ayah Riza. Setidaknya bunda Nara masih berada di satu ruangan. Biarpun terhalang kaca sebagai pembatas.
Posisi Delia cukup jauh dari pintu tempat Rinda keluar. Dia ingin memanggil Delia yang sedang bicara dengan mama Danis, namun takut suaranya menganggu pasien lain. Ini rumah sakit, mereka tidak boleh berisik.
Dengan hati-hati, Rinda mencoba mendekati Delia. Tapi sepertinya perutnya tidak bisa diajak kerja sama, sehingga Rinda kehilangan keseimbangan dan terjatuh.
Rinda sudah siap dengan benturan keras yang akan dia rasakan. Namun itu tidak Rinda rasakan. Tubuhnya menghangat dan dia bisa melihat wajah Keenan yang khawatir.
Rinda tidak bisa menjawab, saat Keenan bertanya, "Apa yang terjadi?"
Rinda hanya bisa memanggil, "Keenan." Setelah itu dia tidak sadarkan diri.
"Rinda, kamu kenapa?" Keenan berusaha membangunkan Rinda.
Untung saja David sudah menyusul Keenan sejak tadi. Pria besar tinggi itu menyarankan Keenan membawa Rinda untuk diperiksa dokter.
Delia mendengar suara Keenan yang cemas. Dia segera menoleh dan melihat Rinda berada dalam pelukan pria itu. "Rinda kenapa?" Tanya Delia.
"Dia pingsan." Bukan Keenan yang menjawab, melainkan David.
Keenan tidak menjawab, karena dia sudah berjalan menuju meja perawat yang berada tidak jauh dari tempat Rinda jatuh. "Sus tolong periksa," ucap Keenan.
Mama Danis menyusul bersama Delia. Dia meminta perawat segera memanggilkan dokter untuk Rinda. "Suster, cepat panggil dokter jaga untuk periksa calon menantu saya."
Mana berani perawat tersebut menolak. Yang bicara adalah istri pemilik rumah sakit ini. Apalagi yang sakit adalah calon menantu keluarga Cipto.
"Anda ibunya Danis?" Keenan bertanya pada mama Danis, setelah mereka diminta menunggu diluar.
"Iya, Saya ibu Danis, calon suami Rinda. Kamu siapa? Bagaimana bisa kenal Danis dan Rinda?" Jawab mama Danis, yang balik bertanya.
"Saya Keenan, teman dan sekaligus rekan kerja Rinda."
"Rekan kerja?" Delia mengulang penjelasan Keenan. Delia merasa tidak pernah mengenal Keenan. Dia juga tidak pernah melihat Keenan di kantor.
"Kamu yakin rekan kerja Rinda?" Tanya Delia menyelidik.
"Baru hari ini," jawab Keenan.
"Oh, anak baru. Pantas saja saya tidak kenal kamu. Tapi, kenapa kamu bisa ada di rumah sakit ini? Kamu mengikuti kami?" Balas Delia sambil mengajukan pertanyaan beruntun.
"Tuan muda, Anda diminta tuan besar untuk melapor hasil wawancara hari ini." David menyela percakapan Keenan dan Delia.
"Tuan muda?" Delia membeo panggilan David pada Keenan. Setelahnya dia baru sadar, pria yang tadi bicara dengannya ada ceo Rajendra Group yang baru.
Delia menepuk jidatnya sendiri, merutuki kebodohannya yang curiga pada Keenan. Delia ingin minta maaf, tapi Keenan sudah tidak terlihat. Pria itu sudah pergi entah kemana.
"Kamu kenal laki-laki yang mengaku rekan kerja Rinda itu?" Mama Danis bertanya tentang Keenan pada Delia.
"Kenal, Tante," jawab Delia.
"Kenapa Tan?" Tanya Delia, karena mama Danis itu menghela nafas.
"Dia sangat perhatian pada Rinda," jawab mama Danis.
Delia sependapat dengan apa yang mama Danis katakan. Ceo mereka perhatian sekali pada Rinda. Hingga sigap sedia saat sahabatnya itu hampir jatuh ke lantai.
