NovelToon NovelToon
Pamit

Pamit

Status: tamat
Genre:Tamat / Poligami / Cerai
Popularitas:607.1k
Nilai: 5
Nama Author: Wiji

Bagaimana perasaanmu jika jadi aku? Menjadi istri pegawai kantoran di sudut kota kecil, dengan penghasilan yang lumayan, namun kamu hanya di beri uang lima puluh ribu untuk satu minggu. Dengan kebutuhan dapur yang serba mahal dan tiga orang anak yang masih kecil.
Itulah yang aku jalani kini. Aku tak pernah protes apalagi meminta hal lebih dari suamiku. Aku menerima keadaan ini dengan hati yang lapang. Namun, semua berubah ketika aku menemukan sebuah benda yang entah milik siapa, tapi benda itu terdapat di tas kerja suamiku.
Benda itulah yang membuat hubungan rumah tangga kami tak sehat seperti dulu.
Mampukah aku bertahan dengan suamiku ketika keretakan di rumah tangga kami mulai nampak nyata?
Jika aku pergi, bisakah aku menghidupi ke tiga anakku?
Ikuti perjalanan rumah tangga ku di sini. .

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wiji, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

28. Berubah Pikiran

Tiga bulan kemudian, aku dan Anang resmi cerai. Meskipun begitu, dia masih sesekali datang ke rumah untuk menemui anak-anak. Hanya sekedar untuk bermain atau jalan-jalan keliling kompleks.

Aku tak pernah meminta hak anak-anak padanya. Karena aku sadar dan aku tahu keuangan pria itu pasti sedang tak baik-baik saja. Aku sedikit menyesal sudah menggadaikan rumah. Melihat pria yang selama ini menempati hatiku sedang berada dalam masa terendahnya.

Pernah, sekali dia bercerita padaku mengenai kehidupannya setelah aku pergi dari rumah. Dia mengatakan kalau hidupnya berantakan dan seperti kehilangan arah.

"Kamu dan Winda jauh bedanya. Dari segi apapun, kamu jauh berbeda sama dia. Kamu lihat aku sekarang! Tanpa aku jelaskanpun aku rasa kamu mengerti dengan apa yang aku alami. Tapi jika memang ini adalah jalan yang harus aku lalui untuk menebus dosa-dosaku, aku ikhlas."

Ada rasa iba di dalam diriku padanya. Biar bagaimanapun, aku merasa aku turut andil dalam perubahan hidup Anang. Cicilan rumah yang aku gadaikan pasti juga menambah bebannya.

Sehari setelah dia menceritakan mengenai hidupnya, aku memutuskan untuk menyelesaikan apa yang aku mulai. Aku menghubungi Rifki untuk menebus sertifikat rumah Anang.

"Ngapain, sih, Yu? Ya biarin ajalah di lunasin sendiri. Dia bisa kok, nyatanya sampai sekarang dia bisa angsur. Udahlah, nggak usah dipikirin! Anggap saja ini balasan buat dia. Kalau mau ngasih pelajaran orang jangan setengah-setengah napa. Susah banget diajak jahat, lu!"

"Aku kasihan, Rif. Sudahlah! Buruan bilang aku harus bayar berapa buat menebus sertifikat rumahnya. Lagipula aku sudah bahagia dengan hidupku yang sekarang. Aku nggak perlu lagi kasih pelajaran ke siapapun. Aku mau hidup tenang."

Rifki akhirnya memberiku perhitungan mengenai pinjaman yang aku minta beberapa bulan lalu. Hari itu juga aku memberikan kekurangan pinjamannya.

"Kaya, lu sekarang ya. Langsung sat set sat set," kata Rifki menaik turunkan alis tebalnya.

"Alhamdulillah, ada aja rezekinya. Sekarang, kan penghasilan aku bukan dari yang jualan online aja. Aku buka toko baju anak di jalan raya depan kompleks, lumayanlah hasilnya bisa buat makan enak," jawabku terkekeh.

"Gue salut sama, lu. Kerja kerasnya nggak pernah luntur."

