#Mertua Julid
Amelia, putri seorang konglomerat, memilih mengikuti kata hatinya dengan menekuni pertanian, hal yang sangat ditentang sang ayah.
Penolakan Amelia terhadap perjodohan yang diatur ayahnya memicu kemarahan sang ayah hingga menantangnya untuk hidup mandiri tanpa embel-embel kekayaan keluarga.
Amelia menerima tantangan itu dan memilih meninggalkan gemerlap dunia mewahnya. Terlunta-lunta tanpa arah, Amelia akhirnya mencari perlindungan pada mantan pengasuhnya di sebuah desa.
Di tengah kesederhanaan desa, Amelia menemukan cinta pada seorang pemuda yang menjadi kepala desa. Namun, kebahagiaannya terancam karena keluarga sang kepala desa yang menganggapnya rendah karena mengira dirinya hanya anak seorang pembantu.
Bagaimanakah Amelia menyikapi semua itu?
Ataukah dia akhirnya melepas impian untuk bersama sang kekasih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20. Keributan di pasar
.
Minggu pagi di pasar yang tak jauh dari desa Karangsono terasa begitu ramai dan hidup. Para pedagang menjajakan dagangannya dengan suara lantang, menawarkan berbagai macam kebutuhan sehari-hari. Para pembeli berdesakan mencari barang-barang yang mereka butuhkan. Aroma rempah dan sayuran segar bercampur dengan aroma jajanan pasar, juga amis bau ikan menciptakan suasana yang khas.
Amelia, dengan mengenakan kaos sederhana dan celana panjang, menyusuri lorong-lorong pasar yang padat. Ia memegang keranjang anyaman yang mulai terisi dengan beberapa belanjaan dan bumbu dapur. Di sampingnya, Bu Sukma sibuk menawar harga bawang merah dan bawang putih kepada seorang pedagang.
Amelia memilih daging ayam dan ikan dengan teliti. Memastikan semua segar dan berkualitas. Suasana pasar yang ramai dan bising tidak terlalu mengganggu Amelia. Ia sudah mulai terbiasa dengan suasana seperti ini.
Tiba-tiba, langkah Amelia terhenti. Ia merasakan aura yang tidak menyenangkan di dekatnya. Ia mengangkat wajahnya dan melihat Bu Sundari berdiri di hadapannya, dengan tatapan mata yang penuh kebencian.
Sejak pertemuan pertama setelah Raka menjadi kepala desa, Bu Sundari selalu mencari kesempatan untuk mengintimidasi Amelia di depan orang banyak. Ia tidak suka melihat Amelia dekat dengan Raka. Karena ia sudah memiliki rencana sendiri untuk Raka.
"Oh, sii mantan pembantu, ternyata," ucap Bu Sundari, dengan nada sinis. "Pantas saja, aku mencium aroma kemiskinan. Perempuan tidak tahu diri. Berani sekali mengejar-ngejar Raka yang seorang kepala desa."
Safitri, yang berdiri di samping Bu Sundari, memasang wajah prihatin. Ia mendekati Bu Sundari dan menarik lengannya pelan.
"Bulik, jangan bicara seperti itu," ucap Safitri dengan lemah lembut. “Walaupun cuma mantan pembantu, Mbak Amel gasis yang baik, kok."
Safitri berbicara dengan nada yang begitu baik dan tulus, seakan-akan dia adalah gadis yang sangat penyayang dan pengertian. Padahal, dalam hatinya, ia merasa senang karena Bu Sundari tidak menyukai Amelia. Dengan begitu, jalan untuk menjadi pendamping Raka semakin terbuka lebar. Amelia adalah saingan terberat yang harus ia singkirkan, karena ia juga sering mendengar cerita keakraban Raka dengan Amelia.
Bu Sundari semakin menyukai sikap Safitri yang baginya terlalu baik. Ia menarik gadis itu mendekat dan melingkarkan tangannya di belakang pundak Safitri.
"Ini, lihat," ucap Bu Sundari, sambil menatap remeh ke arah Amelia. "Seperti inilah gadis yang cocok untuk Raka. Bukan seorang pembantu seperti dirimu."
Bu Sundari sengaja mengucapkan kata-kata itu dengan nada yang keras, berharap bisa memancing kemarahan Amelia. Ia ingin melihat Amelia terpancing emosi dan melakukan tindakan bodoh.
Namun, sayangnya, Amelia masih tetap diam. Ia seolah tidak peduli dan tidak terpengaruh oleh kata-kata Bu Sundari. Ia tetap tenang dan fokus pada sayuran yang sedang dipilihnya. Justru para pembeli lain lah yang terpancing hingga kemudian berkerumun melihat keributan itu.
Bu Sukma, yang mendengar perkataan Bu Sundari, merasa geram. Ia ingin membalas setiap perkataan pedas wanita itu. Namun, Amelia menggenggam tangannya erat dan menggelengkan kepala, memberi isyarat untuk menahan diri.
Safitri yang melihat emosi Bu Sundari, kembali menyela. Menjaga image-nya sebagai gadis yang baik, sekaligus semakin menyulut kebencian Sundari atas Amelia.
