Divi hampir menyerah saat pengajuan pinjamannya ditolak, dengan alasan Divi adalah karyawan baru dan pengajuan pinjamannya terlalu besar. Tapi Divi memang membutuhkannya untuk biaya operasi sang ibu juga untuk melunasi hutang Tantenya yang menjadikan Divi sebagai jaminan kepada rentenir. Dimana lagi dia harus mendapatkan uang?
Tiba-tiba saja CEO tempatnya bekerja mengajak Divi menikah! Tapi, itu bukan lamaran romantis, melainkan ada kesepakatan saling menguntungkan!
Kesepakatan apa yang membuat Arkael Harsa yakin seorang Divi dapat memberikan keuntungan padanya? Lantas, apakah Divi akan menerima tawaran dari CEO yang terkenal dengan sikapnya dingin dan sifatnya yang kejam tanpa toleransi itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kiky Mungil, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chap 28. Ketakutan Divi Yang Tiba-tiba
"Ampun, Ayah! Ampun!" Suara Divi bergetar, matanya menyorot penuh ketakutan, perlahan tubuh gadis yang masih berada di bawah Arkael itu pun juga ikut gemetar hebat, seraya kepalanya terus menggeleng cepat.
Arkael bangkit dengan kebingungan, dia berusaha menyadarkan Divi, meski Divi berontak dengan tangan yang lemah mendorong dada Arkael.
"Ampuuun Ayah! Ampun! Jangan! Ampun!" Divi terus meracau, menyebut Arkael seolah Arkael adalah ayahnya.
"Divi! Ini aku, Arkael! Divi!"
Divi terus mendorong Arkael, terus menggelengkan kepalanya, gadis itu mulai menangis sambil terus meminta ampun.
Arkael harus memutar otak, jika yang dihadapinya itu laki-laki, mungkin saja Arkael bisa memukulnya atau menamparnya untuk membuat sadar, tapi dia tidak mungkin melayangkan tangannya kepada wanita atas alasan apa pun.
Sebuah gelas membuat Arkael mendapatkan ide, dia beranjak dari kasur, menyambar gelas di atas meja, diisi dengan air lalu dia siramkan air itu ke wajah Divi.
Berhasil!
Perlahan, racauan gadis itu melemah, dan berhenti, meski tubuhnya masih terlihat gemetar, namun sorot matanya pelan-pelan berubah, dari sangat ketakutan menjadi kosong. Apakah itu lebih baik dari pada ketakutan? Entahlah, yang penting Divi tidak lagi histeris ketakutan.
"Divi?" Arkael berlutut di samping tempat tidur, tepat disisi Divi, suaranya memanggil Divi dengan sangat lembut. "Divi?"
Divi melihat kepada Arkael, tatapannya masih kosong, seolah gadis itu tidak memiliki jiwa.
"Ini aku, Arkael."
"Ar...kael?"
"Iya, Arkael."
"Pak...Kael?"
"Iya. Kamu kenapa?"
Namun tatapan kosong itu kembali berubah, ketakutan kembali masuk dalam diri Divi, tapi dengan porsi yang berbeda. Divi beringsut turun dari tempat tidur dan langsung meringkuk di balik punggung Arkael.
"Divi? Apa yang kamu lakukan?"
"Tolong saya, Pak! Tolong saya! Tadi...tadi ada Ayah! Ayah datang mau menghukum saya lagi! Saya nggak nakal Pak, saya nggak nakal! Tapi...tapi Ayah nggak percaya! Tolong saya, Pak! Tolong!"
Arkael meringis, hatinya terasa nyeri mendengar suara Divi yang ketakutan dan terdengar pilu. Apa yang telah terjadi padanya?
Arkael berbalik badan agar bisa berhadapan dengan Divi, ditatapnya Divi lekat-lekat, tangannya menarik dan menggenggam kedua tangan Divi yang sedingin es.
"Divi, hei lihat aku." Sebelah tangan Arkael membawa dagu Divi agar kepala gadis itu tidak bergerak-gerak ke kanan dan ke kiri seolah memastikan Ayahnya tidak ada disekitar mereka. "Lihat aku!" Titahnya, tidak dengan nada galak, ia mengatakannya cukup lembut tapi juga tegas.
Bola mata Divi yang berlarian pun akhirnya terkunci pada kedua mata Arkael yang lekat.
"Dengar, nggak ada ayahmu disini."
"Tapi tadi...tadi Ayah datang!"
"Dengarkan aku, ayahmu nggak akan pernah kembali, selamanya. Dia sudah meninggal lima tahun lalu. Ingat?"
"Ayah...dia sudah meninggal?"
Arkael mengangguk.
"Ayah nggak akan kembali lagi?"
Arkael mengangguk lagi.
"Ayah nggak akan menghukum saya lagi?"
"Nggak akan ada yang bisa menghukum kamu lagi. Aku pastikan itu. Siapa pun yang menyentuhmu, aku akan patahkan semua tulangnya."
Divi akhirnya mulai terlihat tenang, dia terduduk lemas di atas lantai, dadanya kembang kempis seperti orang yang baru saja berhasil berlari berkilo-kilo jauhnya. Arkael mengusap sisa air yang membasahi kening gadis itu, lalu mengisi gelas yang tadi dia gunakan untuk menyiram Divi tadi dengan air mineral dan memberikannya pada Divi.
