Menjadi Selamanya
Divi melangkah dengan gontai, lemah, lesu, seperti raga tanpa jiwa. Harapan yang tadinya melambung tinggi lima belas menit yang lalu, kini menguap begitu saja setelah kakinya keluar dari ruangan HRD. Satu-satunya tempat yang diharapkan bisa menjadi jalan keluar rupanya malah meruntuhkan jiwanya yang malang.
“Div, gimana?” tanya Seli, rekan kerjanya, satu divisi dan duduk tepat disebelah kubikel Divi.
Kepala Divi menggeleng lesu. Tatapannya kosong, bahunya lemas.
“Kok bisa sih? Setau gue, si Juju baru banget minggu kemaren ngajuin pinjaman dan di ACC loh!” Seli merasa bingung dengan hasil yang diterima rekannya itu.
“Pak Ado bilang, masa kerja gue belum memenuhi syarat, minimal gue harus udah satu tahun. Sementara gue setengah tahun aja belom.” Divi membuang napasnya berat, tubuhnya merunduk di atas meja, dengan sebelah pipinya mendarat di atas meja. “Gue harus nyari duit sebanyak itu dimana lagi ya? Masa iya gue harus kerja yang haram?”
“Ih amit-amit deh, Div, nggak usah ngaco! Pasti ada jalan keluarnya kok.” Seli mengetukkan jarinya ke jidat kemudian mengetukkannya lagi ke permukaan meja sambil melotot melihat Divi.
“Tapi dimana gue bisa dapat uang sebanyak itu dalam waktu satu minggu, Sel?” Divi menegakkan kembali tubuhnya, tangannya bergerak mencengkram rambutnya yang sepanjang bahu.
“Tapi kan nggak mungkin juga lo ngebiayain operasi dan pengobatan nyokap lo pake uang haram, Div! Gila apa lo?!”
Divi duduk setengah melorot di atas kursinya, bibirnya mengerucut, rambutnya berantakan. Jika saja bukan karena ibunya, Divi pasti sudah menyerah dengan hidupnya. Rasanya dia sudah tidak sanggup berjalan lagi menapaki jalan yang penuh pecahan beling dengan kaki telanjangnya, tanpa penerangan dan entah dia harus sejauh apa lagi bertahan berjalan di jalan yang gelap itu.
Ponselnya berdenting, tanda notifikasi dari grup karyawan kantor muncul pada layar ponselnya, tapi Divi sama sekali tidak berniat untuk membukanya.
“Oh my god!” Pekik Seli dengan suara tertahannya. Tangannya bahkan ikut menepuk-nepuk bahu Divi. “Ada Pak Kael datang, Div!”
Seketika saja Seli yang sedari tadi mengomeli Divi karena sempat berpikiran untuk bekerja haram, senyumnya merekah, perempuan itu langsung memoleskan lagi liptint merahnya, dan memastikan tidak ada sehelai rambut pun yang berdiri dari kepalanya. Sementara Divi hanya bisa menghela napas berat, boro-boro memoleskan pewarna bibir, tangannya malah menggaruk kepalanya, membuat rambutnya semakin megar seperti baru saja tersengat listrik.
Semua karyawan kompak berdiri ketika pintu lift khusus itu bergerak terbuka, dua pria melangkah keluar dari dalam kotak besi itu, tapi sepertinya Divi tidak mempunyai semangat untuk menyapa CEO mereka yang terkenal dingin dan pelit toleransi.
Seli buru-buru menarik Divi berdiri atau nasibnya akan semakin buruk. Selain menarik Divi berdiri, Seli juga menepuk punggung Divi agar perempuan itu membungkukkan tubuhnya ketika CEO berwajah tampan tapi berekspresi datar itu melewati kubikel mereka untuk menuju ruangannya.
“Lo mau kehilangan kerjaan?!” Omel Seli dengan suara tertahan setelah CEO dan asistennya itu sudah masuk ke dalam ruangannya.
Divi membuang napasnya seraya mendaratkan kembali bokongnya di atas kursi. “Lo punya kenalan yang kenal sama mucikari ga sih?”
Pletak!
Bukannya mendapatkan jawaban, Divi malah mendapatkan sentilan keran pada keningnya.
* * *
Divi mengusap wajahnya berkali-kali sebelum akhirnya dia menarik kedua sudut bibirnya untuk membuat sebuah senyuman pada wajah letihnya. Dia menarik napas dan menghembuskannya sebelum kakinya melangkah masuk ke dalam rumah.
