Satu malam yang kelam … mengubah segalanya.
Lidya Calista, 23 tahun, gadis polos, yang selama ini hanya bisa mengagumi pria yang mustahil dimilikinya—Arjuna Adiwongso, 32 tahun, suami dari kakaknya sendiri, sekaligus bos di kantornya—tak pernah membayangkan hidupnya akan hancur dalam sekejap. Sebuah jebakan licik dalam permainan bisnis menyeretnya ke ranjang yang salah, merenggut kehormatannya, dan meninggalkan luka yang tak bisa ia sembuhkan.
Arjuna Adiwongso, lelaki berkuasa yang terbiasa mengendalikan segalanya. Ia meminta adik iparnya untuk menyimpan rahasia satu malam, demi rumah tangganya dengan Eliza—kakaknya Lidya. Bahkan, ia memberikan sejumlah uang tutup mulut. Tanpa Arjuna sadari, hati Lidya semakin sakit, walau ia tidak akan pernah minta pertanggung jawaban pada kakak iparnya.
Akhirnya, gadis itu memilih untuk berhenti kerja, dan menjauh pergi dari keluarga, demi menjaga dirinya sendiri. Namun, siapa sangka kepergiannya membawa rahasia besar milik kakak iparnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34. Lidya Pingsan
Arjuna sigap. Ia langsung menangkap tubuh itu sebelum sempat terjatuh.
“Lidya!” serunya pelan tapi panik.
Beberapa karyawan yang lewat berhenti. “Pak Arjuna, Mbak Lidya kenapa?”
Arjuna menunduk, memastikan napas Lidya masih teratur, meski lemah. “Pingsan. Tolong, panggil bagian medis.” Suara dinginnya berubah jadi nada perintah yang tegas.
Tanpa menunggu, ia menyelipkan satu tangan di bawah lutut Lidya, satu lagi menopang punggungnya. Dalam satu gerakan, Arjuna mengangkat tubuh itu ke pelukannya.
Tatapan karyawan-karyawan lain mengikuti mereka sepanjang koridor — campuran kagum dan heran.
Arjuna berjalan cepat menuju ruang medis yang berada di lantai tujuh. Napasnya sedikit berat, tapi matanya tetap fokus. Wajah Lidya yang pucat di dadanya membuat dadanya berdegup tak beraturan.
Begitu sampai, ia menendang pintu perlahan.
“Bantu saya!” serunya.
Perawat segera datang. “Taruh di sini, Pak.”
Arjuna menurunkan Lidya di atas ranjang periksa.
Perawat memeriksa tekanan darah dan denyut nadi, sementara Arjuna berdiri di sisi tempat tidur, kedua tangannya mengepal di saku celana. Napasnya belum sepenuhnya teratur.
“Tekanan darahnya agak turun, mungkin kelelahan atau belum makan,” kata perawat. “Kami beri cairan dulu.”
Arjuna mengangguk, lalu menarik napas panjang. “Lakukan apa pun yang perlu. Saya tunggu di sini.”
“Baik, Pak Arjuna.”
Saat jarum infus mulai dipasang di tangan Lidya, Arjuna memalingkan wajah. Entah kenapa pemandangan itu membuat dadanya terasa aneh — seperti rasa bersalah yang menekan dari dalam.
Beberapa menit berlalu. Ruangan hening, hanya suara monitor infus berdetak pelan.
Lidya masih belum sadar. Wajahnya tenang, tapi pucat. Rambutnya sedikit berantakan, ada helaian yang menempel di pipinya.
Arjuna mendekat perlahan, duduk di kursi di samping ranjang.
Ia menatap perempuan itu lama.
Dalam diam, pikirannya melayang — pada setiap kata dingin yang pernah ia lontarkan, pada jarak yang ia ciptakan, pada hal-hal yang seharusnya tak lagi ia rasakan.
Tangannya terangkat perlahan, nyaris menyentuh dahi Lidya untuk memastikan suhu tubuhnya. Tapi ia berhenti di udara. Ia menarik tangannya kembali, seperti takut melewati batas yang seharusnya tak disentuh lagi.
Perawat keluar sebentar untuk mengambil vitamin cair. Ruangan kini hanya berisi mereka berdua.
Arjuna akhirnya bicara pelan, lebih kepada dirinya sendiri.
“Kenapa kamu selalu keras kepala begini, Lidya .…”
Lidya menggeliat sedikit, napasnya terdengar berat. Kelopak matanya bergerak, lalu perlahan terbuka.
Cahaya lampu membuatnya menyipit. “Aku … di mana?” Suaranya lemah.
Arjuna langsung berdiri. “Di ruang medis kantor. Kamu pingsan di koridor.”
Lidya mencoba duduk, tapi Arjuna menahannya pelan. “Jangan dulu. Istirahat.” Nada suaranya berubah lembut — langka, dan sulit ia kendalikan.
Lidya mengerjap, menatap wajah pria itu. “Kak Arjuna .…”
“Ya?”
“Aku nggak apa-apa. Nggak usah repot-repot mengkhawatiriku.”
Kata-kata itu seperti tamparan halus.
