NovelToon NovelToon
Rahasia Kakak Ipar

Rahasia Kakak Ipar

Status: sedang berlangsung
Genre:One Night Stand / CEO / Hamil di luar nikah / Cinta Terlarang / Cinta Seiring Waktu / Konflik etika
Popularitas:378.5k
Nilai: 5
Nama Author: Mommy Ghina

Satu malam yang kelam … mengubah segalanya.

Lidya Calista, 23 tahun, gadis polos, yang selama ini hanya bisa mengagumi pria yang mustahil dimilikinya—Arjuna Adiwongso, 32 tahun, suami dari kakaknya sendiri, sekaligus bos di kantornya—tak pernah membayangkan hidupnya akan hancur dalam sekejap. Sebuah jebakan licik dalam permainan bisnis menyeretnya ke ranjang yang salah, merenggut kehormatannya, dan meninggalkan luka yang tak bisa ia sembuhkan.

Arjuna Adiwongso, lelaki berkuasa yang terbiasa mengendalikan segalanya. Ia meminta adik iparnya untuk menyimpan rahasia satu malam, demi rumah tangganya dengan Eliza—kakaknya Lidya. Bahkan, ia memberikan sejumlah uang tutup mulut. Tanpa Arjuna sadari, hati Lidya semakin sakit, walau ia tidak akan pernah minta pertanggung jawaban pada kakak iparnya.

Akhirnya, gadis itu memilih untuk berhenti kerja, dan menjauh pergi dari keluarga, demi menjaga dirinya sendiri. Namun, siapa sangka kepergiannya membawa rahasia besar milik kakak iparnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 27. Ada Yang Gelisah

Tawa mereka pecah bersamaan. Setelah tawa mereda, Lidya menatap Farel dengan penasaran. “Kamu bisa berubah segini banyak karena apa?”

Farel mengangkat bahu. “Tiga tahun di Kalimantan ngajarin aku banyak hal. Aku diet, olahraga tiap pagi, dan fokus kerja. Nggak ada waktu buat mikirin yang nggak penting.”

Lidya mengangguk kagum. “Keren banget.”

“Biasa aja, cuma butuh niat. Kamu juga harus nyoba olahraga, biar makin sehat.”

Lidya tersenyum, tapi matanya menatap kosong ke luar jendela. “Iya, aku mau coba.”

Hening sebentar, sebelum Lidya membuka suara pelan. “Rel, ngomong-ngomong … di kantormu ada lowongan nggak?”

Windy langsung menoleh cepat. “Lho, kamu kenapa nanya gitu? Bukannya kerja di perusahaan kakak iparmu enak banget?”

Senyum Lidya menipis. “Enak sih, tapi … aku pengen suasana baru. Pengen belajar hal lain.”

Nada suaranya tenang, tapi ada getar samar di baliknya.

Farel menatapnya serius. “Aku bisa tanya ke HRD. Tapi kalau dapet, kamu siap nggak kalau harus tugas ke luar kota juga? Kadang aku sebulan bisa pindah-pindah provinsi.”

Lidya tersenyum lemah tapi mantap. “Kalau memang harus begitu, aku siap.”

“Baik, nanti aku kabarin.”

Angin malam berembus lewat jendela, menyingkap sebagian helai rambut Lidya. Farel memperhatikannya sesaat, ada sesuatu dalam tatapannya—campuran nostalgia dan kagum yang tidak berani ia tunjukkan lebih jauh.

Windy tersenyum geli melihat keduanya. “Duh, aku kayak jadi obat nyamuk nih.”

Lidya mencubit lengannya, “Dasar Windy.”

Suara tawa mereka kembali memenuhi meja. Sesekali, Lidya menatap ponselnya, tapi tidak ada pesan masuk. Ia bahkan tidak tahu, di layar ponsel itu—yang tergeletak di tasnya—ada satu pesan belum terbaca.

Pesan dari Arjuna.

***

Restoran Menteng, 19.45 WIB

Di tempat lain, suasana restoran elegan di Menteng terasa kaku meski dipenuhi cahaya hangat lilin di atas meja bundar. Para pebisnis berbicara dengan nada sopan, membahas angka dan peluang kerja sama.

Arjuna duduk di tengah. Di depan piringnya ada steak yang nyaris tak tersentuh. Raffi duduk di sisi kanan, sesekali melirik bosnya yang tampak tidak fokus.