“Lama banget sih kamu pulangnya?” Suara ketus perempuan yang duduk sambil mengangkat kakinya di atas sofa langsung menyambut Divi. Bukan, perempuan itu bukan ibu dari Divi yang membuat Divi rela jika memang dia harus menjadi wanita malam demi mendapatkan biaya. Perempuan dengan dandanan medok itu adalah Yeni, adik dari ibunya Divi. Perempuan usia kepala empat yang masih melajang. Baju super ketat dengan motif macan tutul dan celana legging motif garis-garis hitam putih itu berdiri, setiap gerakkannya membuat lemak pada sekujur tubuhnya juga ikut bergerak, melihat tampilan tantenya itu membuat Divi bergidik ngeri. Kalau Divi menjadi wanita malam, pastinya Divi harus memakai pakaian yang lebih ekstrem dari apa yang dipakai Yeni, kan?
Kayaknya gue nggak bisa deh jadi perempuan begituan. Keluh Divi dalam kepalanya.
“Kamu kenapa ngelihatin Tante kayak gitu, iri ya sama badan Tante yang aduhai?” kata Yeni dengan rasa percaya diri yang luber-luber.
Divi mengernyit.
“Tante udah makan?” Divi memilih untuk berlalu dari perempuan itu, jika saja Yeni tidak membantu Divi menjaga ibunya, sudah dipastikan Divi tidak mau berinteraksi dengan Yeni. Selain karena sikapnya yang menyebalkan, ocehan Yeni juga kadang membuat Divi ingin menyumpal mulut Yeni dengan kertas bekas nasi uduk.
“Udah lah, tadi ada pacar Tante yang datang kesini bawain Tante makanan. Makanya kamu tuh dandan sekali-kali, Div, biar bisa punya pacar kayak Tante nih, banyak yang naksir sama Tante, jadi hidupmu nggak miskin-miskin amat.”
Divi menggigit dindin mulutnya bagian dalam, menahan rasa gemas untuk membalas ucapan Yeni dengan telak. Sayangnya, Divi masih mengingat pelajaran tentang menghormati orang yang lebih tua yang sudah diajarkan sejak taman kanak-kanak.
“Ibu juga udah makan, kan, Tan?” tanya Divi, mengabaikan ucapan menyebalkan Yeni.
“Belom lah, ya kali pacar Tante ngebeliin buat ibu kamu juga.” Jawab Yeni dengan nada acuh.
“Ibu aku itu kakaknya Tante juga.” Sahut Divi dengan gigi yang dikatupkan.
“Ya tapi kan bukan berarti pacar aku harus beliin buat Mbak Inna juga.”
“Aku nggak bilang pacar Tante harus beli makanan untuk Ibu, tapi kan aku udah kasih uang ke Tante untuk beli makanan, terserah Tante mau beli online atau di warung, yang penting ibu makan!”
“Eh, kamu kok jadi ngegas gitu sih! Udah untung Tante mau jagain Mbak Inna! Harusnya kamu tuh terima kasih, bukannya malah ngegas gitu!” Yeni balas Divi sambil melipat kedua tangannya di depan lemak perutnya yang bertingkat.
Baru saja Divi membuka mulut untuk membalas ocehan Yeni tentang apa itu arti terima kasih, tepat ketika Inna keluar dari kamar. Wajahnya pucat, langkahnya pelan dengan tangannya yang berpegangan pada dinding, dan tiba-tiba saja ibunya ambruk, jatuh pingsan tepat di depan matanya.
“Ibu!”
Divi duduk termenung di depan ruangan dokter yang baru saja mengatakan bahwa tumor yang diderita ibunya harus segera diangkat jika tidak, maka tubuh ibunya hanya akan bertahan selama enam bulan saja. Dimana dia harus mendapatkan uang?
Rasanya Divi ingin sekali teriak sekuat tenaganya untuk melepaskan rasa sesaknya. Kenapa kebahagiaan tidak pernah sekali saja bertahan disisinya?
Divi berdiri, kepalanya menunduk, tapi kakinya melangkah gontai tanpa arah di koridor rumah sakit itu. Dia tidak bisa menemui ibunya dengan perasaannya yang kacau.
Bugh!
Akibat kepalanya yang menunduk, Divi menubruk seseorang. Divi mengangkat wajahnya, tapi entah lelaki yang ditubruknya itu terlalu tinggi atau Divi yang terlalu mungil, pandangan Divi dengan kepalanya yang tidak mendengak hanya sampai pada dada bidang lelaki itu.
“Maaf.” kata Divi pelan. Setelah itu, Divi menggeser tubuhnya untuk bisa melanjutkan langkahnya yang seperti jurus dewa mabuk.
“Itu dia, kan?” tanya lelaki yang ditubruk Divi tadi pada lelaki yang berdiri disebelahnya.
“Iya, itu dia.”
.
.
.
Bersambung~
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments