NovelToon NovelToon
Kognisi Pembunuh Tersembunyi

Kognisi Pembunuh Tersembunyi

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Balas Dendam / Teen School/College / Gangster
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: Atikany

Caca adalah seorang gadis pemalu dan penakut. Sehari-hari, ia hidup dalam ketakutan yang tak beralasan, seakan-akan bayang-bayang gelap selalu mengintai di sudut-sudut pikirannya. Di balik sikapnya yang lemah lembut dan tersenyum sopan, Caca menyembunyikan rahasia kelam yang bahkan tak berani ia akui pada dirinya sendiri. Ia sering kali merangkai skenario pembunuhan di dalam otaknya, seperti sebuah film horor yang diputar terus-menerus. Namun, tak ada yang menyangka bahwa skenario-skenario ini tidak hanya sekadar bayangan menakutkan di dalam pikirannya.

Marica adalah sisi gelap Caca. Ia bukan hanya sekadar alter ego, tetapi sebuah entitas yang terbangun dari kegelapan terdalam jiwa Caca. Marica muncul begitu saja, mengambil alih tubuh Caca tanpa peringatan, seakan-akan jiwa asli Caca hanya boneka tak berdaya yang ditarik ke pinggir panggung. Saat Marica muncul, kepribadian Caca yang pemalu dan penakut lenyap, digantikan oleh seseorang yang sama sekali berbeda: seorang pembunuh tanpa p

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Atikany, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Part 29

Kelvin merasa frustrasi mendalam saat dia duduk di samping Emil, yang kini tengah sibuk merakit senjatanya dengan penuh konsentrasi. Dalam keheningan ruangan yang hanya diisi oleh suara ringan alat-alat yang dipakai Emil, Kelvin memutuskan untuk menyelesaikan beban yang mengganjal hatinya.

"Apa gue semengerikan itu?" tanya Kelvin, suaranya terdengar rendah dan ragu.

Emil menghentikan kegiatannya, meninggalkan sekrup yang sedang dipegangnya. Dia menatap Kelvin dengan serius, mencoba untuk memahami apa yang membuat temannya itu merasa seperti itu.

"Maksudnya?" tanya Emil dengan lembut.

"Banyak orang yang jaga jarak sama gue. Kalau mereka lihat pun pasti mundur, menghindar ataupun nunduk," jelas Kelvin dengan nada penuh kebingungan.

Emil mendengarkan dengan seksama, membiarkan kata-kata Kelvin meresap dalam pikirannya. Sejenak, dia terdiam, mencerna informasi yang baru saja diterimanya.

"Bukankah itu bagus?" tanya Emil dengan ekspresi heran.

Namun, sebelum Kelvin bisa melanjutkan pembicaraannya, dia merasa putus asa. Bagaimana dia bisa mencari solusi dari orang yang jelas-jelas memiliki pandangan yang berbeda dengannya?

"Lupain aja," pikir Kelvin.

Mungkin memang tidak ada gunanya berkonsultasi dengan Emil, yang jelas-jelas memiliki cara pandang yang berbeda.

"Lo enggak usah peduliin orang-orang, fokus aja sama diri lo sendiri, jangan kepancing," nasehat Emil, mencoba memberikan sedikit dorongan kepada Kelvin.

Kelvin mendengarkan nasehat itu dengan penuh perhatian. Dia menyadari bahwa mungkin memang benar, dia terlalu banyak memperhatikan reaksi orang lain terhadapnya, sementara seharusnya dia lebih fokus pada dirinya sendiri dan apa yang ingin dia capai.

"Jangan perduliin sampah-sampah itu," ucap Emil dengan aura dingin.

Alunan suara ketukan yang ringan mengisi udara, diiringi dengan bunyi mekanisme yang bergerak dengan presisi. Emil, tanpa ragu-ragu, telah kembali ke pekerjaannya. Dia merakit senjatanya dengan gesit dan pasti.

"Lo enggak butuh mereka, mereka yang bakalan butuh lo," ucap Emil sembari terseyum.

Setiap sekrup dipasang dengan presisi yang sempurna, setiap bagian menyatu dengan mulusnya, membentuk senjata yang tangguh dan siap digunakan.

Namun, ketika senjata akhirnya selesai dirakit, atmosfer di ruangan itu berubah secara drastis. Dengan satu gerakan yang lancar dan pasti, Emil mengarahkan senjatanya ke target yang telah ditentukan sebelumnya.

"Lo bisa ngomong ke gue siapa orang yang ganggu lo, biar gue yang urus," ucap Emil dengan santainya.

Dalam sekejap, suara letusan merobek keheningan ruangan, diikuti oleh reaksi kimia fisika yang tak terelakkan. Sebuah ledakan cahaya menyilaukan, memenuhi ruangan dengan kehangatan yang intens, dan sebuah tembakan yang sangat akurat menerjang target dengan kekuatan yang tak terbantahkan.

\~\~\~

Malam yang sunyi memenuhi rumah, menyisakan hanya sekelumit cahaya lembut dari lampu dapur yang menyala samar. Dalam keheningan itu, Caca menyelinap perlahan ke dapur, hati-hati agar tidak menimbulkan suara yang bisa membangunkan orang-orang di rumah.

Lapar yang menggerogoti perutnya menjadi alasan Caca berani melakukan perjalanan diam-diam ke dapur.

Saat Caca mencapai dapur, matanya langsung tertuju pada kulkas yang terletak di pojok ruangan. Dia membuka pintu kulkas dengan hati-hati, mencari sesuatu yang bisa dimakan.

"Si Marica ngapa sih makannya cuma dikit?" batin Caca, merenungkan kebiasaan makan yang tidak sehat dari tubuhnya.

