Keturunan Terakhir, mengisahkan perjalanan ke lima remaja dalam mengabdi di suatu yayasan yang menyimpan misteri. Tazkia, si gadis dengan kemampuan istimewanya, kali ini ia berjuang melawan takdirnya sendiri, menjadi keturunan terakhir yang akan jadi penentu untuk anak turunnya. Dia harus mendapatkan cinta sejati. Namun, disisi lain ia tak ingin mengorbankan persahabatannya. Lantas bagaimana Kia menyikapi antara cinta dan sahabat?
Kisah ini adalah kisah lanjutan dari novel sebelumnya, berjudul TEROR BAYI BAJANG. Jika kalian bingung bacanya, disarankan baca novel pertamanya dulu ya. Happy reading yeorobun. 🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ERiyy Alma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua Puluh Delapan
“Ki, kamu jujur deh kamu pasti melihat sesuatu kan saat menyentuh tangan kak Devi?” tanya Shella tatkala mereka hanya berdua di ruang pemeriksaan.
“Ada yang aneh, aku tak bisa melihat masa lalu Husin dari tangannya sendiri. Namun, aku melihatnya di tangan kak Devi.”
“Maksudmu?”
Kia diam sejenak, menghembuskan nafas berat seraya menunduk. Menatap telapak tangannya yang bergetar, “kalau saja aku tak punya kemampuan ini, mungkin akan lebih baik. Tak menyenangkan bisa mengetahui hal yang seharusnya tak perlu ku tahu. Bahkan saat kami baru saja berbaikan.”
“Boleh aku tau apa itu?”
“Mereka begitu dekat, tatapan mata kak Devi adalah tatapan cinta, aku tahu itu. Husin memeluknya erat seolah takut kak Devi terlepas dari pelukannya.”
Shella membekap mulutnya sendiri, “kamu serius? terus apalagi yang mereka lakukan?”
“Hanya itu yang kulihat, kamu tau sendiri aku melepas paksa tangan kak Devi. Mungkin dia akan salah paham padaku saat ini, apa yang harus kulakukan Shel? tak seharusnya aku bersikap begitu. Dari tadi aku menyesali tindakanku, bahkan membentak Husin yang berjalan mendekat dan menolak pergi ke rumah sakit bersamanya. Aku bodoh, kenapa aku bersikap begitu padahal aku nggak punya hak atas dia.”
“Sadarkah kamu juga menyukainya Kia?”
“Hah? aku?”
Shella mengangguk mantap, menatap mata Kia dan menghapus air mata yang meleleh dari pipi gadis itu. “Dengarkan aku, tak semua yang kamu lihat seperti yang kamu pikirkan. Itu hanya cuplikan, kamu tak tahu kejadian sebenarnya. Setauku, Husin sangat menyukaimu, percayalah.”
“Tapi Shel, mata kak Devi juga mengatakan kejujuran, aku tahu itu.”
“Hah, sebenarnya aku juga sering lihat kak Devi curi-curi pandang pada Husin. Bahkan kejadian di bus saat ia merebut kursi yang seharusnya menjadi milikmu. Saat itu aku menganggap semua biasa saja, siapa yang bisa menolak pesona Husin Hanan At-taqiyy? karena lelaki itu memang sangat tampan. Kamu bahkan tahu, aku dulu tergila-gila padanya. Tapi sebelum aku kenal Evan loh ya.” Shella terkekeh pelan.
Shella menepuk pelan pundak sahabatnya, ia tahu bagaimana perasaan Kia saat ini. Selama ini hubungan mereka dengan Devina sangatlah baik, gadis itu selalu ikhlas membantu mereka. Namun, ini masalah hati, bukankah ini rumit menurut kalian?
Ketukan pada pintu membuat keduanya tersadar, Rendra datang membawa nasi kotak dan beberapa minuman. Ada air mineral, teh hangat bahkan jus alpukat. “Aku membeli beberapa karena tak tahu apa kesukaanmu Tazki, makanlah bersama temanmu.”
Kia menerima pemberian Rendra, ia teringat Husin saat pandangan matanya jatuh pada Jus alpukat dalam kantong plastik transparan itu. “Terima kasih Ren, kamu nggak perlu repot-repot sebenarnya.”
“Anggap aja kamu lagi beruntung saat ini, aku tak pernah seperti ini pada wanita lain. Catat itu,” ucapnya tersenyum manis. Kia mengingat cerita Devina, tentang Narendra yang memang dingin pada wanita manapun.
