"Memang ayah kamu gak ada kemana?" tanya Dira yang masih merasa janggal dengan apa yang dimaksud anak itu.
Divan berpikir. Sepertinya ia mencoba merangkai kata. "Kabul. Cali mama balu," jawab Divan. Kata itu ia dapatkan dari Melvi.
****
Bia gadis yatim piatu yang haus akan cinta. Dia menyerahkan segalanya untuk Dira, pria yang dia cintai sepenuh hati. Dari mulai cintanya sampai kehormatannya. Tapi Dira yang merupakan calon artis meminta putus demi karir, meninggalkannya sendirian dalam keadaan mengandung.
Demi si kecil yang ada di perutnya Bia bertahan. Memulai hidup baru dan berjuang sendirian. Semua membaik berjalannya waktu. Ia dan si kecil Divan menjalani hari demi hari dengan ceria. Bia tak peduli lagi dengan Dira yang wara wiri di televisi dengan pacar barunya.
Tapi rupanya takdir tak tinggal diam dan mempertemukan mereka kembali dalam kerumitan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon elara-murako, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Apa Yang Terekam Dalam Ingatanmu?
KASIAN BANYAK YANG GALAU NANYAIN ISI OTAK DIRA. INI BARU SEPEREMPAT ISINYA 😁.
🌿🌿🌿
Air masih membasahi tubuh Dira ketika ia mematikan keran shower. Rasanya otot-otot tubuh yang menegang kembali lentur setelah terkena air hangat dan sabun. Dira keluar dari shower room, turun ke atas karpet lembut dan meraih kimono putih yang tergantung.
Hendak mengambil pakaian di walking closet, Dira terpaku pada sebuah kotak coklat yang ia selipkan di antara rak topi. Garis matanya menyipit. Kotak itu rasanya tidak asing bagi Dira.
Setelah berpakaian Dira mengeluarkan kotak dari rak dan membukanya. Mata Dira terbelalak antara kaget dengan was-was. Syukur bukan Cloe yang menemukan ini.
Foto-fotonya dengan Bia masih terkumpul rapi di dalam sebuah album yang tersimpan rapi dilindungi kotak coklat itu. Album ini, dia dan Bia yang beli di toko alat tulis dekat sekolah SMA mereka.
"Sial! Kenapa aku masih menyimpan ini?" pekik Dira. Ia membawa kotak itu keluar walking closet. Dira duduk di meja kerja yang ada di ruangan lain di dalam kamarnya. Fotonya masih lengkap.
Melihat isi album itu membuat ia seperti tertarik ke dalam lorong waktu. Apalagi foto terakhir saat ia memenangkan audisi dan terpanggil menjadi peserta utama ke Heren.
Ia ingat bagaimana lucunya wajah Bia yang tidak sabar menunggu hasil audisi. Kaki Bia membuat bunyi karena dihentakkan beberapa kali ke lantai. Dira sengaja memerhatikannya dari jauh, bersembunyi diantara banner sambil tertawa melihat perilaku Bia.
"Kenapa, Om? Nunggu istri ngelahirin?" goda Dira. Bia kaget dan langsung melirik ke arah pria itu.
Melihat wajah bahagia Dira, Bia sedikit lega. Dira selalu lulus audisi. Hanya saja setiap akan kompetisi, ia dibuat sibuk oleh tugas sekolah. Syukur setelah ujian akhir, ia bisa lebih bebas dan hanya memikirkan tes masuk universitas.
"Dari tadi aku tungguin di sini. Orang lain yang audisi sebelum kamu udah keluar dari tadi. Kamu gak muncul-muncul," protes Bia.
Dira terkekeh. "Orang ganteng memang begitu, mau keluar saja ditahan-tahan," kelakar Dira. Bia tidak menimpali kalimat pria itu. Justru ia lebih memilih pergi keluar gedung audisi.
"Woy, tunggu! Gak takut pacarnya ditikung orang?" Dira menyusul Bia dari belakang sambil menggendong tas berisi gitar.
Bia berbalik lalu memeletkan lidahnya. "Sana! Gak dapat jatah baru tahu!" ancam Bia. Dira lekas berlari menyusulnya dan mendekap bibir gadis itu.
"Hati-hati kalau ngomongin jatah," omel Dira. Setelah Bia mengangguk baru ia lepaskan telapak tangannya. "Kamu yang janji ya kalo aku lulus audisi, kamu mau aku ajakin ngamar?" tagih Dira.
"Memang lulus?" tanya Bia ragu.
Dira berdeham lalu berkacak pinggang sambil menunjukkan wajah bangga. "Kalo gak lulus jadi penyanyi juga, wajah ganteng ini masih menjual buat jadi model iklan," ucapnya sombong.