Arjuna memalingkan wajah, menekan rahang. “Aku bukan khawatir,” katanya datar. “Aku hanya tidak ingin sekretarisku tumbang sebelum acara besar perusahaan.”
Senyum kecil muncul di bibir Lidya, getir tapi hangat. “Begitu, ya.”
Ia tahu Arjuna sedang menutupi rasa cemasnya — dan ia memilih pura-pura percaya.
Perawat kembali masuk, memeriksa infusnya. “Sudah lebih baik, tapi sebaiknya istirahat satu jam sebelum kembali bekerja, Mbak.”
“Terima kasih, Sus,” jawab Lidya pelan.
Arjuna berdiri di sisi ranjang, menatap layar jam di pergelangan tangannya.
“Aku batalkan meeting di luar. Raffi bisa urus sendiri.”
“Jangan, Kak. Aku bisa lanjut kerja sebentar lagi."
Arjuna menatapnya tajam. “Kamu pikir aku akan biarkan kamu kerja dalam keadaan sakit begini?”
Nada suaranya turun, dingin tapi tegas.
Lidya terdiam. Tatapan mereka bertemu lagi — kali ini tanpa dinding, tanpa basa-basi.
Ada sesuatu di mata Arjuna yang tak bisa ia baca: kemarahan, tapi juga kepedulian yang tulus.
“Kalau kamu masih keras kepala,” lanjut Arjuna pelan, “aku sendiri yang akan antar kamu pulang ke rumah.”
Lidya memalingkan pandangan ke arah jendela kecil. “Aku nggak mau jadi beban siapa-siapa. Sebaiknya Kak berangkat meeting saja. Aku udah baik-baik saja. Lagi pula ada perawat yang menjaga ku.”
Arjuna mendekat satu langkah, berdiri di sisi ranjangnya. “Kamu bukan beban,” ucapnya nyaris berbisik. “Tapi kalau kamu terus begini, kamu cuma akan menyakiti diri sendiri.”
Keheningan menggantung. Udara ruangan terasa berat.
Lidya akhirnya menutup mata, tidak ingin menjawab. Ia tahu jika satu kalimat saja keluar, pertahanan yang ia bangun selama dua minggu bisa runtuh seketika.
Arjuna menatapnya lama, kemudian berbalik menuju pintu. Sebelum keluar, ia sempat berkata tanpa menoleh, suaranya pelan tapi dalam,
“Kalau kamu nggak mau peduli pada dirimu sendiri … biarkan aku yang melakukannya.”
Pintu tertutup perlahan. Dan di baliknya, detak langkah Arjuna menjauh — meninggalkan Lidya yang kini memejamkan mata, tapi dadanya justru berdebar lebih keras dari sebelumnya.
Ia tahu, perasaan yang ia kubur sedang mulai menggeliat lagi. Dan entah bagaimana, ia takut — bukan pada Arjuna, tapi pada dirinya sendiri yang mulai melemah.
***
Di luar, Arjuna berhenti sejenak di depan jendela koridor, menatap langit Jakarta yang mulai cerah. Tangannya mengepal di saku, matanya menatap kosong.Ia berpikir tentang Eliza — tentang rumah yang kini terasa asing, tentang tawa palsu yang setiap malam terdengar hambar. Dan untuk pertama kalinya, ia benar-benar mengakui dalam hati: bahwa mungkin, yang ia rindukan selama ini bukan cinta, melainkan ketenangan.
Ketenangan yang hanya muncul ketika Lidya ada di dekatnya. Dan di saat yang sama, ia tahu — perasaan itu adalah sesuatu yang tak seharusnya ia miliki.
***
Mesin infus menetes perlahan, menghasilkan suara ritmis yang memecah keheningan. Lidya terbaring bersandar di ranjang putih, pipinya masih pucat, pandangannya kosong ke arah jendela.
Pintu berderit pelan. Seorang perawat masuk dengan nampan kecil di tangan. Di atasnya ada secangkir teh manis hangat dan sepotong roti isi yang masih mengepulkan aroma lembut.
“Nah, Mbak Lidya,” ujar perawat itu ramah.
“Coba diminum dulu teh manisnya, ya. Badan lemas karena gula darahnya mungkin turun.”
Lidya menatapnya sebentar lalu mengangguk lemah. Ia berusaha bangkit perlahan, bersandar pada sandaran ranjang. Punggungnya terasa berat, tapi ia memaksakan diri untuk tegak.
Perawat membantu meletakkan nampan di atas meja kecil di sisi ranjang. “Pelan-pelan aja, Mbak. Nggak usah buru-buru.”
Lidya mengangguk. Ia mengambil cangkir itu perlahan, meniup permukaannya yang masih hangat sebelum meneguk sedikit. Rasa manisnya mengalir lembut ke tenggorokan, tapi justru membuat perutnya terasa semakin aneh. Ia berusaha menelan, namun rasa mual tiba-tiba menghantam.
Perawat yang memperhatikan dari sisi langsung menegakkan tubuhnya. “Mbak, kenapa? Nggak enak badan lagi?”
Bersambung ... ✍️
Sebentar ya, sebentar lagi Lidya resign dan pindah keluar kota 🤗🔥