“Ki, aku mau ke toilet dulu ya,” ucap Shella. Ia sadar diri hanya akan jadi obat nyamuk di antara keduanya. Saat Kia mengangguk, Shella segera melesat pergi dari ruangan itu, ia duduk di depan kamar sembari memainkan ponsel di tangannya. “Astaga, mereka tergila-gila pada sahabatku, kapankah aku juga dapat merasakan hal sama,” gumamnya.
Sementara itu di tempat berbeda, Husin duduk sendiri di depan kamar. Menatap langit malam dengan wajah sendu, Ijan melihatnya dengan tatapan iba. “Husin, aku boleh duduk?”
“Duduk saja Jan,” jawabnya.
“Husin, sebenarnya aku juga nggak suka sama lelaki itu, siapa deh si preman kampus itu namanya? Rendra ya.”
Menatap sekilas, Husin kembali menyesap kopi dalam cangkir yang sudah hampir kosong.
“Kenapa sih kamu diam saja saat Rendra bawa Kia?”
Husin tersenyum tipis, cangkir kopinya kini benar-benar telah kosong. Diletakkannya begitu saja di samping kakinya. “Apa yang bisa kulakukan saat itu adalah keinginan Kia. Melihatnya bisa berjalan sendiri menuju mobil saja bagiku sudah cukup. Itu tandanya dia baik-baik saja.”
Keduanya sama-sama terdiam, sebenarnya Husin tengah memikirkan apa alasan Kia menolak ajakannya dan lebih memilih Rendra, padahal belum genap satu jam saat mereka berbincang berdua di depan kamar mandi. Menurutnya ada yang aneh dengan Kia, belum lagi cahaya apa yang ada di lehernya kala itu.
“Husin, mbak Inem sama Bang Heru sudah di berhasil diamankan.”
“Benarkah?”
“Ya, baru saja Dicky yang memberiku kabar. Mereka sedang di introgasi di kepolisian sekarang, ngeri banget ya. Apa motif pembunuhan itu, dan katanya mayatnya gosong ya Husin? aku nggak lihat sih, pas kecium baunya aja aku udah nggak kuat. Masa sih dibakar, sadis bener.”
Husin hanya diam, ia sangat bersyukur jika pelaku pembunuhan itu berhasil ditangkap polisi. Itu artinya arwah Warmin bisa tenang setelah ini, ia merasa kasihan pada Kia. Hidupnya pasti tak mudah sebab bisa melihat makhluk-makhluk tak kasat mata.
“Sudah sangat larut, kamu nggak akan masuk? di luar dingin Husin.”
“Kamu masuk dulu saja Jan.”
“Sampai kapan kamu mau tunggu Kia? yang ada masuk angin nanti kamu.” Ijan masuk ke dalam kamar, Husin hanya tersenyum mendengar ucapannya. “Cinta bikin orang gila, kasihan sekali si Husin. Evan juga, astaga…” gumamnya lirih.
Tak sampai hati, Ijan kembali dengan bantal dan selimut, melemparnya tepat di pangkuan Husin. Lelaki itu menatapnya hendak protes, tapi Ijan segera berdalih. “Pakai aja, setidaknya kamu tidak terlihat menyedihkan Husin.”
Husin tertawa lirih, tapi pada akhirnya ia mengucapkan terima kasih pada temannya itu. Ia hanya merasa tak lega jika belum menyaksikan Kia kembali dari rumah sakit, meskipun itu berarti ia harus mengorbankan kesehatannya menunggu diluar kamar dalam cuaca yang sangat dingin.
***
Dalam ruang berukuran 4x4 meter persegi seorang lelaki duduk bersimpuh, di depannya sebuah kursi raja mewah berwarna hitam berdiri kokoh, tampak pongah menggambarkan pemiliknya. Ruang dengan cahaya redup itu hanya memiliki satu ventilasi.
Suasana sekitar pun sangat sepi, menandakan bahwa ruang itu terletak jauh dari keramaian warga sekitar. Seorang lelaki berperawakan tinggi besar dengan topeng panji terpasang di wajah, serta jubah hitam menyapu lantai berjalan bersama dua ajudannya. Lelaki itu duduk diatas kursi sembari menatap tajam lelaki di bawahnya.
“Ada apa kau ingin menemuiku?” ucap lelaki itu dengan suaranya yang terdengar berat.
“Maaf Tuan, jamur yang kita tanam telah berhasil dicabut paksa.”
“Siapa itu?”
“Menurut sumber kita, itu adalah seorang gadis.”
Mendengar penuturan orang kepercayaannya membuat tawa lelaki itu meledak, menggema pada sudut-sudut ruang. “Maka itu berarti, ini saatnya,” ucapnya lagi.
“Baik Tuan.”
🏃🏃🏃🏃🏃