NovelToon NovelToon
Adara'S Daily

Adara'S Daily

Status: tamat
Genre:Tamat / Cintapertama / Dosen / Cinta Seiring Waktu / Keluarga / Persahabatan / Romansa
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: Alunara Jingga

Tentang keseharian seorang gadis biasa dan teman-temannya. Tentang luka.
Tentang penantian panjang, asa dan rahasia.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alunara Jingga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

I LOVE YOU!

"Alhamdulillah ya, semuanya lancar," ucap Mas Dwi. Saat ini suasana sudah mulai sepi dan menyisakan keluarga saja.

"Woy, mojok bae kalian berdua. Masih pagi, ntar aja," sambar Ojik yang ku sambut delikan sadis.

"Mulut sama lidah itu loh, tolong kondisikan. Ku gibeng, pingsan kamu!"

"Masih make baju pengantin dah sadis aja sih, Ra. Heran aku tuh, untung laku biar judes gini," tukas Amri.

"Ck, udah sih, ribut mulu! Masi banyak orang ini, ntar disangka ribut beneran." Lena menimpali.

"Tahu ih, anak gadis bar-bar ga ada ampun, yang laki lemes semua, udah macem cewek gibah sih." Wulan menyambung.

"Udah ngga gadis lagi tuh si Ara," ralat Amri.

"Oooooohh, udah ga gadis?? Pantes ya cepat banget, mana ga pake resepsi pula, ternyata emang l*nte, jangan-jangan malah hamil duluan?? Kok mau sih nikahin dia? Siapa tahu bukan anak lo." Tiba-tiba sebuah suara mengagetkan kami yang tengah ribut. Hana.

"Dih, kamu siapa? Mau apa? Motivasi kamu buat ngomong gitu apa?" Lena menoleh ke arah sumber suara.

"Gausah di dengerin, orang gila itu." Aku menimpali.

"Halah, sok suci ya, pake jilbab lebar tahunya l*nte. Iya sih, fetish orang biasanya yang berjilbab besar macem ini." Dia menyentak hijab yang ku kenakan, Mas Dwi yang sudah geram dan ingin maju ku halangi dan menggeleng. "Orang makin penasaran, kali aja lebih ganas di- Aaaakkhhh panasss ....." Belum selesai ucapannya, ia berteriak.

"Kebiasaan sih Si Ara, didiemin makin ngelunjak ni b*bik satu," ujar Wulan seraya mengusap tangannya yang penuh sambal.

"Baru juga sambal udah teriak panas, belum aja trial jadi penghuni neraka jahannam!" Rahma menimpali.

"Kurang banyak sih, Lan."

"Sedikit aja itu udah panas, males, ntar dia kalo playing victim jadi korban yang paling tersakiti."

"Heh, kalian ngebela dia? Apa jangan-jangan kamu sama? L*nte juga? Murahan semua sih, kamu dan kamu." Tunjuknya pada Lena dan Ima. "Kalian yakin suami kalian ga ada main sama dia?! Kelakuan anak lac*r ya gini, pasti ajaran emaknya!" Tunjuknya padaku.

Gdubrak

Aku mendorongnya sekuat tenaga hingga tersungkur. Aku diam jika dia hanya menghinaku, tapi takkan ku biarkan ia menghina teman-teman yang begitu baik dan peduli padaku, dan siapa dia berani menghina Mamaku?!

Plak

Aku berjongkok disamping kepalanya. Satu tamparan ku hadiahkan di pipi kirinya. "Itu buat lo karena udah ngehina teman-teman gue!"

Plak! Plak!

Dua tamparan mendarat mulus di pipinya. "Buat binatang yang udah ngatain Mamaku!"

"ADARA!!! Apa-apaan kamu?" Ayah, ia dengan segera memapah tubuh Hana yang masih tersungkur dibawahku. "Harusnya kalian akur, dan kamu, Ara! Harusnya kamu bisa menyayangi adikmu!"

"Dia bukan adikku. Aku tak punya saudara dari Mama atau Ayah yang sama, lantas bagaimana bisa dia menjadi adikku? Dia hanya anak dari perempuan penggoda yang tak ku ketahui asal usulnya! Lont* kok teriak lont*." tukasku gamblang.

Plak

Wah, pipiku terasa kebas dan telingaku berdenging, ku rasakan sesuatu yang asin dan berbau anyir di dalam mulutku, darah? Seruan kaget dari sekelilingku menyadarkanku, sedang tanganku masih setia menahan pergerakan suamiku.

