NovelToon NovelToon
Rumah Rasa

Rumah Rasa

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen Angst / Teen School/College / Keluarga / Persahabatan / Bullying dan Balas Dendam
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: pecintamieinstant

Rumah Rasa adalah bangunan berbentuk rumah dengan goncangan yang bisa dirasakan dan tidak semua rumah dapat memilikinya.

Melibatkan perasaan yang dikeluarkan mengakibatkan rumah itu bergetar hebat.

Mereka berdua adalah penghuni yang tersisa.

Ini adalah kutukan.

Kisah ini menceritakan sepasang saudari perempuan dan rumah lama yang ditinggalkan oleh kedua orang tua mereka.

Nenek pernah bercerita tentang rumah itu. Rumah yang bisa berguncang apabila para pengguna rumah berdebat di dalam ruangan.

Awalnya, Gita tidak percaya dengan cerita Neneknya seiring dia tumbuh. Namun, ia menyadari satu hal ketika dia terlibat dalam perdebatan dengan kakaknya, Nita.

Mereka harus mencari cara agar rumah lama itu dapat pulih kembali. Nasib baik atau buruk ada di tangan mereka.

Bagaimana cara mereka mempertahankan rumah lama itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pecintamieinstant, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 27

Pertemuan panjang antara guru dan murid sedang berlangsung cukup khidmat.

Bagian terdepan yang berhadapan dengan para murid itu telah diisi oleh para petugas upacara. Para guru berada di dekat petugas upacara, dan para murid menikmati serangkaian alur acara sakral yang diadakan setiap hari pertam usai liburan panjang sebanyak dua kali.

Penutup lapangan di atas kepala kami setidaknya menjadi keringanan untuk menghindari teriknya matahari. 

"Hei, Sal," bisik Gita, mengetuk pundak temannya di depan. 

Salma tidak menoleh sedikit pun. 

"Sombong juga ternyata, ya." Gita berbisik pada hatinya, terasa kesal tidak diperhatikan. "Ya sudah kalau itu maumu, Sal. Lihat saja nanti, biarkan saja dia berbicara sendiri." Gita menatap hal lain yang menarik di sekitarnya.

Wajah Gita menjadi menegang, mengamati para pelajar berdiri tegak mematuhi aturan. Diam seperti patung, bergerak jika disuruh. 

Upacara diteruskan panjang. Pada puncak acara upacara... guru yang berdiri menunggu sabar paling dekat dengan panggung kecil itu akhirnya menaiki panggung yang diberikan. Mikrofon kecil dibuka dengan tes suara, selanjutnya memulai membacakan sesuatu yang telah lama disiapkan sebelum acara ini dimulai.

Menguap sudah mulut Gita yang membuka lebar. Mata menyipit mengantuk. Kaki selalu bergerak bergantian karena rasa pegal mengharuskan selalu berdiri.

Bian segera menyikut Gita, mengetahui kelakuan temannya di samping.

"Kenapa denganmu itu?" Gita menganga, tidak paham.

"Di belakang kita ada yang mengawasi," Bisik Bian, mendekati diri padaku.

"Benarkah? Siapa?"

"Jangan lihat belakang kamu ini, Gita." Bian memegang pundak, meluruskan perempuan di samping untuk menghadap depan. 

Bergoncang sedikit bagi Gita setelah dirinya digerakkan ke tempat semula. Tidak percaya anak laki-laki ini membantunya agar guru-guru di belakang barisan murid-murid ini tidak curiga. Kalau saja terjadi keributan tidak kondusif, biasanya para guru itu akan memindahkan anak yang bermasalah ke tempat lain. Mungkin bisa bersama kakak kelas ataupun adik kelas yang tidak dikenali.

Khidmat semua orang yang mengikuti. Suara batuk, bersin menemani setiap upacara yang diadakan.

Pidato yang dibawakan guru tadi telah selesai. Seluruh anak bergegas kembali setelah mendengar suara bel pertama kali dibunyikan setelah dua hari sebelumnya tidak dirasakan. Liburan menyenangkan membuat perempuan ini lupa akan dunia sekolah. Dan, ah, rasanya tidak adil ketika harus berakhir. Mengapa tidak ada hari libur lagi di tanggal merah? Sebal rasanya.

Karena sejak tadi berpikir macam-macam di kepalanya, senggolan tubuh mengenai kembali anak perempuan yang berdiri diam. 

"Git, kamu sedang apa disini? Ayo kembali," ajak Salma, menunggu perempuan ini yang segera melihatnya juga. 

Gita terdiam menutup rapat bibir pucat. 

"Gita...dengar tidak? Jangan bercanda begini." Salma menarik pendek lengan temannya. 

Gita tidak menjawab. Hanya sebatas memandang wajah temannya yang berubah cemas. 

Bian yang menunggu mereka berdua akhirnya terlibat. Membantu mengatasi diam dan sikap dingin yang mendadak tiba-tiba tanpa aba-aba. "Kamu kembali saja dahulu, Sal. Anak ini katanya mau berbicara sebentar denganku."

"Oh, ya, baiklah." Dengan nada merendah datar, Salma menyetujui apa yang akan mereka bicarakan berdua di tengah-tengah lapangan. 

Gita mengamati jalan temannya. Semakin menjauh, dan menjauh sampai hilang masuk ke bangunan lama.