Kami melanjutkan obrolan, mumpung hari masih sore. Aku sangat jarang keluar rumah tanpa anak-anak. Hari ini aku ingin menikmati sebentar udara sore hari yang terasa menyejukkan hati dan pikiranku.

Sedang asyik mengobrol, ponselku berdering, aku melihat nomor bu Lin di layar panjangku.

"Iya, bu. Kenapa? Anak-anak rewel?" tanyaku basa basi. Padahal aku tahu, anakku akan betah jika di minta seharian sekalipun di rumah orang tua itu.

"Anin makan apapun muntah, ini mimisan juga. Pulang buruan, Yu! Kamu bawa ke rumah sakit, ibu bingung mau bawa ke rumah sakit anak-anak yang lain gimana? Dara belum pulang dari kampus."

Aku mendengar nada khawatir dari suara, bu Lin.

"Iya, aku pulang sekarang, bu."

Aku lalu memberi tahu Rifki bahwa Anin tiba-tiba saja sakit. Tanpa aku minta, Rifki bersedia mengantarku pulang. Dengan tergesa-gesa kami keluar restoran.

Sialnya, begitu kami sampai di parkiran, ban motor Rifki kempes pes tak bersisa. Aku yang terlalu panik tak bisa berpikir jernih, aku malah menangis dan membuat Rifki semakin panik.

Disaat panikku sedang di puncak, tak sengaja aku melihat Jaka yang keluar dari restoran.

"Rif, aku pergi dulu, ya. Itu ada teman aku."

Tanpa menunggu apapun lagi aku berlari menuju mobil Jaka.

Aku mendengar Rifki yang berteriak memintaku untuk hati-hati. Aku hanya menoleh sebentar dan mengangguk.

"Mas, mas Jaka. Apa kamu ada penumpang?" tanyaku tanpa menghilangkan rasa panik sekaligus ngos-ngosan.

"Nggak, kenapa? Ada apa? Kenapa kamu panik begitu?" tanyanya bingung.

"Anakku.. Anakku sakit, mas. Aku... Aku minta tolong antar aku pulang."

"Pulang? Ta.. Tapi aku..."

"Kamu nggak ada penumpang, kan? Ayo, buruan naik."

Entah setan apa yang bersemayam di tubuhku, aku mendorong Jaka masuk ke dalam mobilnya dan aku berlari menuju kursi penumpang di samping kemudi.

Aku merasa Jaka berbeda sekali kali ini. Entah perasaanku saja atau memang di sedang gugup dan ragu untuk mengatarku pulang.

"Kamu keberatan? Aku cari taksi lain aja kalau begitu. Maaf, sudah merepotkan."

Aku lalu membuka pintu mobil, namun pergerakanku terhenti karena sentuhan tangan Jaka di pergelangan tanganku. Aku menatap tangan kami sekilas lalu beralih ke wajah pria yang sudah lama tak aku jumpai.

"Aku antar," ucapnya yang membuat aku bernafas dengan lega. "Jangan nangis, mudah-mudahan anak kamu nggak kenapa-napa. Jangan berpikir yang nggak-nggak. Anak-anak kamu terlahir dari rahim wanita kuat," ucapnya dengan tangan yang masih saling terpaut.

Entahlah, aku tak tahu Jaka sadar atau tidak dengan tindakannya yang memenangkan aku dengan sangat lembut. Selembut jari-jarinya mengelus pelan tanganku. Ah, kok aku jadi deg deg an.

"Bisa berangkat sekarang, mas?" tanyaku pelan.

Pertanyaanku itu rupanya mampu membuat dirinya sadar. Pria itu gugup seketika, sangat terlihat bahwa dia salah tingkah meskipun berusaha mati-matian untuk disembunyikan.

"Yang jaga anak kamu siapa?"

"Ibu, maksudnya ibu angkat. Ibu angkat rasa ibu kandung."

"Alhamdulillah, kalau ketemu sama orang baik."

Aku hanya mengangguk. Sebenarnya aku sedang berpikir, kenapa sejak tadi Jaka tak bertanya padaku arah jalan pulang? Namun, karena jalan yang di ambil tak salah, aku urung bertanya ataupun mengarahkannya. Mungkin saja dia tahu di mana kompleks tempatku tinggal, pikirku tak mau ambil pusing.