Bia mencubit gemas pipi Dira. "Model iklan pembalut," kelakarnya membuat Dira kesal. Sebelum Dira menggetok kepalanya, Bia memilih lari. Untungnya karena gitar, langkah Dira menjadi tidak selincah biasanya. Ia sulit mengejar Bia.
Terdengar suara tawa gadis itu, memancing Dira untuk ikut tertawa. Hari selalu menyenangkan jika bersama Bia.
"Tante Rubi gampang banget ngizinin kamu pergi sama aku?" tanya Dira bingung. Lain jika anak laki-laki lain yang ajak. Jangankan kemping, untuk mengerjakan tugas saja pasti ditunggui.
"Dia bilang kamu gak mungkin ngapa-ngapain aku. Seenaknya bilang, 'Dira juga mikir dulu kalo mau pacaran sama kamu, bakalan mual apa gak.' Kan nyebelin banget Tante, tuh!" dumel Bia.
Dira tertawa hingga rasanya nyeri di kulit perut. "Gak tahu aku pernah keracunan apa, kata Tante kamu ada benernya," ledek Dira. Kali ini ia mendapat tinju di lengannya. Dira duduk di belakang Bia dan memeluknya erat.
"Kamu makin gendut," komentarnya. Bia manyun lalu menunduk malu. "Kemarin lipatannya masih satu dan sekarang dua," tambah Dira sukses membuat Bia mati kutu.
"Kan udah aku bilang, cari cewek lain. Padahal aku sudah diet, bukannya ngurang malah nambah berat. Mana acara wisuda minggu depan lagi. Aku sampe stress, sampe dateng bulan saja telat."
Dira mengecup pipi Bia. "Kenapa sih cewek selalu mikirin berat badan? Lagipula, kalau stress memang bisa bikin telat datang bulan?" tanya Dira heran.
Bia mengangguk. Ia memang merasa aneh karena sudah dua kali ia telat. Sempat bertanya pada mesin pencarian Google dan hasilnya karena stress katanya.
Bia memang belakangan ini merasa terbebani dengan kiloan yang naik sampai angka lima. "Aku tambah gendut, tambah jelek," keluh Bia.
"Gak pa-pa. Aku masih cinta, kok. Kalo ada kamu, lihat Marilyn Monroe saja aku mendadak buta," goda Dira. Mendengar itu kepercayaan diri Bia kembali muncul.
Api unggun masih menyala dan Bia masih tenggelam dalam pelukan Dira. "Masih tetap mau jadi guru TK?" tanya Dira lagi. Bia mengangguk.
"Kenapa?" tanya pria itu lagi.
Bia berpikir sejenak. "Kan bagus, ilmunya bisa aku praktekin kalau kita punya anak nanti," jawab Bia.
Dira menggeleng. "Anak kita biar diurus pengasuh saja. Aku gak percaya kamu ngurus dia," tolak Dira.
"Kok?" tanya Bia heran.
"Kamu apa yang bisa diandelin dari ngurus anak? Tali sepatu saja kalo copot aku yang iketin, lipat lengan kemeja kepanjangan juga gak bisa, makan saja belepotan. Apalagi ngurus anak?" komentarnya tajam.
Bia tidak bisa menampik. Ia memang manja. Selama ini Dira bahkan lebih cocok menjadi pengasuh dibandingkan pacar. Bahkan makan siang di sekolah saja masih Dira yang menyuapinya.
"Kamu mau gimana kalau aku ke Heren nanti?" tanya Dira khawatir. Ia kecup kepala Bia dan memeluknya erat.
"Nyari pengasuh baru," celetuk Bia lalu nyengir kuda.
Setelah berkata begitu, ia langsung mendapat cubitan di perut berkali-kali oleh Dira. Mereka tertawa bersama hari itu. Tawa yang kini menjadi kenangan dan hanya terekam di dalam kerangka foto.
Masa lalu itu memang begitu indah dan selalu mengundang rindu. Namun, Dira akan menempuh hidup baru dengan wanita lain. Untuk itu ia menghapus semua kenangan tentang Drabia yang menjadi cintanya selama lima tahun itu.
Akhirnya kenangan itu hilang ditelan perapian. Satu per satu foto mulai terbakar dan berubah hitam menjadi abu. Orang mungkin berpikir Dira tega melakukan itu. Tidak, sambil melempar foto-foto itu ke dalam nyala api, Dira menangis. Air matanya mengalir tanpa bisa menghapus penyesalan.
"Kalau kita ketemu lagi, aku janji akan memperlakukanmu dengan baik. Meski kita tidak bisa bersama lagi," tekad Dira.
🌿🌿🌿
Episode ini masih sama panjangnya 😁😁
mudah-mudahan gak bosen kalian bacanya
AKU UP LAGI SOREAN YAK