"Baguslah," Delia keceplosan bicara karena kesenangan jika benar Keenan punya perhatian pada Rinda. Agar Rinda bisa segera melupakan Danis, pria brengsek yang menyakiti hati sahabatnya.
Delia lupa yang berada di sampingnya saat ini adalah ibu Danis. Wanita paruh baya itu pun bertanya, "Kamu mendukung laki-laki itu merebut Rinda dari Danis?" Tanyanya.
"Bukan begitu, Tan. Duh, gimana ya ngomongnya," jawab Delia sambil menggaruk kepalanya.
Untung saja perawat memanggil mereka, sehingga mama Danis segera berdiri untuk melihat kondisi Rinda. Delia menarik nafas lega. Merutuki mulutnya yang bicara tanpa melihat situasi dan lawan bicaranya.
"Selamat, selamat," ucap Delia sambil mengusap dada, lalu menyusul mama Danis menemui Rinda.
"Perut pasien kosong, menyebabkan asam lambung jadi naik. Ditambah pikiran yang mungkin sedang banyak masalah, ikut memicu tingginya asam lambung." Dokter yang menjelaskan hasil pemeriksaanya pada mama Danis.
"Kamu pasti memikirkan kesehatan ayah kamu," ucap mama Danis, sambil mengusap kepala Rinda yang masih terpejam.
Bukan hanya memikirkan ayah Riza saja. Rinda belum mengambil keputusan untuk jadi asisten Keenan, atau tidak. Dia juga memikirkan cara yang baik untuk menjelaskan hubungannya dengan Danis tidak bisa dilanjutkan.
Sebenarnya Rinda sudah bangun, tapi dia belum siap bicara dengan mama Danis. Rinda tidak tahu, bagaimana caranya untuk memberitahu wanita baik hati itu tentang kelakuan putranya. Sayang, Danis tidak sebaik ibunya.
Sementara Danis yang diminta om Cipto untuk kembali ke perusahaan, justru berbelok menemui Dita. Sahabat Rinda itu mengancam Danis untuk bertemu. Jika tidak. Dia akan membongkar perselingkuhan Danis pada Rinda.
Danis yang tidak ingin hal tersebut terjadi, mau tidak mau menemui Dita. Di sinilah mereka saat ini berada. Di cafe langganan Danis dan Rinda.
"Mau kamu apa Dita?" Danis langsung mengajukan pertanyaan, begitu dia duduk dihadapan gadis itu.
"Kamu yang maunya apa? Aku bilang jangan temui Rinda. Kamu tetap datang ke rumahnya." Balas Dita.
"Apa yang kalian bicarakan?" Ucap Dita lagi.
"Tidak ada hubungannya sama kamu," jawab Danis.
"Danis, aku sudah kasih kamu yang tidak bisa Rinda berikan. Jangan pernah mengabaikan aku lagi!" Dita kembali mengancam Danis.
"Aku tidak akan mengabaikan kamu. Tapi sekarang izinkan aku pergi, ada hal penting yang harus aku urus."
"Aku ikut," sahut Dita.
"Dita, aku harus kembali ke kantor. Aku mau mencari tahu, siapa yang sudah menabrak om Riza."
"Ayah ditabrak? Dimana?" Tanya Dita
"Di depan kantor," jawab Danis. "Aku pergi dulu," ucap Danis lagi.
"Sekarang ayah Riza di mana?"
"Rumah sakit Cipto," jawab Danis sambil berdiri meninggalkan Dita.
"Jangan coba-coba kabur dari aku, Danis!" Dita kembali mengingatkan Danis. Sedikit berteriak, karena pria itu sudah menjauh.
"Di rumah sakit," gumam Dita.
Dita tersenyum penuh arti, mengetahui ayah Riza saat ini berada di rumah sakit. Entah apa yang ada dalam pikiran gadis itu. Yang jelas, dia terlihat sangat senang. Lalu dia menghubungi seseorang.
Dita tidak menyadari jika saat ini, dia sedang dalam pengawasan seseorang.
lanjut ttp semangat thor💪 ceritanya bagus 👍