Laura Carter adalah seorang nona muda yang memiliki kehidupan sempurna, hingga suatu hari ia di diagnosa mengidap kanker stadium akhir. Usianya hanya bisa bertahan selama enam bulan.
Bukannya merasa terpuruk Laura memutuskan untuk menikmati sisa waktu yang dia punya bersama sang kekasih, Dokter Shinee.
Namun siapa sangka pria yang selama ini jadi belahan jiwanya adalah suami wanita lain. "Dasar badjingan," umpat Laura.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lunoxs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MDB Bab 27 - Ahli Dalam Segala Hal
Di dalam kamar Shinee meletakkan Laura dengan sangat hati-hati di atas ranjang, seolah sang istri hanya tinggal sehelai napas saja. Tubuh Laura masih menggigil, wajahnya pucat dan bibirnya kehilangan warna. Namun begitu punggungnya menyentuh kasur, Laura justru mencoba tersenyum tipis.
“Aku baik-baik saja,” bisiknya lirih, padahal tubuhnya jelas mengatakan sebaliknya.
Shinee menghela napas pelan sambil merapikan selimut yang membungkus sang istri. “Jangan bohong padaku,” ucapnya lembut, “Aku di sini, kamu tidak perlu pura-pura kuat.”
Laura menutup mata, menahan air mata yang ingin jatuh lagi. Bukan karena sakitnya tapi karena rasa bersalah yang menghantamnya tanpa henti. Dia benci terlihat lemah di hadapan orang yang dia cintai, benci menjadi beban untuk semua orang.
Shinee duduk di sisi ranjang, satu tangan mengusap rambut Laura, sementara tangan lainnya menggenggam pergelangan kecil sang istri, merasakan denyutnya yang lemah.
“Aku lihat ada sedikit darah,” bisik Shinee akhirnya, jujur karena tak ingin menyembunyikan apapun darinya. “Aku akan hubungi dokter Richard. Kita tidak boleh anggap remeh ini.”
Laura terdiam. Air matanya jatuh lagi tanpa suara. “Maaf.”
“Laura,” Shinee menunduk, meletakkan keningnya di kening sang istri. “Kalau kamu minta maaf sekali lagi… aku yang akan menangis.”
Itu bukan ancaman, kalimat itu adalah kebenaran yang terdengar begitu berat, membuat dada Laura sesak dan hangat sekaligus. Dia membuka mata perlahan, menatap Shinee dari jarak hanya beberapa sentimeter. Mata pria itu merah, ada rasa takut yang sangat dalam tersembunyi di dalam sana.
“Kak… aku takut,” akhirnya Laura mengaku.
Shinee memeluknya lagi, memeluk seolah dunia bisa runtuh kapan saja. “Aku juga takut. Tapi kita akan takut bersama. Kita hadapi semuanya bersama.”
Sementara itu di luar, suasana di ruang makan sudah jauh berbeda. Celine duduk mendekap diri, matanya sembab. Rama hanya berdiri setengah bingung, setengah bersalah, karena ucapannya barusan membuat dua orang dewasa menangis sekaligus.
Dicky mengusap wajahnya lagi, suara napasnya keras dan tidak stabil. “Aku hanya… aku hanya tidak sanggup melihat nona Laura seperti itu. Dia harusnya tertawa, hidup bebas, bukan…” kata Dicky, tapi suaranya terhenti sebelum kalimat itu selesai.
“Bukan seperti ini,” sambung Celine lirih. “Aku juga tidak kuat.”
Rama mendekati mereka, menarik dua napas panjang tanpa bersuara sebelum berkata, “Jika kalian terus menahan diri, kalian tidak akan pernah siap menghadapi apapun yang mungkin terjadi selanjutnya. Menangis itu bukan tanda lemah. Itu tanda kalian mencintai dia.”
Kata-kata itu menusuk Celine dan Dicky. Bukan karena salah tapi karena terlalu benar.
“Sudahlah,” Celine mengerjap cepat, menepis air mata di pipi. “Ayo rapikan meja makan. Nanti Shinee datang dan melihat kita semua berantakan begini, dia bisa tambah stres.”
Rama dan Dicky mengangguk. Perlahan mereka bertiga mulai membersihkan meja. Tidak ada percakapan lagi, hanya suara piring dan gelas. Tapi setiap orang memikirkan hal yang sama bahwa malam ini adalah peringatan, bahwa apa pun bisa terjadi setelah ini.
Di kamar, Shinee baru saja selesai menutup selimut di sisi kiri Laura saat tubuh sang istri kembali menggigil. Laura memegang tangan Shinee kuat-kuat, seolah takut pria itu akan menghilang jika ia melepaskannya.
“Jangan pergi, tetap di sini,” pinta Laura lirih.
Shinee menatapnya, sendu. “Aku tidak akan ke mana-mana.”
Dia berbaring di sisi Laura, memeluknya dari belakang. Memastikan tubuh yang lemah ini hangat, aman, dan merasa dicintai. Satu tangan menyelimuti pinggang Laura, sementara tangan lainnya memegang erat jari-jarinya.
“Tidurlah,” bisiknya lembut di telinga sang istri. “Aku juga akan tidur.”
Laura coba memejamkan mata, beberapa saat lalu Shinee telah menghubungi dokter Richard dan besok Laura akan kembali menjalani pengobatan. Mulai saat ini pengobatannya memang tak akan berhenti.
Pelukan hangat Shinee membuat Laura lebih cepat terlelap, berbeda dengan Shinee yang justru begitu sulit memejamkan matanya. Shinee malah berulang kali memperhatikan Laura, memastikan bahwa sang istri benar-benar tidur dengan nyenyak.
Entah pada jam berapa akhirnya Shinee bisa tertidur. Saat membuka mata di pagi hari, semuanya terasa seperti dimulai dari awal.
Laura kembali menjalani pengobatan microwave ablation, namun lagi-lagi hasilnya tak sesuai yang diharapkan. Di bulan kedua akhirnya Laura menjalani kemoterapi.
Bukan ketiga Laura memutuskan untuk memotong rambutnya pendek.
"Aku yang akan memotong rambut mu," ucap Shinee dengan tersenyum.
"Memangnya bisa? Lebih baik kita ke salon saja."
"Apa yang tidak bisa aku lakukan? Aku ahli dalam segala hal," balas Shinee dengan sombongnya.
Celine terkekeh, "Aku bagian dokumentasi," ucapnya lalu mengambil foto kebersamaan mereka semua.
Rama sudah kembali ke Servo, sementara Dicky selalu menyendiri.
Tante kucing cerewet jangan di apa2in papa shineeeeee😆😆😆
haru dan bahagia ...
Shinee kamu beneran tulusss ya , dan walau kamu kesepian tpi ttp masih menerima Laura tanpa syarat apapun. so sweet bangettt 😍