SINOPSIS
Laura Christina telah menyimpan perasaan pada Julian Mahardika sejak mereka kuliah—sepuluh tahun yang terasa seperti selamanya. Julian, pria yang membangun tembok tinggi di sekitar hatinya setelah tragedi masa lalu, tidak pernah menyadari cinta diam-diam Laura. Ketika kehidupan membawa mereka kembali bersama dalam proyek berbahaya yang melibatkan konspirasi, pengkhianatan, dan ancaman maut, Laura harus memilih: tetap bersembunyi di balik senyumnya atau mengambil risiko kehilangan segalanya—termasuk nyawanya—untuk pria yang bahkan tidak tahu dia ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 11: SEGITIGA YANG MENYAKITKAN
Tiga hari berlalu sejak kunjungan Julian ke apartemen Laura. Tiga hari Laura mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi malam itu. Kata-kata Julian terus berputar di kepalanya seperti rekaman yang diulang tanpa henti.
"Hati saya sudah mulai bergerak ke arah lain."
Apa maksudnya? Apakah dia berbicara tentang Laura? Atau apakah Laura hanya terlalu berharap, lagi?
Laura sudah pulih dari sakitnya dan kembali bekerja. Tapi suasana antara dia dan Julian berubah—ada ketegangan baru, awareness baru yang membuat setiap interaksi terasa lebih intens.
Senin sore, Laura sedang mereview dokumen di kantornya saat ponselnya berdering. Felix.
"Halo?" Laura menjawab dengan heran. Dia belum menyimpan nomor Felix, tapi nama pria itu muncul di layar—pasti Julian yang membagikan kontaknya.
"Laura! Akhirnya! Aku sudah coba hubungi dari tadi siang tapi sepertinya kamu sibuk." Suara Felix ceria seperti biasa. "Bagaimana keadaanmu? Sudah sehat?"
"Sudah, terima kasih. Maaf, tadi meeting seharian jadi ponsel mode silent."
"Syukurlah. Dengar, aku tahu ini mendadak, tapi malam ini kamu ada acara? Aku ingin ajak makan malam."
Laura terdiam, bingung. "Makan malam? Kenapa?"
"Karena aku ingin berkenalan lebih jauh dengan partner bisnis sahabatku," jawab Felix ringan. "Dan juga karena aku jarang punya kesempatan ngobrol dengan orang yang bisa bikin Julian segitu... perhatian."
Laura merasakan pipinya memanas. "Aku tidak—maksudku, kami hanya—"
"Iya, iya, profesional. Aku tahu," potong Felix dengan nada menggoda. "Tapi tetap saja, ayo makan malam. Anggap saja sebagai ucapan terima kasih karena kamu sudah kerja keras untuk proyek Julian. Jam tujuh, di The Garden Cafe, Senopati. Aku yang traktir."
Sebelum Laura bisa menolak, Felix sudah menutup telepon.
Laura menatap ponselnya dengan perasaan campur aduk. Makan malam dengan Felix? Apakah itu pantas? Apakah Julian tahu?
Tapi kemudian Laura berpikir: kenapa dia harus minta izin Julian? Mereka bukan apa-apa. Hanya partner bisnis. Julian bahkan masih belum jelas dengan Maudy.
Jadi malam itu, jam tujuh kurang lima, Laura tiba di The Garden Cafe—restoran dengan konsep semi outdoor yang nyaman dan romantis. Felix sudah menunggu di meja dekat taman kecil dengan fountain, melambaikan tangan dengan senyum lebar.
"Tepat waktu! Aku suka itu," ujar Felix saat Laura duduk. "Pesan apa? Menu pasta-nya enak di sini."
Mereka memesan makanan dan mulai mengobrol. Felix ternyata sangat mudah diajak bicara—dia punya cerita-cerita lucu tentang pekerjaannya di rumah sakit, tentang pasien-pasien yang menggemaskan, tentang betapa kacaunya shift malam.
Laura menemukan dirinya tertawa—tertawa tulus untuk pertama kalinya sejak berminggu-minggu. Ada sesuatu yang menenangkan tentang Felix. Dia tidak membuat Laura nervous seperti Julian. Tidak ada beban, tidak ada perasaan rumit.
