Setelah mati tertembak, Ratu Mafia yang terkenal kejam, dan tidak memiliki belas kasihan. Tamara sang Ratu Mafia, mendapati dirinya bertransmigrasi ke dalam tubuh seorang antagonis novel roman picisan bernama sama.
Harus menjalani pernikahan paksa dengan Reifan Adhitama, CEO berhati dingin dan ketua mafia yang tampan, dan juga terkenal kejam dan dingin. Duda Anak dua, yang ditakdirkan untuk jatuh ke pelukan wanita licik berkedok polos, Santi.
Dengan kecerdasan dan kemampuan tempur luar biasa yang masih melekat, Tamara yang baru ini punya satu misi. Hancurkan alur novel!
Tamara harus mengubah nasib tragis si antagonis, membuktikan dirinya bukan wanita lemah, dan membongkar kepalsuan Santi sebelum Reifan Adhitama terlena.
Mampukah sang Ratu Mafia menaklukkan pernikahan yang rumit, mertua yang membenci, serta dua anak tiri yang skeptis, sambil merancang strategi untuk mempertahankan singgasananya di hati sang Don?
Siapa bilang antagonis tak bisa jadi pemeran utama?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon hofi03, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KEDIAMAN ADHITAMA
Tak lama kemudian, gerbang besi hitam kompleks Kediaman Adhitama yang megah sudah terlihat. Tamara mengurangi kecepatan dan membelokkan mobil dengan anggun, memasuki area gerbang.
Saat gerbang terbuka, Robert segera membuka matanya, mengambil napas dalam-dalam, dan berusaha keras mengembalikan wajah kakunya. Pria itu tampak sangat lega, seolah baru saja lolos dari jurang kematian.
"Kau bisa bernapas sekarang, Robert. Kita sudah sampai," ucap Tamara, mematikan mesin.
Robert, meskipun masih sedikit gemetar, berdeham keras. Ia berusaha berbicara dengan nada datar profesionalnya.
"Terima kasih Nyonya. Mohon maaf atas reaksi saya di dalam mobil tadi," ucap Robert.
"Tidak masalah, Robert. Itu hanya sebuah ujian kecil. Sekarang, mari kita temui anak-anak," jawab Tamara, melirik gerbang utama rumah megah itu, senyum penuh perhitungan muncul lagi di wajahnya.
Tamara membuka pintu dan keluar dari Lamborghini, meninggalkan Robert yang masih mencoba menormalkan detak jantungnya.
Di depan pintu masuk Tamara di sambut oleh kepala pelayan dan langsung dibawa ke ruang keluarga, di mana Azka (8 tahun) sedang membaca buku tebal dengan wajah dingin, dan Alvero (6 tahun) bermain mobil-mobilan di lantai, dengan wajah defensif. Mereka duduk berjarak, seolah sengaja menghindari kontak.
Saat Tamara masuk, suasana terasa dingin. Robert membungkuk, lalu segera meninggalkan ruangan, membiarkan Tamara menghadapi benteng itu sendirian.
"Selamat pagi, Tuan Muda," sapa Tamara dengan suara yang lembut namun tegas, tidak manja, tidak menakutkan.
Azka hanya mengangkat matanya sekilas dari bukunya, lalu kembali ke halaman itu, mengabaikan Tamara sepenuhnya. Alvero hanya menahan mobil mainannya, tidak berani melihat ke atas.
Tamara berjalan perlahan, tidak mendekati mereka, melainkan menuju perapian yang dimatikan. Di sana, diletakkan kotak hadiah yang ia kirim semalam.
"Aku harap kalian menyukai hadiah itu," ucap Tamara, berbicara kepada mereka tanpa memaksa.
"Sampah. Kami tidak butuh suap dari wanita yang akan berteriak pada kami besok," ucap Azka akhirnya berbicara, suaranya dingin, khas anak yang cerdas namun terasing.
Tamara tidak tersinggung. Ia malah tersenyum.
"Kau benar Tamara yang lama memang akan berteriak. Tapi aku? Aku tidak suka membuang energiku," jawab Tamara, santai.
Tamara mengambil kotak Azka yang berisi permainan strategi militer antik.
"Aku melihat ini adalah replika Papan Strategi Perang Dingin tahun 1962. Kau tahu aturan mainnya?" tanya Tamara, tatapannya beralih ke Azka, menantang intelektualitasnya.
Azka terkejut. Tidak ada yang pernah menganggap serius permainan strategi ini.
"Tentu saja aku tahu," jawab Azka, sedikit defensif.
"Bagus. Kalau begitu, Azka. Beri tahu aku, apa kelemahan pertahanan Amerika saat itu, dan kenapa Khrushchev tidak meluncurkan serangan balasan?" tanya Tamara, mulai masuk ke dunia anak tirinya.
Mendengar pertanyaan dari Tamara, wajah Azka langsung berubah, mata dinginnya kini berbinar, pria kecil itu langsung beranjak dari sofa dan berjalan ke dekat Tamara.
"Itu bukan tentang serangan balasan! Itu tentang ilusi diplomasi. Kelemahan Amerika adalah, mereka terlalu fokus pada Cuban Missiles sehingga mengabaikan," jawab Azka, semangat.