“Jadi, Pak Arjuna, kita bisa lanjutkan pembahasan nilai investasi ini minggu depan?” tanya salah satu relasi, pria paruh baya berkacamata tebal.

Arjuna menatap sekilas, lalu mengangguk. “Tentu, nanti tim saya akan koordinasi lebih lanjut.”

Namun beberapa detik kemudian, matanya kembali melirik ponsel yang tergeletak di meja. Layarnya gelap. Tidak ada notifikasi masuk.

Raffi memperhatikan, lalu pura-pura batuk kecil. “Ehem.”

Arjuna menoleh sekilas. “Kenapa?”

“Nggak apa-apa, Pak. Cuma … sepertinya Bapak lebih tertarik sama ponsel daripada sama daging wagyu-nya.”

Arjuna meletakkan garpu dan pisau, menatap Raffi dengan alis terangkat. “Kamu sekarang hobi bercanda ya?"

Raffi tersenyum kikuk. “Cuma biar suasana cair, Pak.”

Arjuna tidak menjawab. Ia membuka ponselnya diam-diam di bawah meja. Jarinya mengetik cepat.

“Kamu di mana?”

Ia menatap pesan itu beberapa detik.

Kemudian, seperti biasa, dihapus.

Darahnya terasa berdesir. Ia sendiri tak mengerti kenapa begitu resah.

Relasi di depannya kembali mengajukan pertanyaan. “Jadi, Pak Arjuna, bagaimana menurut Anda tentang rencana ekspansi ke luar negeri tahun depan?”

Raffi langsung menoleh ke bosnya, memberi kode halus.

Arjuna tersadar, buru-buru menegakkan posisi duduk. “Oh, iya … ekspansi luar negeri. Kita akan evaluasi peluangnya terlebih dahulu.”

Raffi menahan napas lega. Ia tahu betul, malam itu bukan malam biasa untuk atasannya. Sejak makan siang tadi, ekspresi Arjuna berubah-ubah, seperti seseorang yang menahan amarah dalam diam.

Jam di dinding menunjukkan pukul 20.15. Relasi pamit satu per satu. Setelah mereka pergi, Arjuna bersandar di kursi, melepas napas panjang.

Raffi menatapnya ragu. “Pak, Bapak nggak apa-apa?”

Arjuna hanya menjawab pelan, “Bawakan saya air putih.”

Raffi bergegas, meninggalkannya sejenak.

Begitu sendirian, Arjuna kembali membuka ponselnya. Kali ini ia mengetik tanpa ragu.

“Kamu di mana?"

Pesan terkirim.

Namun tanda “dibaca” tak kunjung muncul.

Detik berganti menit.

Masih tak ada respons.

Arjuna mengetuk meja pelan, lalu menatap layar ponselnya lama-lama. Ada perasaan aneh di dadanya—campuran cemburu dan kecewa yang menekan.

Ia meneguk air putih yang baru dibawa Raffi. “Kamu tahu nggak, Raf,” katanya tiba-tiba.

Raffi menatap bingung. “Tahu apa, Pak?”

“Rasanya … jadi orang bodoh.”

Raffi tercekat, tak tahu harus menanggapi apa.

***

Kafe Senopati, 20.45 WIB

Sementara itu, Lidya masih di kafe yang sama. Musik live mulai mengalun lembut, dinyanyikan oleh penyanyi perempuan dengan suara serak manis. Lagu-lagu mellow membuat suasana terasa hangat tapi sentimentil.

Windy sudah mulai sibuk dengan ponselnya, sedangkan Farel bercerita panjang tentang pengalaman di tambang.

“Kadang kami kerja 12 jam nonstop, Lid. Tapi di sana, langit malamnya indah banget. Beda sama Jakarta.”

Lidya tersenyum sambil menyandarkan kepala di tangan. “Kedengarannya damai banget.”

“Damai tapi sepi,” sahut Farel. “Makanya aku sering mikirin masa lalu. Termasuk kamu.”

Lidya tertawa kecil, menatapnya sekilas. “Kamu ini, Rel, bisa aja.”

Namun dalam hati, entah kenapa dadanya terasa hangat dan berdebar aneh.

Di dalam tasnya, ponsel bergetar. Sekali.