"Kamu tahu," ujar Felix di tengah makan. "Julian bilang kamu orang yang serius dan profesional. Tapi menurutku kamu juga punya sisi fun yang dia belum lihat."
"Mungkin karena di depan Pak Julian aku harus profesional," jawab Laura. "Beda kalau di depan teman."
"Teman?" Felix tersenyum. "Jadi kita teman sekarang?"
"Bukankah itu tujuan makan malam ini?"
"Touché." Felix tertawa. "Aku senang. Julian butuh orang-orang seperti kamu di sekitarnya. Orang yang genuine, yang peduli. Dia sudah terlalu lama dikelilingi tembok-tembok tinggi."
Laura menatap Felix dengan serius. "Kamu sahabatnya. Kamu pasti tahu tentang... Maudy?"
Ekspresi Felix berubah—senyumnya memudar sedikit. "Aku tahu. Aku ada saat Maudy pergi lima tahun lalu. Aku yang bantu Julian melewati masa-masa tergelapnya."
"Apakah... apakah mereka akan kembali bersama?"
Felix diam sejenak, menatap Laura dengan tatapan yang penuh empati. "Kamu suka Julian, ya?"
Laura tersentak. "Aku—aku tidak—"
"Tidak apa-apa," potong Felix lembut. "Aku bisa lihat. Cara kamu menatapnya. Cara kamu peduli saat dia kelelahan. Cara wajahmu berubah saat aku sebut nama Maudy."
Laura menunduk, tidak bisa membantah.
"Untuk menjawab pertanyaanmu," lanjut Felix. "Aku tidak tahu apakah mereka akan kembali bersama. Tapi yang aku tahu, Julian tidak bahagia saat bersama Maudy sekarang. Dia... bingung. Antara masa lalu yang belum tuntas dan sesuatu yang baru yang dia tidak mengerti."
"Sesuatu yang baru?"
"Kamu, Laura. Kamu itu sesuatu yang baru."
Sebelum Laura bisa merespons, ponsel Felix berdering. Dia mengangkat, ekspresinya langsung berubah serius.
"Julian? Tenang, apa yang—okay, aku di The Garden Cafe, kenapa—tunggu, kamu mau ke sini sekarang?"
Laura menegang. Julian akan ke sini?
Felix menutup telepon dengan ekspresi bingung. "Julian tahu aku di sini denganmu. Entah bagaimana. Dan dia... dia terdengar tidak senang."
Lima belas menit kemudian, Julian muncul di restoran. Dia masih mengenakan kemeja kerja, tapi terlihat kusut dan sedikit berantakan—sangat tidak seperti Julian yang biasanya rapi.
Matanya langsung menemukan meja Laura dan Felix. Dan ekspresinya—Laura tidak pernah melihat Julian seperti itu. Marah. Terluka. Bingung.
"Julian, hey—" Felix berdiri, mencoba menyambut.
"Kenapa kamu tidak bilang kamu akan bawa Laura makan malam?" potong Julian, suaranya rendah tapi penuh ketegangan.
"Karena aku tidak tahu aku harus laporan padamu?" Felix menaikkan alis. "Sejak kapan aku harus minta izin untuk berteman dengan seseorang?"
"Ini bukan tentang berteman—"
"Lalu tentang apa?" Felix melipat tangannya di dada. "Julian, seriously, kenapa kamu se-upset ini?"
Julian menatap Laura—tatapan yang membuat napas Laura tercekat. Ada sesuatu di mata itu. Kecemburuan? Ketakutan?
"Pak Julian," Laura bersuara, berusaha menenangkan situasi. "Felix hanya mengajak makan malam sebagai teman. Tidak ada—"
"Aku tahu," potong Julian, tapi suaranya masih tegang. "Aku tahu Felix tidak punya maksud apa-apa. Tapi aku—" dia berhenti, tangannya menarik rambutnya dengan frustasi. "Aku tidak bisa explain kenapa melihat kalian berdua di sini membuat aku..."
"Jealous?" Felix menyelesaikan kalimat dengan nada menggoda meski situasi sedang tegang.
