“Satu malam, satu kesalahan … tapi justru mengikat takdir yang tak bisa dihindari.”
Elena yang sakit hati akibat pengkhianat suaminya. Mencoba membalas dendam dengan mencari pelampiasan ke klub malam.
Dia menghabiskan waktu bersama pria yang dia anggap gigolo. Hanya untuk kesenangan dan dilupakan dalam satu malam.
Tapi bagaimana jadinya jika pria itu muncul lagi dalam hidup Elena bukan sebagai teman tidur tapi sebagai bos barunya di kantor. Dan yang lebih mengejutkan bagi Elena, ternyata Axel adalah sepupu dari suaminya Aldy.
Axel tahu betul siapa Elena dan malam yang telah mereka habiskan bersama. Elena yang ingin melupakan semua tak bisa menghindari pertemuan yang tak terduga ini.
Axel lalu berusaha menarik Elena dalam permainan yang lebih berbahaya, bukan hanya sekedar teman tidur berstatus gigolo.
Apakah Elena akan menerima permainan Axel sebagai media balas dendam pada suaminya ataukah akan ada harapan yang lain dalam hubungan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Tiga Belas
Aldi terdiam cukup lama setelah mendengar kalimat Elena.
“Aku akan menemani Axel ke luar kota.”
Seakan ada yang menjotos dadanya. Napasnya mendadak sesak. Tangannya mengepal, rahangnya mengeras.
“Elena!” suaranya meninggi. “Kamu bilang apa tadi?”
Elena mengangkat dagu, menatap suaminya dengan mata merah tapi penuh tekad. “Aku ikut Axel dinas ke luar kota. Itu tugas kantor, Mas. Bukan aku yang minta.”
“Aku nggak izinin kamu pergi!” Aldi spontan melangkah mendekat. Suaranya meninggi, jauh lebih tegas dari biasanya.
Elena terkekeh sinis, meski air matanya masih membekas di pipi. “Lucu ya. Kamu nggak izinin aku pergi kerja, tapi kamu juga nggak berani ngaku kalau aku istri kamu di kantor. Aku harus nurut di rumah, harus diem di kantor, terus aku harus apa, Mas? Jadi bayangan kamu aja?”
“Elena, jangan ngeyel!” Aldi meninggikan suara. “Kamu tahu aku cuma nggak mau masalah ini makin rumit.”
“Rumit?” Elena mengangkat alis. “Kamu tahu nggak yang rumit itu apa? Rumit itu ketika aku harus pura-pura cuma teman kantor kamu, padahal setiap malam tidur di kasur yang sama. Rumit itu ketika aku harus tahan sakit waktu orang kantor ngira Lisa pasangan kamu!”
Nama itu lagi-lagi muncul, membuat Aldi memijit pelipisnya. “Kenapa sih kamu selalu bawa-bawa Lisa?”
“Karena dia selalu ada, Mas! Kamu selalu biarin dia deket sama kamu di kantor. Orang-orang lihat kamu sama dia cocok. Dan aku? Aku harus pura-pura nggak peduli.” Elena menarik napas panjang. “Sekarang, aku cuma mau fokus kerja. Perjalanan keluar kota ini tugas, bukan aku yang minta. Dan tolong jangan larang aku.”
Aldi terdiam. Dada dan kepalanya terasa panas. Rasanya ia ingin menahan Elena, mengunci pintu, biar perempuan itu nggak ke mana-mana. Tapi ia tahu itu hanya bikin masalah tambah besar.
“Elena, aku cuma ....”
“Aku pergi bukan buat senang-senang,” potong Elena cepat. “Aku cuma bawain berkas dan jadi asisten Axel. Mana mungkin seorang CEO mau sama aku? Jangan bikin ini seolah aku yang salah.”
Kata-kata Elena seperti tamparan kedua setelah semalam. Aldi hanya bisa berdiri di ambang pintu, melihat istrinya bergegas mengambil tas kecilnya dan merapikan koper yang sudah ia siapkan.
“Mas, aku harus berangkat. Axel pasti sudah nunggu di kantor.”
“Elena!” Aldi memanggil, tapi perempuan itu sudah keluar kamar tamu tanpa menoleh.
Sepanjang jalan menuju kantor, Aldi tidak tenang. Sampai di parkiran, dia duduk sebentar, menenangkan napas. Tapi semakin dia menahan, semakin dadanya sesak. Akhirnya ia memutuskan mencari Axel langsung.
Kantor masih sepi pagi itu. Beberapa karyawan baru saja datang. Aldi bergegas menuju lantai atas, menuju ruang CEO. Tapi ruang itu kosong. Hanya ada meja rapi dengan laptop tertutup.
“Axel!” panggil Aldi, suaranya menggema di lorong.
Tidak lama kemudian, Axel keluar dari ruang kecil di samping ruang kerjanya. Dia mengenakan kemeja putih, lengan digulung sampai siku, rambutnya rapi, dan seperti biasa wajahnya datar.
“Ada apa, Mas Aldi?” tanyanya santai, meski tatapannya tajam.
Aldi mendekat. “Aku mau ngomong sebentar. Tentang Elena. Apa benar kamu mengajaknya ikut keluar kota?"
"Ya," jawab Axel singkat.
"Kenapa harus Elena, bukan yang lain?"