"Hahahaa, waah, hahahahaa, tampar lagi sih, Yah. Aku ga ngerasain apa-apa ini. Ayah nampar atau hanya mengelus? Aku masih menghormatimu sebagai Ayahku sampai satu menit yang lalu. Aku menahan diri untuk tidak menyentuhnya karena kamu yang masih aku panggil Ayah. Aku tahu dia putri kesayanganmu walau kalian tak ada pertalian darah. Lantas dengan ringannya tanganmu menamparku, yang tengah mempertahankan harga diriku?"

"Apa ini? Kamu manusia? Bahkan hewan sekalipun akan berusaha untuk berjuang agar anaknya tak merasakan sakit dan takut. Baik, hari ini sudah cukup. Silahkan urus anak dan istri penggodamu itu, enyah dari hadapanku! Jangan pernah sekalipun kamu mencari dan memanggilku! Karena sampai kapanpun, hari ini tak akan hilang dari ingatanku! Ahahahaa, wah aku hanya bisa tertawa," ucapku panjang dan terus tertawa, entah apa yang lucu.

Ayah menatapku dengan pandangan sendu, namun segera beranjak dan memapah Hana, dan dapat ku lihat seringai kemenangan dari wanita licik itu. Aku tak peduli lagi, aku saat ini tengah sibuk menenangkan sahabat dan keluargaku yang tersisa ditempat ini.

"Aku ngga apa-apa, cuma berasa di elus kok, bukan di tabok," ujarku sambil tertawa.

Mas Dwi membawaku pulang setelah menyuruh teman-teman kami untuk datang lagi nanti. Dapat ku rasakan genggamannya yang menguat.

"Tunggu disini, Mas ambilin es batu sama obat. Bajunya di ganti aja dulu. Di lemari ada baju ganti," ucapnya.

Aku tak sempat menjawab ia sudah keluar kamar, namun aku mengikuti perintahnya. Mengganti baju dan membersihkan diri. Aku menggelengkan kepala untuk menghilangkan adegan demi adegan tadi. Aku kecewa, padahal baru kemarin rasanya aku berdamai dengan keputusan Ayah yang menghadirkan luka diantara kami, dan hari ini hilang sudah semua yang tersisa darinya. Aku tak mengerti, sebenarnya apa yang membuat Ayah begitu membela dua manusia laknat itu.

Keluar dari kamar mandi, aku mendapati lelakiku tengah duduk di tempat tidur.

"Sini." ia menuntunku untuk duduk di sampingnya. "Maaf ya, maafin saya." Nah, ia dalam mode serius.

"Maaf buat apa?" tanyaku dan sedikit meringis kala dingin es menyentuh pipiku yang masih terasa sedikit kebas.

Ia merubah posisinya yang semula duduk disampingku, ia berjongkok dan masih mengompres pipiku dengan es batu yang dibungkus handuk.

"Maaf, saya gagal melindungi kamu di hari pertama saya jadi suami kamu. Harusnya kejadian tadi ga perlu terjadi," sesalnya.

"Bukan salah kamu kok, Mas. Ayah kayanya lagi PMS." cengirku, dan melanjutkan, "aku beneran ga apa, lho. Aku udah mempersiapkan diri untuk kedatangan hari ini sejak lama. Mungkin harusnya aku ga bersiap, bagaimanapun, itu bisa saja menjadi doa, hingga akhirnya terkabul hari ini."

"Saya nggak terima kamu sampai di tampar begitu, apalagi oleh orang yang harusnya bisa melindungi kamu. Mau di perkarakan, tapi mertua sendiri."

"Biarin aja, Mas. Ntar juga dapat SP langsung dari Allah. Bukan salah Mas Uwik," ucapku seraya mengelus rambut lurusnya, seperti yang dulu ku lakukan kala ia tengah gundah. Sungguh bukan perbuatan yang pantas untuk ditiru, beruntung kami berjodoh.

"Kamu tahu? Saya pertama kali menyadari perasaan saya ke kamu ya karena hal ini. Saya paling suka kamu melakukan ini," katanya seraya tersenyum. "Setiap kali kamu melakukannya, saya lupa semua masalah yang saya hadapi."

"Ckck, lebai! Balik lagi sih ke mode santai, jangan bawa serius, saya saya, kek lagi rapat," protesku.

"Iyaaa, punya masalah apa sih si cetan sama kamu, Ay?"

"Meneketehek, takut kesaing buat dapat warisan kali," jawabku sekenanya.

"Hahaha, warisan apa? Warisan hutang?"