Namun suara musik dan obrolan menenggelamkan getaran itu.

Pesan dari Arjuna belum terbaca.

***

Restoran Menteng, 21.10 WIB

Arjuna masih duduk di tempatnya. Restoran mulai sepi, hanya tersisa beberapa tamu. Ia menatap layar ponsel yang tetap hening.

“Belum dibaca?” gumamnya lirih.

Raffi menatap jam tangannya. “Mungkin Mbak Lidya lagi di jalan, Pak.”

Arjuna tidak menjawab. Ia hanya berdiri, menyampirkan jas ke lengan. “Ayo pulang.”

Raffi menurut. Tapi di matanya, ada kekhawatiran. Bosnya terlihat … gelisah malam ini.

Begitu keluar dari restoran, udara malam menyambut dengan dingin. Arjuna menatap langit Jakarta yang diselimuti awan hitam.

Dalam kepalanya, bayangan Lidya di lobi sore tadi kembali muncul — tawa, pelukan, dan senyum yang bukan untuknya. Ia membuka ponsel sekali lagi, melihat pesan yang masih belum dibaca itu. Lalu menulis satu baris baru: “Jangan terlalu malam di luar.”

Tapi jari-jarinya berhenti di atas tombol kirim. Detik berikutnya, pesan itu dihapus. Ia menutup ponsel, memejamkan mata sesaat.

“Kenapa kamu nggak bisa biarkan aku tenang tanpa harus sakit seperti ini,” bisiknya pelan, hampir tanpa suara.

Mobil hitam mereka melaju di tengah jalan yang mulai basah oleh gerimis.

Dan di kursi belakang, Arjuna hanya diam — menatap keluar jendela, di mana pantulan lampu-lampu kota terlihat seperti serpihan kenangan yang tak mau padam.

Sementara jauh di sana, Lidya tertawa lagi di bawah cahaya lampu kafe. Tanpa tahu, ada seseorang yang sedang menahan luka yang tak ia mengerti dalam diam.

Bersambung ... 💔

1
Reni Anjarwani
tumben hari ini ngak up , semanggat up thor
nyaks 💜
ada yg otw ni 😅😅
Bulan Alfonsius
are you ok mom..tumben ngak up sehat selalu mommy ghina
Yam Mato
👍👍👍
Engkar Sukarsih
mommy bang Arjun masih nyangkut di mana 🤔🤔🤔
Engkar Sukarsih: sukses selalu mommy dan tetap semangat 🥰🥰🥰💪🏼💪🏼👍
total 3 replies
Engkar Sukarsih
dasar maling teriak maling kamu Eliza 🤬🤬 urat malunya dah putus ada mertuanya aja masih ngegas marah" sama mas bro Arjun...oh .. Arjun 🥰🥰🥰
Yam Mato
👍👍👍
Ayu Ayuningtiyas
bagus ceritanya
Yam Mato
👍👍
Ayu Ayuningtiyas
biarpun istri klo kelakuan seperti itu dan masih tdk mau mengembalikan semua yg diambilnya,mendingan laporkan saja eliza ke polisi ,biar kapok .hancur...hancur sekalian daripada menjalani rumah tangga dgn org yg tdk bisa menghargai suami padahal suaminya sdh memberikan nafkah yg berlebih ke istrinya.
Erna Riyanto
Dah lngsung talat tiga aja....selesaikan urusan Elisa....trus semangat buat cari Lidya...jgn lama" ya jun...cepet temuin...jngn sampai nnti sekian tahun br ktmu..GK adil bgt buat Lidya menanggung semua sendiri.. kamu harus ada disamping Lidya selama masa kehamilan
nyaks 💜
ehhhhh mulai agak² no org 😅😅😅
nyaks 💜
👊👊👊👊😅😅
nyaks 💜
😂😂😂😂
nyaks 💜
yakin?? 🤔
nyaks 💜
Arjuna..Arjuna...
💐ERNA💐🥀🌹
ibu Hanum yang pusing ,yg baca lebih pusing lagi 🤦‍♀️
nyaks 💜
🙄🫤🫤
nyaks 💜
wlopun kau itu adik Kaka Lidya,,maap El aku timnya Lidya 😅😅😅
nyaks 💜
knpa gak nikah aja dgn penganut yg sama sih El?? kan kalian bisa bebas gak saling sperti kek skarang...
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!