Axel menaikkan alis, lalu bersandar pada meja. “Kenapa? Bukannya kamu cuma temen kantornya? Aku cuma ajak dia ikut dinas. Itu bagian dari kerjaannya.”
Aldi tercekat. Lidahnya seperti berat. Seandainya ia bisa jujur, ia akan bilang, Axel, dia istriku. Aku nggak tenang dia pergi sama kamu.Tapi kata-kata itu tertahan.
“Kenapa kamu keliatan marah? Bukankah kamu cuma temannya?” Axel mengulangi pertanyaan itu dengan penuh penekanan dan menatap Aldi cukup lama, seolah membaca pikirannya. “Atau … ada sesuatu yang harus tidak aku tahu?”
Aldi meremas jemarinya. “Nggak. Aku cuma khawatir. Dia belum pernah ikut perjalanan keluar kota. Takutnya dia kecapekan.”
Axel menghela napas pendek. “Aku nggak akan bikin dia kerja yang aneh-aneh. Santai aja. Lagi pula, dia cukup kompeten. Aku butuh orang seperti dia di perjalanan ini.”
Aldi menunduk. Rasanya seperti makan buah simalakama. Kalau dia tetap melarang, Axel bisa curiga. Kalau dia jujur, rahasia pernikahannya terbongkar. Ia memilih diam.
“Oke,” ucap Aldi akhirnya. “Kalau itu memang kerjaan … silakan.”
Axel hanya mengangguk. “Bagus. Kamu kan temannya, harusnya dukung.”
Aldi terdiam. Kata-kata Axel seperti sindiran, tapi dia tak membalas. Ia hanya memutar badan, berjalan pergi dengan perasaan berat.
Di ujung lorong, seseorang berdiri dengan wajah kesal. Lisa. Sejak tadi ia menguping percakapan dua pria itu. Tangan Lisa mengepal, rahangnya mengeras. Jadi selama ini Elena yang bikin dia gelisah? batinnya. Gara-gara dia, Aldi bisa menjauh dari aku.
Begitu Axel masuk lagi ke ruangannya, Lisa berjalan cepat ke arah lantai bawah, menuju ruang Aldi.
BRAK! Pintu ruang Aldi terbuka tanpa ketukan.
Aldi yang sedang duduk memijat pelipis langsung kaget. “Lisa? Ada apa?”
“Ada apa?!” Lisa melotot. “Masih nanya? Aku baru denger kamu ngomong sama Axel barusan. Kamu marah dia ajak Elena pergi keluar kota?”
Aldi menarik napas dalam. “Lisa, jangan bikin ribut di kantor.”
“Kenapa? Kamu takut orang tahu? Kamu takut mereka tahu kamu peduli sama Elena?!” Lisa mendekat, suaranya bergetar menahan marah. “Kamu bilang kamu sama aku serius. Tapi sekarang? Kamu sibuk mikirin perempuan itu!”
Aldi berdiri. “Lisa, cukup! Ini bukan tempatnya.”
"Apa kamu masih mencintainya? Kamu hanya mempermainkan aku selama ini?" tanya Lisa lagi. Tak peduli kalau Aldi tampak kesal.
"Lisa ... Elena itu masih istriku. Dia masih tanggung jawabku," jawab Aldi.
"Jadi sekarang kamu merasa bertanggung jawab dengannya?" Kembali Lisa bertanya.
"Lisa, aku capek. Aku tak mau debat."
Aldi langsung membuka laptop dan pura-pura sibuk.
Sementara itu, di lantai bawah, Elena baru saja sampai. Ia menarik koper kecilnya, bersiap menuju mobil perusahaan yang akan mengantarnya bersama Axel. Saat ia melewati lobby, ia melihat Lisa keluar dari lift dengan wajah masam.
Mereka berpapasan. Lisa sempat menghentikan langkah, menatap Elena dari atas sampai bawah. Senyumnya sinis.
“Elena, siap-siap jalan sama Axel ya? Wah … hebat kamu. Baru jadi asistennya udah bisa ikut keluar kota.” Nada bicaranya mengandung sindiran.
Elena hanya tersenyum tipis. “Ini memang kerjaanku. Bukan aku yang minta.”
Lisa mendengus. “Ya, semoga aja kamu nggak bikin masalah di luar kota. Jangan sampai bikin CEO kita jatuh hati sama kamu. Bisa ribet nanti.”
Elena menatapnya datar. “Tenang aja, Lis. Aku nggak punya waktu buat main-main. Aku bukan wanita penggoda yang mudah jatuh cinta, apa lagi mencintai suami orang. Aku tak akan mau. Lagian … Axel bukan tipe yang gampang jatuh hati sama siapa pun.”
Lisa terkekeh sinis, lalu melangkah pergi. Tapi di dalam hatinya, amarah makin membara. Dia merasa kalau Elena menyindirnya.
Di parkiran, Axel sudah menunggu di samping mobil. Ia menoleh ketika melihat Elena datang.
“Kamu siap?” tanyanya singkat.
Elena mengangguk. “Siap.”
Axel membuka pintu mobil untuknya. “Ayo. Kita harus berangkat sekarang.”
Saat mobil mulai melaju meninggalkan gedung kantor, Elena melirik sebentar ke arah jendela lantai atas. Entah kenapa ia merasa Aldi sedang memperhatikannya dari sana. Elena tak peduli. Dia masih kesal dengan sang suami.
semoga elena kuat melihat perbuatan mereka ber2