"Ga tahu aku tuh, ga urus juga. Ini ga memar kan? Mana tiga hari lagi bakal ada acara, yekali gue bengep-bengepan di depan banyak orang?!" rutukku pelan.

"Itu ga penting, Ayang. Sekarang yang terpenting keadaanmu dulu. Ga sakit apanya, sampe memar bengkak gini! Beneran deh, kalo ga inget mertua udah tak patahin itu tangan. Wulan juga kurang banyak ngasi cabe ke muka si dajjal," omelnya, aku tertawa.

"Si kalem ternyata bisa mikir sadis juga, hahaha ...."

"Yeee, emang kamu, di tindas diem aja?! Lawan kek, padahal ke kami galaknya ngalahin emak tiri Cinderella."

"Bukan ga berani atau apa, aku cuma males bakal berurusan terus sama mereka. Di ladeni tuh ga cukup sekali dua kali langsung selesai, bakal panjang. Lagian Pak Reza juga bakal terus belain dia."

"Ck, yaudah sekarang mending tenangin diri aja."

"Iyaa, udah adem ini, kan ada AC, udah mandi juga sih."

"Iyaiiiinnn, nyenengin istri dapat pahala ini," ucapnya dengan wajah datar yang menurutku menggemaskan.

"Oiya, sampe lupa sama Tika, Piga sama Vita. Mrs. Lee sama Hera tadi langsung balik. Sibuk banget." Aku teringat tiga tamuku, dan berusaha mengalihkan atensi dari wajah yang sebentar lagi membuat khilaf itu.

"Mereka lagi keluar, diajakin Neesha sama Rere nyari hiburan katanya."

"Aah, iyaa. Jadi ga enak sama mereka. Untung udah sepi."

"Yang ngga untung tuh kamu, kena tabok abis nabokin dajjal kecil," ucapnya seraya mengelus pipiku. 'Ck, gausah manis-manis sih, masih pagi ini,' dumelku dalam hati.

"Gausah sentuh sih, Mas. Aku jadi mules."

"Hahaha, ada-aja sih. Lagian terserah aku mau ngapain, udah ada label halal bersertifikatnya ini. Kamu kalo mules tinggal BAB."

"Ngga mules yang pengen berjuang, cuma rasanya aneh aja, perutku berasa geli," sungutku.

"Ya Allah, hahahaa ... Adaa aja sih, Yang. Sini sun dulu."

"Jangan deket-deket, gue jitak nih!"

"Jangan galak-galak sih, dulu aja sering main seruduk aja kalo kangen. Ini lho, aku udah naik kasta jadi suami kamu, malah di omelin deket-deket," gerutunya.

"Itu ga pegel jongkok dari tadi? Sini sih, atau duduk di balkon, yuk," ajakku, dia berdiri dan membuka pintu yang mengarah ke balkon.

"Ntar sore balik yuk!"

"Kemana?" tanyaku heran.

"Pulang atuh, Ay. Kan udah punya rumah sendiri."

"Lha iya, aku lupa. aku malah ga tahu rumahnya dimana. Tapi nih, itu rumah sejak kapan ada?"

"Udah lama sih, sekitar setahun yang lalu selesainya. Butuh waktu satu tahun 3 bulan baru selesai semua. Kamu kan sempat bikin disainnya."

"Kapan?"

"Ck, aku masih simpan di surel. Pokoknya itu rumah hasil rancangan kamu sendiri. Aku dulu pernah minta kamu buat rancang rumah impian kamu kan? Kamu masih di luar waktu itu."

"Aaah, iya. Tapi itu aku asal gambar, ukurannya juga semauku."

"Tapi udah jadi, dan siap di tempati. Dah berisi juga."

"Ck, iyaaa, tapi nih mas, aku ada sesuatu yang belum aku ceritain," tuturku pelan.

"Apaan?"

Jeda.

"Ada apaan sih, Ay?"

"Aku kalo tidur lasak, jadi ntar aku tidurnya di sofa," jawabku asal setelah lama menjeda ternyata aku belum siap bercerita tentang rahasiaku padanya.

"Mana ada! Ga boleh!" teriaknya.

"Idih, gue geli ya, Jenal! Ngebayangin aja ga pernah kalo jodoh gue ternyata temen main."

"Harus terbiasa, Juleha! Padahal dulu main sosor aja sih, ga pake geli apalagi malu." Ia menyentil ringan keningku. "Lagian kan kata kamu, temen itu disayangin, bukan di nangisin."

