Satu malam yang kelam … mengubah segalanya.
Lidya Calista, 23 tahun, gadis polos, yang selama ini hanya bisa mengagumi pria yang mustahil dimilikinya—Arjuna Adiwongso, 32 tahun, suami dari kakaknya sendiri, sekaligus bos di kantornya—tak pernah membayangkan hidupnya akan hancur dalam sekejap. Sebuah jebakan licik dalam permainan bisnis menyeretnya ke ranjang yang salah, merenggut kehormatannya, dan meninggalkan luka yang tak bisa ia sembuhkan.
Arjuna Adiwongso, lelaki berkuasa yang terbiasa mengendalikan segalanya. Ia meminta adik iparnya untuk menyimpan rahasia satu malam, demi rumah tangganya dengan Eliza—kakaknya Lidya. Bahkan, ia memberikan sejumlah uang tutup mulut. Tanpa Arjuna sadari, hati Lidya semakin sakit, walau ia tidak akan pernah minta pertanggung jawaban pada kakak iparnya.
Akhirnya, gadis itu memilih untuk berhenti kerja, dan menjauh pergi dari keluarga, demi menjaga dirinya sendiri. Namun, siapa sangka kepergiannya membawa rahasia besar milik kakak iparnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26. Temu Kangen
Lobi Adiwongso Group – 17.15 WIB
Udara sore di lobi masih terasa hangat. Beberapa karyawan sibuk memanggil taksi/ojek online, sebagian lagi bercengkerama sambil menunggu hujan yang baru saja reda. Lidya berdiri di dekat pilar, menatap ponselnya.
“Katanya lima menit lagi,” tulis Windy.
Ia menghela napas kecil. Lima menit, pikirnya. Tak lama.
Tapi entah kenapa, jantungnya berdegup cepat tanpa alasan.
Dan benar saja—sepuluh menit kemudian, sebuah SUV hitam berhenti di depan pintu kaca.
Dari dalam keluar seorang pria tinggi dengan kemeja biru tua dan senyum yang langsung menerbitkan nostalgia masa kuliah.
“Lidya?” Suaranya berat tapi hangat.
Lidya terpaku sejenak, matanya membulat. “Farel?”
Farel tertawa kecil. “Masih inget juga.”
Pria itu tampak jauh berbeda dari terakhir kali mereka bertemu—dulu tubuhnya gempal dan selalu berkeringat, kini tegap, rahangnya tegas, dan matanya menyiratkan percaya diri.
Refleks, Lidya melangkah mendekat dan memeluknya singkat, spontan tanpa pikir panjang. “Astaga, kamu berubah banget!”
Farel membalas pelukannya dengan tawa lebar. “Kangen, si gemoy!” katanya dengan nada menggoda.
Tawa mereka pecah ringan, murni seperti pertemuan lama yang penuh kehangatan.
Tapi di sisi lain lobi, tepat di depan pintu kaca lift, langkah seseorang terhenti.
Arjuna.
Pria itu berdiri diam, tangan kirinya masih menggenggam ponsel, sementara rahangnya mengeras. Matanya menatap lurus ke arah dua sosok itu — Lidya dan pria asing yang memeluknya di depan umum.
“Pak?” Suara Raffi memecah keheningan kecil di antara mereka.
Arjuna tidak menjawab.
Hanya matanya yang tetap terpaku. Dalam dadanya, sesuatu bergetar hebat — panas, perih, dan menyesakkan.
Raffi yang ikut menoleh berkomentar polos, “Wah … ini pacarnya Mbak Lidya kali ya, Pak? Ganteng juga.”
Seketika otot rahang Arjuna menegang.
“Pacar, ya,” gumamnya nyaris tanpa suara.
Ia memalingkan wajah cepat, melangkah ke luar gedung dengan langkah panjang dan kaku. “Ayo, Raff. Kita telat.”
Namun dalam setiap langkahnya, bayangan itu terus menempel di kepala:
Lidya, tersenyum dalam pelukan pria lain.
***
Hujan mulai turun lagi. Tetesannya memburamkan kaca jendela mobil. Raffi duduk di kursi depan, sibuk mengecek dokumen di tablet, sementara Arjuna diam menatap ke luar jendela.
Radio menyala pelan, menyiarkan lagu lawas tentang kehilangan. Tangannya mengepal di atas paha. Ia sendiri tak tahu kenapa rasanya sesakit ini.
Bukankah selama ini ia yang berusaha menjauh? Bukankah ia sendiri yang mencoba membunuh perasaan itu sejak awal?
Tapi adegan tadi di lobi—senyum Lidya, pelukan itu, tawa mereka—menyulut bara kecil yang lama terpendam. Ia menutup mata sejenak, menahan diri agar tidak kehilangan kendali.
“Dia bebas, Arjun,” bisiknya dalam hati. “Dia bukan siapa-siapa kamu.”
Namun otaknya dan hatinya saling bertentangan.