"Sebenarnya, Amelia juga sudah menjadi salah satu perangkat desa, Bulik," ucap Safitri. "Ya, walaupun belum resmi, sih."
Bu Sundari memicingkan matanya. "Oh ya? Benarkah?" tanyanya, dengan nada tidak percaya.
"Iya Bulik," jawab Safitri. "Dia direkomendasikan oleh Mas Raka."
Safitri sengaja mengucapkan kata-kata itu untuk memanasi hati Bu Sundari. Menyiram bensin di atas bara api.
Dan benar saja. Wushh… api berkobar.
Bu Sundari mengepalkan tangannya erat. Wajahnya memerah padam karena amarah. Bagaimana bisa Raka malah merekomendasikan Amelia menjadi perangkat desa.
"Dasar gadis tidak tahu malu!" desis Bu Sundari penuh kebencian. "Guna-guna apa yang kamu pakai untuk menjerat putraku?"
Bu Sundari melangkah mendekat ke arah Amelia, dengan tatapan mata yang penuh amarah. Ia hendak menjambak rambut Amelia.
Namun Amelia dengan sigap mencekal tangannya. Gadis yang sejak tadi hanya diam dan fokus dengan belanjaan itu, mencengkeram pergelangan tangan Bu Sundari dengan erat hingga wanita itu meringis kesakitan.
Kerumunan yang tadinya merasa takut akan terjadi sesuatu pada Amelia, kini terbelalak. Bahkan Safitri tidak menyangka Amelia akan berani melawan.
“Gadis brengsek! Lepaskan tangan kotormu!" teriak Bu Sundari.
"Sejak tadi saya hanya diam meskipun Anda terus berteriak. Tahu tidak, mulut Anda itu bau!" Amelia mengipas-ngipaskan tangannya di depan hidung.
Suasana menjadi riuh. Orang-orang yang tadi merasa tegang kini saling berbisik dan menahan tawa.
"Dasar gadis kurang ajar! Tidak tahu sopan santun! Aku tidak akan pernah membiarkan kamu mendekati Raka!” Bu Sundari terus mencoba melepas tangannya dari cengkeraman Amelia, namun gagal.
“Mbak, jangan seperti itu, Mbak Amel. Bulik Sundari ini termasuk orang tua. Tidak baik memperlakukan beliau seperti itu." Safitri berbicara dengan suara yang mendayu-dayu.
"Saya akan bersikap sopan di depan orang yang layak untuk dihormati. Tapi Anda tidak termasuk dalam kriteria itu," ucap Amelia, dengan nada yang tegas. Tatapan matanya tetap datar. Ia bahkan tak mempedulikan kata-kata Safitri.
"Dan apa kata Anda tadi? Saya mengejar Mas Raka? Helloo… Anda tidak bisa cari informasi dengan benar, ya? Kroscek dong, siapa yang mengejar siapa. Jangan asal nyablak!” ucapnya kemudian menghempaskan tangan Bu Sundari, membuat wanita paruh baya dengan penampilan menor itu sedikit terhuyung.
"Kamu mau bilang kalau Raka yang ngejar kamu? Omong kosong!" balas Bu Sundari, dengan nada sinis. "Mana mungkin Raka tertarik dengan pembantu sepertimu, kalau bukan kamu kasih guna-guna!"
"Ya kenyataannya , saya memang cantik dan mempesona, gimana dong?” Amelia bergerak mengibaskan rambut panjangnya kayaknya iklan shampoo Emeron.
Bu Sundari semakin kesal dibuatnya. Tak hanya Bu Sundari, Safitri juga kesal melihat kepercayaan Amelia. Tapi, gadis itu tak bisa menyangkal. Amelia memang sangat cantik. Kulitnya putih mulus, hidung mancung, bibir merah merona. Ia yang perempuan saja merasa iri.
"Jangan pernah mencoba mengusik saya lagi, karena saya bukan orang yang akan diam menunduk jika ditindas!"
Amelia berbalik dan berjalan meninggalkan Bu Sundari dan Safitri. Bu Sukma mengikuti Amelia dari belakang, dengan senyum di bibir. Ia merasa puas melihat Bu Sundari yang kehabisan kata.
Bu Sundari menatap punggung Amelia dengan tatapan penuh kebencian. Ia bersumpah, ia akan melakukan apapun untuk menyingkirkan Amelia dari kehidupan Raka. Pokoknya, calon istri Raka hanya boleh Safitri. Dengan begitu dia bisa meraih keuntungan tersendiri.
"Awas kamu, Amelia," desis Bu Sundari dalam hati. "Kamu akan menyesal karena berani melawanku!”
Safitri, yang sedari tadi hanya diam, mendekati Bu Sundari. Ia mengusap-usap punggung wanita itu dengan lembut.
"Sudah Bulik, jangan terlalu dipikirkan," ucap Safitri dengan nada menenangkan. "Mungkin Mas Raka hanya kasihan pada Amelia.”
Bu Sundari menatap Safitri dengan tatapan lembut. “Fitri, kamu itu terlalu baik."
bentar lagi nanam padi jg 🥰