Julian menatap tajam sahabatnya. "Felix—"
"Bro, duduk. Ayo kita bicara seperti orang dewasa." Felix menunjuk kursi kosong di meja mereka.
Tapi Julian menggeleng. "Tidak. Aku seharusnya tidak datang ke sini. Maaf mengganggu makan malam kalian."
Dia berbalik akan pergi.
"Julian!" Laura berdiri, tanpa berpikir. "Tunggu!"
Julian berhenti, tidak menoleh.
"Kenapa kamu datang ke sini?" tanya Laura, suaranya bergetar. "Jika kamu hanya mau pergi lagi, kenapa repot-repot datang?"
Hening. Seluruh restoran seolah menahan napas.
Perlahan, Julian berbalik. Dan ekspresi di wajahnya membuat hati Laura sakit—dia terlihat seperti pria yang sedang berperang dengan dirinya sendiri.
"Karena saat Felix bilang dia sedang makan malam denganmu," ujar Julian pelan, tapi cukup jelas untuk Laura dengar. "Satu-satunya yang aku rasakan adalah panic. Panic bahwa aku sudah terlambat. Bahwa orang lain akan lihat apa yang aku baru sadari."
"Dan apa yang kamu baru sadari?" bisik Laura.
Julian melangkah lebih dekat. Mereka sekarang berdiri hanya beberapa langkah terpisah, mengabaikan Felix yang duduk dengan senyum geli di wajahnya.
"Bahwa aku tidak ingin orang lain mengajakmu makan malam," jawab Julian. "Bahwa aku ingin jadi satu-satunya yang membuat kamu tersenyum seperti tadi. Bahwa aku—"
Ponsel Julian berdering keras, memecah moment. Dia melirik layar, dan ekspresinya mengeras.
"Maudy," gumamnya.
Dan seperti itu, realita kembali menghantam. Laura merasakan dadanya sesak. Julian mungkin cemburu, mungkin peduli, tapi dia masih terikat dengan masa lalunya.
"Angkat saja," ujar Laura, suaranya lebih dingin sekarang. "Dia pasti mencarimu."
Julian menatap Laura, konflik jelas di matanya. Ponselnya terus berdering.
Akhirnya, dengan ekspresi frustrated, Julian mengangkat. "Maudy, ini bukan waktu yang—apa? Sekarang? Tapi aku—baiklah. Aku akan ke sana."
Dia menutup telepon dan menatap Laura dengan ekspresi menyesal. "Laura, aku—"
"Pergi saja," potong Laura, memaksa senyum yang tidak mencapai matanya. "Dia butuh kamu."
"Laura—"
"Pak Julian, sudah malam. Kamu harus pergi."
Julian berdiri di sana sejenak lebih lama, seolah ingin mengatakan sesuatu. Tapi akhirnya dia hanya mengangguk, menatap Felix dengan tatapan yang sulit dibaca, lalu pergi.
Laura duduk kembali, merasakan seluruh energinya terkuras. Felix menatapnya dengan prihatin.
"Maafkan aku," ujar Felix pelan. "Aku tidak tahu dia akan react seperti itu."
"Bukan salahmu," jawab Laura, suaranya datar. "Ini... ini rumit."
"Kamu tahu apa masalahnya?" Felix bersandar di kursinya. "Julian takut. Dia takut merasa lagi karena terakhir kali dia merasa, dia hancur. Tapi juga, dia tidak bisa berhenti merasa saat bersamamu. Jadi dia застряла di tengah."
"Dan aku?" bisik Laura. "Aku harus bagaimana? Menunggu sampai dia selesai dengan masa lalunya? Menunggu sampai dia siap? Berapa lama aku harus menunggu, Felix?"
Felix tidak punya jawaban. Karena tidak ada jawaban yang mudah untuk situasi seperti ini.
Mereka menyelesaikan makan malam dalam keheningan yang tidak nyaman. Dan saat Felix mengantarkan Laura ke mobilnya, dia berkata, "Julian bodoh jika dia kehilangan kamu. Tapi aku juga tahu dia sedang berusaha. Beri dia waktu sedikit lagi."
Tapi Laura sudah memberi waktu sepuluh tahun. Berapa lama lagi dia harus menunggu?