"Ini minum dulu, tenangkan dirimu."
Divi menurut, tanpa penolakan sama sekali. Ia menenggak air minum itu hingga tandas. Setelah gelas itu kosong, Arkael mengambilnya dan meletakkannya kembali di atas meja.
"Better?" tanya Arkael.
Divi mengangguk. Sorot matanya telah kembali normal. Ia berusaha berdiri dengan dibantu Arkael.
"Apa yang ter-"
"Saya lelah, Pak. Boleh saya tidur?" Sela Divi tanpa membiarkan Arkael menyelesaikan pertanyaannya.
Arkael mengerti, dia mengangguk. "Tidurlah di kasur, biar saya yang di sofa."
"Baik, Pak. Terima kasih." Tanpa ada ucapan lain lagi, Divi langsung menyelinap masuk ke dalam selimut, meringkuk di dalamnya seraya memejamkan kedua matanya.
Ayah udah nggak ada. Ayah udah nggak ada. Batinnya terus mengulang kalimat itu seperti merapatkan mantera.
Arkael hanya bisa memandang punggung Divi dari tempatnya berdiri dengan berjuta pertanyaan yang memenuhi isi kepalanya.
* * *
Arkael duduk di depan Ibu Inna di restoran yang ada di hotel itu, dia sengaja tidak membangunkan Divi pagi ini karena tahu, gadis itu tidak bisa tidur semalaman. Jadi dia hanya sendirian menemani Ibu Inna sarapan, Arin diminta untuk menjaga Divi oleh Arkael.
"Bagaimana sarapannya, Bu?" tanya Arkael dengan sopan.
"Ini mungkin pertama kali Ibu sarapan sebanyak ini, Nak." kata ibu sambil terkekeh.
Arkael pun ikut terkekeh. Ada perasaan senang bisa membuat Ibu Inna tertawa setelah kejadian kemarin wanita paruh baya itu terus saja menangis.
"Nggak biasanya Divi bangun siang seperti ini." kata Ibu.
"Sebenarnya semalam Divi nggak bisa tidur, Bu."
"Loh kenapa? Oh ya ampun, maaf, seharusnya Ibu nggak perlu tanya ya." Lagi-lagi Ibu Inna terkekeh. Dari cara Ibu Inna tertawa, Arkael tentu saja paham apa yang ada dalam pikiran ibu mertuanya itu.
"Eng-sebenarnya nggak seperti yang Ibu pikirkan." kata Arkael. Mendengar nada suara Arkael yang seperti orang bingung.
"Ada apa, Nak?" tanya Ibu, mulai serius.
"Sebenarnya ada yang ingin saya tanyakan ke Ibu, tentang...entahlah, saya bingung."
"Jangan sungkan, Nak. Tanyakan saja."
"Sebenarnya tentang apa yang terjadi antara Divi dan mendiang ayahnya?"
Ekspresi ibu pun berubah tegang dan terlihat tidak nyaman. "Jadi, Nak Bimo belum memberitahu Nak Kael?"
"Bimo?" Kening Arkael berkerut.
"Iya, maaf, Ibu belum sempat cerita padamu waktu itu karena pernikahan kalian yang mendadak, Ibu belum sempat banyak bercerita padamu, tapi setelah akad waktu itu, Ibu sempat mengobrol dengan Nak Bimo. Ibu meminta Nak Bimo menyampaikan sesuatu tentang Divi ke Nak Kael agar nggak ada salah paham di malam pertama kalian."
"Salah paham?" Kerutan pada kening Arkael semakin dalam.
"Jadi, dulu sekali...Divi menjadi korban pelecehan oleh...ayahnya sendiri."
"Apa?!" Arkael hampir tidak mempercayai pendengarannya sendiri.
Mata ibu mulai berkaca-kaca, "Maaf, Ibu nggak bisa menceritakan detailnya, baik ke Nak Bimo atau pun ke Nak Kael, Ibu...nggak sanggup menceritakannya, itu adalah kenangan-kenangan paling buruk dimasa lalu kami."
Air mata ibu mulai menetes kala ibu meminta maaf pada Arkael.
"Ibu nggak salah, nggak perlu meminta maaf." ujar Arkael penuh kelembutan.
"Tapi apa yang menimpa Divi semua karena kelalaian Ibu menjaga Divi. Maaf karena Divi nggak sempurna."
"Bagi saya, Divi adalah wanita yang paling sempurna, dan saya justru harus berterima kasih ke Ibu karena telah melahirkan wanita hebat sepertinya."
"Terima kasih Nak...terima kasih karena telah menerima Divi. Dan tolong jaga dia, lindungi dia."
"Pasti Bu."
Arkael kembali ke kamar setelah mengantar Ibu ke kamar, dia meminta Arin untuk kembali ke kamar, tak lupa Arkael juga sudah memesankan sarapan untuk Arin dan Divi untuk dibawakan ke kamar.
Tidak ada Divi di tempat tidur, tapi dia mendengar suara air dari arah kamar mandi.
"Arin, bisa tolong ambilkan handukku di sofa?"
Seketika tubuh Arkael tegang. Tidak ada lagi Arin di dalam kamar itu, yang ada hanya dirinya yang mematung.
Apa gue harus panggil Arin lagi?Atau gue aja yang berikan handuk itu?
.
.
.
Bersambung~