"Apa kamu sudah menemukan informasi tentangnya, Jackson?"
"Sudah, Kak. Aku yakin dia adalah dady kita."
Dua bocah laki-laki berusia 7 tahun itu kini menatap ke arah layar komputer mereka bersama-sama. Mereka melihat foto seorang Pria dengan tatapan datar dan dingin. Namun, dia memiliki wajah yang sangat tampan rupawan.
"Jarret, Jackson apa yang kalian lakukan?" Tiba-tiba suara seseorang membuat kedua bocah itu tersentak kaget.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon emmarisma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28. Berpamitan
Ben melepas kepergian Giani dan Kedua putranya dengan helaan napas panjang. Ia merasa belum puas menghabiskan waktu bersama Jack dan Jarret. Meski begitu Ben tetap harus punya banyak persiapan untuk bisa bersama-sama dengan kedua putranya dan Giani.
"Ramos, apa Paolo sudah berhasil menangkap mereka?"
"Tidak, Tuan. Mereka kabur."
Lagi-lagi Ben menghela napas berat. Dia tampaknya sedang berpikir cara untuk melindungi orang-orang yang dia sayangi.
Ramos sesekali melirik Ben lewat ekor matanya. Dia tahu saat ini pasti atasannya sedang memikirkan keselamatan Giani dan anak-anaknya.
Sementara itu, di dalam pesawat Giani termenung menatap kumpulan awan yang mulai berganti warna. Entah mengapa dia jadi kepikiran soal kesehatan ayahnya yang mulai menurun.
"Mom, apa yang sedang mommy pikirkan?" tanya Jarret. Sejak tadi dia mengamati ibunya yang terus termenung.
"Sayang, bagaimana jika kita menetap di Melbourne menemani kakek?"
"Kenapa, Mom?"
"Mommy kasihan melihat kakek sendirian. Kondisi kakek juga sepertinya kurang baik."
"Apa itu artinya kita boleh tinggal bersama daddy juga?" tanya Jackson bersemangat. Giani hanya mengangguk sebagai jawaban.
"Tapi apa mommy akan tinggal bersama daddy juga? Aku ingin mommy dan daddy tinggal bersama seperti orang tua teman-temanku yang lainnya," ucap Jackson lagi.
"Sayang, mommy tidak bisa tinggal dengan daddy kalian."
"Kenapa, Mom? Apa daddy terlalu buruk?"
Giani tersenyum mendengar pertanyaan Jackson. "Bukan begitu, Sayang. Hanya saja ada hal yang belum bisa mommy jelaskan pada kalian kenapa kami tidak bisa bersama. Sekarang mommy tanya pada kalian, apa kalian mau tinggal di Melbourne bersama Kakek kalian?"
"Tentu saja, Mommy. Lalu bagaimana dengan nenek Martha dan kakek Thomas?"
"Kita nanti akan sesekali berkunjung ke Sidney. Jika kalian benar-benar mau, Mommy akan mengurus kepindahan kita nanti."
"Aku mau," kata Jackson.
"Bagaimana denganmu, Jarret?"
"Tinggal dimana saja asal itu bersama mommy, aku mau," jawab Jarret. Giani tersenyum mendengar jawaban Jarret. Putranya yang satu ini memang sangat istimewa.
Mereka tiba di Sidney saat hari menjelang petang. Giani dan kedua putranya pulang di jemput oleh Elena. Mereka langsung pulang ke rumah tanpa mampir ke toko roti milik Martha dan Thomas.
"Mom, apa aunty Elena akan ikut kita jika kita pulang ke Melbourne?"
"Aunty akan ikut kalian kemanapun kalian berada. Memangnya kalian mau tinggal di Melbourne?"
"Ya, aunty. Mommy bilang jika kakek Gilbert sedang kurang sehat. Jadi kami akan menjaganya."
"Jika begitu aunty akan ikut kalian."
Setibanya di rumah, Giani menurunkan koper bawaannya, sedangkan kedua putranya tampak sedang asik memainkan tablet mereka.
Jarret membuka emailnya, Di sana ada pesan balasan dari Ben. Apa kalian sudah tiba? Daddy akan secepatnya menyusul kalian setelah menyelesaikan masalah di sini. Maafkan daddy yang tidak jujur sejak awal. Daddy hanya merasa perlu melindungi kalian semua.
Jarret mendengus membaca pesan itu. Jack seketika mendekati sang kakak. Dia melirik tablet kakaknya yang layarnya telah mati.
"Kenapa, Kak? Apa ada sesuatu yang mengganggumu?"
"Tidak! Percuma juga aku bercerita padamu. Kau sudah sangat memujanya?"