"Astaga, akhirnya bisa menghirup udara bebas."

"Kalian sedang bermasalah lagi?" 

"Bukan ada masalah sebenarnya. Setelah sampai di barisan...dia tidak mau menyapaku. Kesal, kan? Kalau menurutmu kau tidak disapa, apa yang akan kau lakukan? Kau akan marah juga?"

"Biasa saja. Lagipula sebelum upacara memang harus diam. Mengurangi mengoceh sesama teman. Menghormati para pahlawan. Kamu ini selalu saja mengikuti gerakan orang-orang yang tidak bisa mematuhi upacara, Git. Seharusnya bisa meniru seperti Salma. Diam. Bukan seperti  upacara tadi. Penasaran lihat ke belakang." 

Bian menghentikan bibir. 

"Hei, jangan samakan dengan lainnya. Berbeda, tau."

"Berbeda? Berbeda dari segi apa? Sama saja seperti murid-murid berandalan, tidak mau belajar serius. Melakukan apa pun semaunya. Suka berpikir 'yang penting cepat selesai' padahal ilmu-ilmu yang diberikan tidak masuk ke pikiran."

"Mengapa kau ungkit lagi?" Gita menatap Bian dengan perasaan tidak terima.

"Supaya kamu bisa mengerti dengan pelajaran ini. Prihatin tau, kamu selalu maju ke kelas, masuk ke bk akhir-akhir ini, berkelahi dengan bendahara."

"Tu-tunggu sebentar? Sejak kapan kau tau tentang bk itu, huh?"

"Aku melihatnya langsung setelah Pak Ali menegur kalian berdua." 

"Sejak kapan? Tidak pernah kulihat sebelumnya kau ada di sana juga."

"Ya... karena kalian sibuk berkelahi, sibuk ditegur guru agama, diakhiri masuk bk. Kalian kembali ke kelas, dan aku melihat gerakan kalian berdua. Bagaimana? Sudah seperti mata-mata profesional, bukan?"

Dua murid berbeda watak, serta berbeda postur tinggi itu mulai menghadap. Berdebat lama. Saling melipat tangan, memperlihatkan tampang menindas, meremehkan pihak lawan bicara.

"Bagaimana dengan pekerjaan kelontongmu itu? Kau bekerja setelah pulang sekolah. Memangnya kau bisa membagi waktu? Belajar, mengurus anak kelas, mengurus geng konyolmu itu, mengurus rumah." Gita menghitung dengan jarinya.

"Semua itu dirancang, Git. Menulis kegiatan setiap hari. Lebih ke arah mengatur diri sendiri. Disiplin apa saja yang benar-benar perlu untuk dilakukan, dan mana saja yang dibiarkan. Mudah kalau kamu juga punya perencanaan itu."

Gita tidak bisa membuka mulutnya. Diabaikan anak laki-laki yang menjauh seperti Salma.

Menggeleng heran, tidak tau apa yang sudah menimpa dirinya. Menusuk, menohok seperti menembus sampai ke inti bumi. Kisah hidupnya telah dibicarakan lagi oleh kedua orang yang selalu dekat dengan Gita. Bukan hanya sekali. Ini sudah kedua kalinya dia dibicarakan seperti itu. Semua sisi buruk dikeluarkan hingga habis. Gaya hidup yang buruk, kegiatan belajarnya, apa saja dipantau oleh anak laki-laki itu.

Banyaknya kekurangan yang dimiliki Gita, belum menjadikan pribadi yang lebih baik. Maka dia akan melakukan seperti itu lagi. Tidak tau sampai kapan. Gita hanya akan berbuat jika memang menurutnya benar. Salahkan dia jika membela temannya yang tertindas bila menggunakan jurus yang dipelajari dari sang Ayah? Beladiri misalnya. 

Sekali lagi Gita tidak paham tentang aturan dunia. Dia hanya akan melakukan hal yang menurutnya benar meskipun temantemannya sering mengecap salah. Dan masalah tentang kebiasaan buruk...memang sejatinya agak sulit dibuang jauh-jauh. 

Satu burung bertengger kembali dekat salah satu pohon matoa. Pohon terbesar yang dimiliki sekolah. Konon katanya siapa yang mengambil buah lebat itu, dia akan tertimpa masalah. Sejauh ini belum ada satu murid yang berani mendapatkan. Tetapi lihat saja kedepannya. Pasti akan ada seseorang yang berani melakukan.

Bel sekolah diulang kembali.

"Gawat! Harus cepat-cepat masuk!" Perempuan yang awalnya masih menatap pohon keramat sekolah, teralihkan oleh suara khas pemanggil murid-murid. 

Lorong panjang dipakai dari perempuan mengenakan rok biru, berlari melewati apa saja yang menghadang. Menatap depan, mengelap keringat, menyampingkan anak-anak rambut yang melekat karena keringat... Dilakukan berulang kali.

Tidak ingin melewatkan hari pertama pelajaran, akhir dari usaha yang dikerahkan ternyata membuahkan hasil.

Gita menghembuskan napas terberat setelah larian melelahkan. Kemudian duduk bersiap-siap, dia memangku wajahnya. Semoga saja kegiatan ini tidak memberatkan tingkat kemalasan.

1
S. M yanie
semangat kak...
pecintamieinstant: Siap, Kak 🥰👍😎
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!