"Idiiihh, dikira bebek main sosor! Yakan maksudnya bedaaaa."

"Darting mulu, astagaaaa. Untung sayang, kalo nggak?! Hmmm ...."

"Kalo nggak ya ga dinikahin gitu?" sahutku.

"Iyalah, manalah cuma satu-satunya, sering di panggil garangan juga aku legowo, Ay," desisnya, aku tertawa. "Besok temenin ke kampus, yuk."

"Aku mau ngapain disana? Kamu kan ngajar, Mas."

"Nggak ada jam, cuma ada yang mau bimbingan. Bentaran doang ini, abis itu kita ke kantor travel."

"Hayuklah, eh by the way, Lydia masih jadi penanggung jawab disana?"

"Masih, kamu kalo ga ada kegiatan boleh kok kesana, sekalian pegang aja itu kantor. Mas malah sering ngga keurus, ngajar aja udah nyita waktu banyak," ujarnya. Dia memang punya satu usaha yang dirintisnya dari nol, kantor travel yang diberi nama 'Mentari Tour and Travel'. Ckck, bucin sedari dini ternyata.

"Musti banget ya nama travelnya pake namaku?"

"Harus itu, kantor itu membuktikan ucapan adalah do'a. Pas daftarin izin usaha kan ditanya tuh namanya apa, spontan aja aku jawab begitu, sambil do'a, semoga nama Mentari cocok buat bikin usaha travel ini bersinar layaknya mentari. Dan iya, dikabulin Allah, bahkan malah di jodohin pula."

"Sungguh lebai suami hamba, ya Allah," ucapku disambut ringisannya.

"Lebai sama kamu aja ini, ga sama yang lain."

"Heleh, mode garangannya udah aktif. Terus itu si Wena Wena apaan? Tiap hari dianterin pulang?! Malesin sih," sungutku kesal.

"Tahu lah kalo Mamasmu ini gantengnya tumpah-tumpah, fans nya banyak, ja-"

"Ya apa hubungannya sama si Wena?!! Ya udalah, males juga. Aku turun dulu." Aku memotong ucapannya dengan ekspresi sebal.

"Cemburu mah bilang aja sih, malah ngambek ga jelas si Matahari."

"Jadi inget Rey kalo di panggil matahari gini, tu anak apa kabar ya," gumamku pelan.

"Ha?? Siapa? Wah berani ya sebut nama orang lain."

"Dahlah, sebel akutuh, mamam dah tuh cemburu," tukasku dan berbalik.

"Jangan bikin jealous, aku kalo udah jealous serem loh!"

"Gausah bikin pengumuman, bisa apa sih, Mas kalo lagi kesel," tantangku.

"Dari dulu udah nahan sih kalo dibikin kesel, apalagi sampai nyebut nama laki lain, pengen tak hih," ujarnya sambil menjitak kepalaku, aku memberengut kesal.

Cup.

Tanpa permisi ia mendaratkan kecupan singkat di pipiku. Aku melongo, dan terdengar teriakan Neesha dari bawah sana.

"WOOOOYYY ... MASIH PAGI UDAH IYA-IYA BAE!! MANA DI BALKON PULA! MASHOK WOYY!!!"

"Mataku ternoda," ucap Tika dan Piga.

Mukaku entah bagaimana rupanya saat ini, mungkin sudah hijau saking kacau dan malunya. Aku menyembunyikan diri dengan berjongkok dan menutup mukaku dengan kedua tangan.

"SIRIK AJA SI TUTUP KENDI!!! SUKA-SUKA GUE AH!" Mas Dwi balas berteriak dan segera mengaduh saat tanganku mendarat di punggung lebarnya.

'Baru sehari sudah bikin heboh, lalu bagaimana selanjutnya? Seumur hidup aku akan terus bersama makhluk absurd ini' rutukku dalam hati.

"Berisik amat sih, malu sama tetangga, astaga," omelku padanya.

"Ga apa, malu itu manusiawi, yang ga manusiawi tuh kalo nganggurin istri yang belasan tahun gue tunggu. Dahlah, yuk pulang ke rumah sendiri aja, biar ga ada yang ganggu." Ia menggandengku entah kemana, aku tersenyum, kemanapun, asal bersamanya, aku sanggup.

"Hey, babe, I love you" ucapku padanya, yang disambut tawa ringan.

"You know? I love you more, as always."

...__...

1
Anjan
gitu dong, ngaku!
Anjan
Slice of life nya dapat banget, humornya juga dapet. Semangat, Kakak author!
Anjan
enteng kali si jule
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!