Siapa yang bakalan menyangka kalau nama pena akan berakibat sebesar ini.
Nama pena yang ternyata membuat tetangga sekaligus musuh bebuyutan jadi mengira kalau aku menyukainya hanya karena aku meminjam namanya untuk tokoh novel yang kubuat.
Hingga akhirnya terjadi kesalahpahaman yang membuat kami terjebak di sebuah ikatan yang bernama pernikahan.
Kenapa bisa seperti ini? Apa yang harus kulakukan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andiyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sengatan Kecil
Entah kenapa aku jadi merasa kikuk setelah ketahuan berpegangan tangan dengan laki-laki lain.
"Maaf, saya tidak sengaja menabrak sepedanya dari belakang. Saya rasa rem sepeda saya sedikit bermasalah," ujar laki-laki yang memakai kemeja warna hitam itu. Tingginya hampir sama dengan Aril. "Waktu saya mau berhenti dan tarik rem, nggak langsung berhenti sepedanya," imbuhnya lagi.
"Bisa bahaya kalau di jalan raya, Mas," sahut Aril. "Sebaiknya dibawa ke bengkel, di belokan depan ada bengkel motor. Coba bawa ke sana."
Laki-laki itu mengangguk, lalu sekali lagi, meminta maaf kepadaku dan Puput.
"Doyan jatuh banget, sih. Jatuh kemarin aja belum sembuh total, sekarang jatuh lagi," celetuk Aril seperginya laki-laki tadi.
"Ini tuh bukan jatuh, tapi ditabrak, Mas Aril Gagah Pratama!" ucapku penuh penekanan.
"Sama aja, ujung-ujungnya jatuh, kan. Emang lebih baik kamu itu ndekem di rumah aja. Sekalinya keluar, sial mulu perasaan," balasnya, yang kutanggapi dengan mencebikkan bibir.
Sesampainya di rumah, aku malah diminta untuk menelpon Aril. Kami disuruh mencari cincin nikah oleh ibu.
"Masa kalian nikah nggak ada cincinnya," ucap ibu.
Atas paksaan Paduka Ratu, kini, aku dan Aril berada di depan etalase kaca yang isinya penuh dengan cincin.
"Kamu aja yang pilih deh, Ril. Aku malas." Aril hanya berdehem.
Kemudian dia menunjuk sebuah cincin yang menurutku terlalu mewah untuk ukuran pernikahan dadakan ini.
"Ngapain bagus-bagus? Toh, kita nanti bakalan pis–," aku menghentikan ucapanku ketika pegawai toko menatapku heran. "Pilih yang sederhana aja, jangan yang terlalu mencolok," bisikku ke Aril.
"Kalau gitu, yang itu aja gimana?" Aril kembali menunjuk cincin yang lainnya.
"Jangan yang itu, permatanya terlalu besar," protesku.
"Yang ini aja deh," Aril kembali menunjuk.
"Itu terlalu bling-bling!"
"Ck. Katanya tadi biar aku aja yang milih, tapi giliran dipilihin nggak cocok semua. Kalau gitu kamu aja yang pilih cincinnya!" tukas Aril.
"Loh? Kalian? Kalian ngapain ke sini?" Aku menoleh mendengar suara perempuan di belakang kami.
Saat menoleh, ada Ira dan seorang laki-laki di sampingnya. Sepertinya itu adalah calon suaminya.
"Kalian ngapain ke sini?" Ira mengulang pertanyaannya. "Jangan bilang … kalian mau nikah juga?"
Aku menghela napas panjang mendengar pertanyaannya. Di antara banyaknya toko perhiasan, kenapa Ira datang ke toko ini? Kenapa kita harus ketemu, sih?
"Bukannya kalian itu dulu musuhan ya? Kok tiba-tiba menikah? Sejak kapan kalian pacaran? Kapan kalian mau nikah? Kok nggak ngasih undangan?"
Aku kembali menghela napas mendengar rentetan pertanyaan Ira.
"Aku pikir kamu belum move on dari aku, Ril. Karena setelah dekat denganku, tapi nggak jadian, kamu kayak nggak pernah dekat dengan perempuan lain lagi."
Aku mengernyit mendengar ucapan Ira. Apa pantas dia mengucapkan itu di depan calon suaminya?
"Yaah, intinya aku turut bahagia kalian akan menikah deh," lanjut Ira. "Tapi inget ya Ril, jangan terlalu kaku kayak dulu. Nggak akan ada cewek yang betah sama cowok kaku."
"Kata siapa aku kaku?" sahut Aril cepat. "Aku kaku itu cuma sama perempuan yang nggak aku suka. Kalau sama Diyas mah, beda lagi. Ya nggak, Yang?" Aril tersenyum manis padaku.
Aku sempat terjingkat saat merasakan ada tangan yang melingkar di pinggangku.
Saat mendongak menatap Aril, tiba-tiba dia menunduk, dan ….
Cup!
Seperti ada sengatan kecil ketika ada sesuatu menempel di pipiku.
***
"Kenapa doyan banget sih nyium pipiku?!" omelku ketika kami mampir di sebuah rumah makan setelah membeli cincin tadi.
"Siapa juga yang doyan? Tadi itu karena terpaksa. Lagian cuma pipi doang. Kamu nggak liat sikap Ira tadi? Padahal ada calon suaminya lho, bisa-bisanya dia ngomong gitu. Aku puas liat ekspresi wajahnya saat aku nyium kamu tadi. Padahal dulu dia yang ngejar-ngejar aku, bisa-bisanya tadi bilang aku yang belum move on dari dia."
"Tapi kan nggak harus nyium juga kali. Kan bisa meluk pinggang aja!"
"Udah geregetan banget tadi aku."
Aku membuang napas dan mengalihkan pandangan ke arah lain. Apa semua laki-laki gitu ya, main nyosor aja. Dia nggak tau aja jantungku serasa mau berhenti tadi.
Yang bikin geregetan adalah, dia ngelakuin itu dengan ekspresi biasa aja, sementara aku syok untuk kedua kalinya.
Jantungku emang norak. Cuma dicium di pipi aja mendadak koprol.
Sebagai permintaan maaf, Aril memesan ayam bakar dan lalapan bebek untukku. Tanpa basa-basi aku langsung melahapnya.
"Maruk banget sih, kayak belum makan seminggu aja."
Aku tak memperdulikan cibiran Aril. Kalau sedang kesal, napsu makan mendadak meningkat. Ketimbang aku makan orang, mending makan makanan yang ada di depanku.
"Pelan-pelan dong makannya, sampai belepotan gini." Tiba-tiba tangan Aril terulur, hendak meraih sesuatu di pipiku, tapi aku segera menepisnya.
"Aku bisa ambil sendiri!" Kusingkirkan nasi yang ada di pipiku. "Kamu nggak usah sok perhatian gini, Ril. Plis deh, jangan kayak gini. Atau, kamu udah mulai suka sama aku?"
kehamilan walaupun disembunyikan, pd akhirnya ttp akan ketahuan..
kami masih menunggu update nya loh
kak Andiyas please segera update ya kami rindu karyamu 🙏🙏
apa gk lnjut lgi sdh
ditnggu para pembaca setia ini
kok masih belum ada kelanjutannya???
kami rindu thor
kok blum ada up nya nih