"Rumah kamu yang mana?"

"Mereka di rumah ibu angkat aku, jalan terus saja. Nanti ada rumah yang ada gerbangnya warna hitam."

Bukannya berhenti di depan rumah yang aku maksud, mobil Jaka justru berhenti dia samping rumah bu Lin.

"Majuan dikit, mas, aku minta tolong antar ke puskesmas sekalian. Bisa, kan?" tanyaku takut jika Jaka mengira hanya mengantarkan aku pulang saja.

"Ya.. Ya bisa. Aku muter mobil di sini. Kamu ambil anak kamu, aku muter mobilnya. Gitu... Maksudnya," jawabnya gugup.

Aku tak ingin menghabiskan waktu dengan berdebat atau banyak pertanyaan. Aku segera turun dari mobil dan berlari ke rumah Bu Lin.

Aku melihat Anin yang sudah lemas di pangkuan bu Lin.

"Astaghfirullah, Anin."

Aku berjalan menuju tempat duduk bu Lin dan mengambil Anin dari pangkuannya.

"Dia demam juga, Yu. Udah kamu bawa ke rumah sakit, Agil biar sama ibu. Alif lagi main sama anak-anak di rumah sebelah. Udah, urusin yang sakit ini."

"Makasih, ya, bu. Maaf aku bikin susah ibu."

"Hus, sekali lagi kamu ngomong begitu, ibu nggak mau terima apapun dari kamu."

Aku kembali menangis jika mengingat kebaikan bu Lin. Atas permintaannya aku bergegas pergi dengan menggendong Anin yang sudah tak bertenaga.

Untunglah, begitu sampai di jalan, Jaka sudah siap di luar mobil dan membukakan pintu untukku. Aku tak perlu repot membukanya sendiri. Ah aku berasa jadi majikan kalau begini.

"Ayo, mas!" kataku melihat Jaka yang masih tertegun di luar mobil dan menatap ke arah belakang.

Aku akhirnya mau tak mau ingin tahu siapa yang sedang di tatapnya itu. Ternyata bu Lin mengantarku sampai gerbang, aku sampai tak sadar saking paniknya.

Tapi, kenapa Jaka seperti memberi kode bu Lin agar tetap diam? Untuk apa dia menempelkan jari telunjuknya ke bibirnya?

1
Jessica
Luar biasa
UfyArie
50 ribu seminggu ini tahun berpa
meris dawati Sihombing
Hahhh, umur 25 dah jd Dokter spesialis?? yg bener???H suka2 mu lah thorrr
niken babyzie
kuliah fadil gak kelar2 yah thorrr
niken babyzie
nenek2 laknat
niken babyzie
campur racun sekalian
meris dawati Sihombing
Haluuuu, 1 minggu cuma 50 rebu
niken babyzie
judul novelnya cocok di beri judul.. ternyata aku baru sadar telah menikahi suami pelit
niken babyzie
mokondo
Ratnasihite
kocak nih alif udah tau suka sama suka😄😄
Ratnasihite
Luar biasa
yuyunn 2706
bodoh ayu,kasusin itu mantan mertua biar kapok
yuyunn 2706
kok ndridil anaknya,kan bs KB
Mastina Maria siregar
novelmu sukses bikin aku mewek Thor...
ceritanya sperti di dunianya nyata.
Mastina Maria siregar
dr awal baca sampe bab ini suka,,mewek trust,seolah olah saya yg mengalaminya.alurnya bagusjg penggunaan bahasanya.pokoknya suka,
Mastina Maria siregar
sperti di dunia nyata,sedih Thor...
Sulati Cus
jgn2 si jaga cosplay nya si rifki
Sulati Cus
😂😂😂 g mungkin lah jd Winda yg mau sm suami orang lah Wong yg bujang aja msh banyak
Sulati Cus
kyknya jodoh nih eh apa si jaka lg nyamar ???
Sulati Cus
mase keknya pgn di tabok bolak-balik nih, cantik jg perlu modal
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!