Mobil melaju di tengah hujan, meninggalkan gedung tinggi yang mulai dipenuhi lampu malam. Tapi jauh di sana, di salah satu kedai kopi kecil di kawasan Senopati, Lidya tengah tertawa bersama Windy dan Farel — tak tahu bahwa di balik jendela mobil yang berlalu di jalan seberang, ada sepasang mata yang diam-diam menatap, menahan luka yang tak boleh diakui siapa pun.
Dan dalam keheningan hujan yang makin deras, Arjuna menggenggam ponselnya erat.
Pesan di layar masih belum terkirim.
Hanya satu kalimat pendek:
“Kamu bahagia, Lid?”
Ia menatap kalimat itu lama, lalu menghapusnya. Ponsel diletakkan kembali di pangkuan, dan ia menyandarkan kepala di kursi belakang.
Di luar, kilat menyambar langit Jakarta yang gelap.
Di dalam mobil, Arjuna menutup mata — mencoba tidur, tapi justru tenggelam dalam rasa yang tak bisa ia bunuh.
***
Langit Jakarta mulai beranjak gelap ketika kafe kecil di bilangan Senopati itu mulai ramai. Aroma kopi bercampur suara alat musik dari pojok panggung menciptakan suasana hangat. Lidya duduk di kursi dekat jendela bersama Windy dan Farel, ditemani cahaya kuning temaram dari lampu gantung.
Wajah Lidya tampak lebih hidup malam itu. Tawa kecilnya mengalir ringan, sesuatu yang jarang terlihat belakangan. Di hadapannya, Farel menatap dengan tatapan bersahabat—ada rasa hangat yang menenangkan di sana.
“Jadi, kamu sekarang kerja di Adiwongso Group?” tanya Farel sambil mengaduk kopinya.
Lidya mengangguk, senyumnya tipis. “Iya. Udah mau dua tahun, sih.”
Windy menyahut sambil menyenggol bahu Lidya. “Kerja di kantor gede, bosnya cakep, gajinya pasti gede juga tuh.”
Lidya tertawa kecil, tapi suaranya terdengar hambar. “Bosnya galak banget malah.”
Farel ikut tertawa, memperlihatkan gigi rapi yang dulu jarang terlihat saat tubuhnya masih bulat. “Kamu masih suka bercanda, Lid. Tapi aku kaget banget lihat kamu sekarang. Lebih dewasa, lebih kalem, tapi masih … gemoy.”
Lidya terkekeh, menutup wajah dengan tangan. “Kamu nggak berubah ya, Fel, masih aja manggil aku gemoy.”
“Ya gimana, itu trademark kamu,” balas Farel santai.
Windy menatap mereka bergantian, lalu menyipitkan mata. “Bentar, bentar. Ini kayak reuni cinta lama deh.”
“Ah, Windy!” Lidya mencubit lengan sahabatnya. “Kita dulu cuma temen kuliah biasa. Kamu kan tahu itu ”
“Tapi kamu tahu nggak.” Farel menyandarkan tubuhnya santai ke kursi, “Dulu waktu kamu ngambek karena nilaimu jelek di mata kuliah Akuntansi Lanjut, aku tuh bela-belain ngerjain tugasmu juga loh.”
Lidya membelalak. “Serius? Aku pikir kamu ngilang waktu itu karena sibuk.”
Farel tertawa renyah. “Nggak, aku sengaja diem-diem ngerjain. Tapi ya udah, sekarang baru aku akui. Dulu aku suka kamu, Lid.”
Suasana sejenak hening. Windy menatap mereka sambil menahan tawa canggung.
Lidya hanya bisa menatap kopi di depannya. “Kamu bercanda, kan?”
“Nggak. Tapi santai aja, aku udah lewat masa itu.” Farel tersenyum, lembut tapi tulus. “Sekarang aku cuma senang bisa ketemu lagi, apalagi kamu kelihatan bahagia.”
Bahagia. Kata itu terasa menggantung di udara, menabrak ruang kosong di dada Lidya.
Ia meneguk kopinya pelan, berusaha menutupi perubahan ekspresi. “Kamu sendiri gimana? Sekarang kerja di mana? Katanya proyekmu di Kalimantan udah selesai?
“Hmm.” Farel mengangguk bangga. “Iya, akhirnya selesai juga. Aku balik ke Jakarta dua minggu lalu. Sekarang bantu kantor pusat dulu, mungkin nanti balik lapangan lagi.”
“Pantas aja kamu berubah banget.” Lidya tersenyum kecil. “Dulu kamu doyan banget makan nasi padang tiga porsi, sekarang jadi tinggi, gagah, dan … tampan.”
Windy langsung menepuk meja. “Tuh kan, dibilang cinta lama bersemi kembali!”
Bersambung ... 💔
Buat Kakak-kakak cantik yang menunggu Lidya pergi, sabar sikit ya, Sayang. Lidya pasti akan pergi, tapi mau bikin Arjuna cenat cenut dulu. Jadi, nikmati aja dulu alurnya. Kalau buru-buru, bab 40 udah tamat dong 😁.