"Tepat. Blind spot. Dalam perang, yang terlihat berisik adalah umpan. Yang diam adalah ancaman sesungguhnya," ucap Tamara mengangguk.
Azka menatap Tamara dengan pandangan baru, seorang wanita yang setara secara intelektual.
Sementara percakapan itu berlangsung, Alvero yang tadinya menunduk, perlahan menggeser mobil mainannya ke dekat kakinya. Dia melihat mobil mainannya yang sudah dipasang peluru titanium, lalu menatap Tamara.
"Kenapa mobilku punya peluru? Ayahku bilang itu hanya mainan biasa," tanya Alvero, suaranya kecil dan penuh ketakutan.
Tamara berjongkok perlahan di depan Alvero, menjauhkan tangannya agar tidak menyentuh anak itu.
"Ini bukan peluru sungguhan, Alvero," jawab Tamara, lembut.
"Ini untuk perlindungan. Di dunia ini, kau tidak bisa hanya bermain, kau harus melindungi apa yang kau sayangi. Dan mobil ini," ucap Tamara mengambil mobil mainan itu, memutarnya.
"Mobil ini istimewa. Itu anti peluru yang sebenarnya. Aku memberikannya padamu karena aku ingin kau tahu, mulai sekarang, kau tidak perlu takut," lanjut Tamara, menjelaskan dengan suara yang cukup lembut.
"Aku tidak akan berteriak. Aku tidak akan melukaimu. Aku akan melindungi kalian berdua. Karena di rumah ini, kita harus saling melindungi. Aku janji," ucap Tamara, menatap mata Alvero.
Alvero menatap Tamara. Insting pertahanannya, yang selalu dilatih oleh ayahnya, mengatakan bahwa wanita ini berbahaya. Tapi matanya, mata itu memancarkan otoritas, tetapi juga janji perlindungan yang belum pernah ia dengar dari siapa pun.
"Tapi kata Ayah, Ibu Tiri itu jahat," bisik Alvero, dengan suara pelan.
"Ayahmu benar. Aku jahat. Aku jahat pada orang yang menyakitiku. Tapi aku tidak akan jahat pada kalian. Karena kalian adalah blind spot Ayahmu. Dan aku adalah penjaganya," jawab Tamara tersenyum miring.
Azka, yang mendengarkan, kini menatap Tamara dengan lebih dari sekadar rasa ingin tahu, ada sedikit rasa hormat dan aliansi yang samar-samar. Mereka telah bertemu dengan seseorang yang berbicara dalam bahasa mereka: strategi dan pertahanan.
🌼🌼🌼
Kepala Robert masih terasa sedikit pusing saat dia melangkah cepat ke ruang kerja Reifan, untuk memberikan laporan bahwa calon istri Tuan nya itu sudah tiba di kediaman Adhitama
Wajah Robert meskipun telah dipaksakan kembali ke mode datar dan kaku, masih memperlihatkan rona pucat yang tipis, sebuah anomali yang jarang terjadi pada dirinya.
Reifan sedang berdiri di depan jendela besar, memegang secangkir kopi, tampak tenang dan berpikir. Ia menoleh saat Robert masuk.
"Bagaimana perjalanannya, Robert? Apakah Calon Nyonya Adhitama sudah tiba?" tanya Reifan dengan nada santai, sorot matanya yang tajam menelisik ekspresi Robert.
"Sudah, Tuan. Nyonya Tamara sudah tiba di kediaman. Beliau sedang menuju ruang tengah untuk bertemu Tuan Muda Azka dan Alvero," jawab Robert membungkuk sedikit.
"Bagus," ucap Reifan menyesap kopinya.
"Sekarang, berikan laporannya. Detail, Robert. Bagaimana interaksinya denganmu?" tanya Reifan.
Robert menegakkan tubuh, mengumpulkan semua profesionalitasnya. Namun, nada suaranya sedikit berbeda dari biasanya, ada getaran samar yang menunjukkan bahwa ia baru saja melalui pengalaman traumatis.
"Tuan, Nyonya Tamara menunjukkan manuver yang tidak terduga. Setelah kami berada di lobi, Nyonya meminta kunci mobil, ketika saya menolak dengan sopan, beliau mengambilnya dari saku saya dengan kecepatan yang mengagumkan, Tuan. Sebuah gerakan yang sangat terlatih," jawab Robert, mulai menceritakan tentang Tamara, pagi ini.
"Dia yang mengemudi? Lamborghini-ku?" tanya Reifan mengangkat alisnya, tertarik.
"Benar, Tuan," jawab Robert, menelan ludah.
"Dan di situlah, anomali terjadi-" ucap Robert menarik napas, seolah ia harus mengumpulkan keberanian untuk melanjutkan.
"Tuan, perjalanan dari hotel ke kediaman kita hari ini, adalah perjalanan terburuk dalam karir saya. Nyonya Tamara mengemudi dengan kecepatan yang jauh melampaui batas yang aman, Tuan," ucap Robert, menahan nafas nya.