Selama Marica yang mengendalikan tubuhnya, asupan makanan yang masuk sangatlah sedikit. Marica terlalu fokus pada pelajaran dan hal-hal yang disukainya saja, sehingga sering kali mengabaikan kebutuhan nutrisi tubuhnya.

Bahkan jika dia makan banyak, itu hanya karena ibunya yang memaksanya. Kalau tidak dipaksa, Marica lebih memilih untuk tidak makan sama sekali.

Saat sedang terperangkap dalam pemikirannya, tiba-tiba sebuah suara mengejutkan Caca dari belakang.

"Ngapain?" tanya suara itu dengan nada heran.

Caca langsung menoleh ke samping, dan dengan refleks yang cepat, "Hwaaaa..." teriakan kaget terlepas dari bibirnya. Tubuhnya terduduk di lantai.

Ketika terkejut atau dalam situasi yang membuatnya stres, sistem saraf otonom tubuhnya bereaksi dengan cepat. Hormon adrenalin dilepaskan ke dalam darahnya, meningkatkan denyut jantung dan mengalihkan aliran darah ke otot-otot untuk persiapan berlari atau bertahan dalam situasi yang mengancam.

"Ya ampun, suara lo berapa oktaf sih?" kesal Tian, salah seorang temannya, sambil mengorek telinganya yang terasa terganggu.

"Maaf, kak," ucap Caca dengan lembut, berdiri di hadapan Tian dengan kepala yang terdungkuk rendah.

Tian awalnya merasa ingin meledak dalam kemarahan, tetapi melihat ekspresi lembut yang terpancar dari wajah Caca, membuatnya ragu untuk melanjutkan amarahnya.

Tian mengisi botolnya dengan air, "lo ngapain disini kayak maling aja?" Kata-kata Tian membawa sedikit sindiran, dipertajam oleh rasa ingin tahu.

"Mau makan, laper," Jawaban Caca sederhana.

Tanpa banyak bicara, Tian membuka lemari atas dan mengambil banyak roti dan makanan ringan lainnya, memasukkannya ke dalam plastik.

"Bawa ke kamar, kalau kurang ambil sendiri jangan manja," ucap Tian dengan sedikit ketus, menunjukkan bahwa dia tidak mau diganggu lagi.

"Makasih," ucap Caca, menerima plastik tersebut dengan tangan yang gemetar.

Tian mengamati reaksi Caca dengan seksama, merasa semakin aneh dengan tingkah laku aneh dan gelisah yang ditunjukkan olehnya.

\~\~\~

Rendra merasa ragu untuk melanjutkan hubungannya dengan Zerea. Baginya, Zerea terlalu dominan dan mengatur segalanya, terlalu ekstrem, bahkan terkadang terlihat tidak masuk akal. Jadi, dia memutuskan untuk membawa Zerea ke sebuah taman yang indah dengan lampu-lampu berwarna-warni yang mempercantik suasana.

"Zer, ada yang ingin gue omongin sama lo," ucap Rendra dengan nada serius, mencoba menekankan pentingnya percakapan ini.

"Ngomongin apa sih?" tanya Zerea, terlihat sedikit cemas.

Cahaya lampu-lampu yang berwarna-warni di taman itu seolah-olah menari-nari di sekitar Zerea, tetapi keindahan itu hanya menambah kesepian dalam hatinya. Dia merasakan getaran getaran yang tidak menyenangkan ketika Rendra menyatakan keinginannya untuk berbicara serius. Sebuah preludium yang menakutkan dari kehancuran yang akan datang.

"Gue rasa gue enggak bisa lanjutin hubungan kita, kita perlu putus," ucap Rendra tegas.

Saat Rendra mengucapkan kata-kata yang menghantamnya seperti pukulan telak, Zerea merasa seolah-olah dunianya runtuh di hadapannya. Bagaimana mungkin, bagaimana dia bisa menduga bahwa segalanya akan berakhir seperti ini?

Dia mencoba menahan diri, mencerna kata-kata itu, mencari alasan, mencari titik terang dalam kegelapan yang menyelimuti pikirannya.

"Gue salah apa, Rend?" tanya Zerea dengan nada kecewa yang sangat terasa.

"Gue merasa enggak nyaman dengan sikap lo yang suka curiga dan terlalu banyak menuntut," jawab Rendra dengan jujur, mencoba menjelaskan alasan putusnya.

"Cuma itu?" tanya Zerea, kesal dan tidak percaya.

Baginya, rasa curiga itu adalah bentuk dari cinta dan kepedulian, tetapi bagi Rendra, itu adalah beban yang membuatnya merasa terkekang.

"Lo terlalu banyak nuntuk gue untuk jadi yang kayak lo mau, dan kadang-kadang lo terlalu cemburuan. Gue enggak bisa terus begini," tambah Rendra, mencoba menyampaikan perasaannya.

"Enggak, enggak, Rend! Gue enggak mau putus!" tolak Zerea, tetapi Rendra tetap teguh pada keputusannya.

"Gue minta maaf kalau gue ada salah. Tapi kita memang enggak cocok satu sama lain," ucap Rendra, menutup pembicaraan itu dengan sikap tegasnya.

Rendra, dengan langkah-langkah mantapnya, pergi meninggalkannya sendirian. Zerea merasa sesak, ingin berlari mengejar dan meminta penjelasan lebih lanjut, tapi kakinya seperti terpaku di tempat. Dia terlalu terkejut untuk bergerak, terlalu hancur untuk mengejar.

Zerea menatap langit malam yang gelap di atasnya. Bintang-bintang yang berkedip-kedip di kejauhan seakan menawarkan sedikit cahaya dalam kegelapan hatinya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!