"Maksudmu Daddy?" wajah Jack yang semula terlihat biasa kini mendadak memasang wajah serius. Dia tidak mungkin bercanda di saat kakaknya terlihat serius.
"Oh, ayolah, Kak. Kau tidak menganggap apa yang aku lakukan serius, 'kan?"
"Apa maksudmu?"
"Salah satu dari kita harus bisa dekat dengannya. Aku perlu memiliki banyak akses untuk memberi pria itu pelajaran. Dia sudah menyakiti mommy, meninggalkan kita. Dia membuat mommy menanggung malu karena kita lahir tanpa ayah."
Mendengar jawaban sangat adik, Jarret menyeringai tipis. Dia pikir adiknya sudah luluh pada pria itu, tapi ternyata dirinya salah.
"Lalu apa yang akan kamu lakukan?"
"Kakak cukup lihat saja. Untuk sementara aku akan berubah menjadi anak baik dan manja di depannya."
Jarret mengangguk. Dia tahu seperti apa adiknya. Dia seperti memiliki kepribadian ganda. Berbeda dengan dirinya yang sulit untuk berubah manja. Dia hanya bisa berpura-pura bertingkah menjadi anak baik di depan mommy nya.
Malam harinya Giani menemui Martha dan Thomas. Dia mengutarakan maksudnya jika ingin pulang ke Melbourne dan menetap di sana. Setidaknya beban rahasia yang selama ini dia tahan-tahan sudah dikatakan pada ayahnya.
"Jadi kau akan membawa Jarret dan Jackson juga?"
"Ya, juga Elena," kata Giani, wajah Martha seketika berubah murung.
"Rumah ini pasti akan kembali sepi."
"Maafkan aku, tapi kesehatan papaku terlihat menurun. Aku tidak mau menyesal di kemudian hari. Aku mau merawatnya di sisa umurnya."
Thomas mengusap lengan istrinya. Martha mende*sah berat. "Jika kau sudah memutuskan begitu aku bisa apa?"
"Maafkan aku, tapi nanti akan aku usahakan untuk lebih sering mengunjungi kalian. Ku harap kalian juga jaga kesehatan kalian."
"Tentu saja."
Setelah berbicara dengan Thomas dan Martha. Perasaan Giani lebih terasa ringan sekarang. Tidak ada lagi ganjalan di hatinya. Besok dia akan mengajukan surat pengunduran dirinya dan juga mengurus berkas-berkas kepindahan sekolah Jarret dan Jackson.
Giani masuk ke kamar putranya, Dia menatap kedua anak-anaknya yang terlelap dengan tatapan teduh. Giani membetulkan letak selimut Jackson dan lalu mencium kening putra bungsunya itu dengan sangat hati-hati. Giani juga mencium kening Jarret dan lalu mematikan lampu kamar mereka dan menggantinya dengan lampu tidur.
"Sleep tight, My boys."
Setelah memastikan langkah ibunya menjauh dari kamar, Jack langsung membuka mata begitu juga dengan Jarret.
"Kak, Mommy sudah pergi."
"Hmm, ya."
"Bagaimana kalau malam ini saja."
"Kau yakin akan membobolnya?"
"Aku hanya ingin melihat-lihat saja."
"Dia bisa melacakmu, Jack."
"Biarkan saja. Biar dia tahu, anak-anak yang sudah dia sia-siakan bukanlah anak yang sembarangan."
"Terserah padamu, aku mau tidur saja. Aku tidak mau mendengar omelan mommy besok."
Jarret kembali memejamkan matanya. Sedangkan Jackson sudah memegang tabletnya. Setelah menimbang-nimbang. Jackson mulai melancarkan aksinya. Dia memasukkan beberapa kode. Dia terlihat serius saat menghadap benda itu. Jackson bahkan bisa menembus semua salinan data yang ada di komputer daddynya.
Di tempat lain, Ben tersenyum melihat alamat IP seseorang sedang menyusup di jaringan komputer miliknya. Dengan sekali tekan semua data Ben seketika langsung terkunci. Jackson yang sedang menyusuri data-data milik Ben hampir saja memekik kesal.
"Ada apa, Jack?"
"Sepertinya daddy sedang menangkap basah diriku."
"Sudah ku bilang, 'kan? Meski kita ini jenius jangan lupakan darah siapa yang mengalir dalam tubuh kita ini."
Jack menghempas tabletnya dengan kesal. Dia menarik selimutnya dan ikut memejamkan matanya. Jarret tersenyum tipis. Dia yakin pria itu bukan pria sembarangan. Meski dia bisa mendapatkan seluruh data pria itu, tapi Jarret merasa pria itu lebih hebat dari sekedar yang tertera di informasi yang dia dapat kemarin.