Dilarang plagiat, tambal sulam, atau sejenisnya. Jangan mengambil hak orang lain demi keuntungan sendiri. Ingat Azab.
~~~~
Jangan menyalahkan apa yang terjadi pada dirimu, karena di balik apa yang menimpa dirimu, akan ada keindahan yang menantimu.
Olivia Shea begitu bahagia saat dirinya di terima berkerja di Maxton Company. Impian mengubah hidupnya mengantarkannya pada kehidupan baru.
Regan Alvaro Maxton-CEO Maxton Company, meminta Shea mengantarkan berkas yang Shea lupakan, ke Adion Company.
Berniat mengantarkan berkas ke Adion Company menjadikan dirinya, menjadi korban salah sasaran. Bryan Adion-CEO Adion Company, yang mengira Shea adalah wanita yang di kirim asistennya, membuatnya memperkosa Shea.
Regan yang mengetahui bahwa Bryan-adik iparnya memperkosa sekertarisnya, hingga hamil, membuat Regan meminta Bryan untuk menikahi Shea.
Bagaimana kelanjutan kisah mereka?
~~~
Follow IG Myafa16
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon myafa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Satu, dua, tiga.... delapan.
Shea melanjutkan makannya. Dan buru-buru menghabiskan makanannya. Karena dia ingin segera melanjutkan perkerjaanya.
Menyelesaikan makannya, Shea langsung meraih ponselnya. Shea membuka mobile banking miliknya, untuk mengecek uang yang di transfer oleh Bryan.
Saat membuka mobile banking miliknya, Shea membulatkan matanya sempurna saat melihat angka yang berjajar rapi di dalam rekeningnya.
Mengerjap-ngerjapkan matanya, Shea memastikan, jika yang di lihatnya tidaklah salah. "Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan." Shea menghitung angka nol yang terdapat dari bukti tansferan yang masuk dalam rekeningnya. "Enam ratus juta?" Shea menelan salivanya melihat jumlah angka yang di transfer oleh Bryan.
Shea benar-benar heran dengan Bryan, yang mengiriminya uang sebanyak itu. "Apa dia membayar biaya uang untuk anaknya di muka?" tanya Shea pada dirinya sendiri.
Pikiran Shea melayang memikirkan apa alasan Bryan mengirimi uang untuk dirinya dengan jumlah yang banyak. "Sebaiknya nanti aku akan tanyakan saja." Shea akhirnya memutuskan untuk menghentikan pikirannya yang menerka-nerka untuk apa Bryan memberinya uang sebanyak itu.
**
Saat jam kerja berakhir Regan keluar dari ruangannyanya.
"Pak," sapa Shea seraya membungkukkan tubuhnya sedikit.
"Kamu belum bersiap pulang?"
"Iya Pak, ini saya juga sedang bersiap pulang," ucap Shea seraya meraih tasnya.
Regan berlalu, meninggalkan Shea menuju ke lift. Berdiri di depan lift, Regan menekan tombol lift. Masuk ke dalam lift, Regan membiarkan pintu terbuka, agar Shea bisa masuk.
Shea yang melihat Regan menunggunya di dalam lift, buru-buru masuk ke dalam lift.
"Pulang bersama Bryan lagi?" tanya Regan membelah keheningan di dalam lift.
Shea langsung menoleh saat mendengar ucapan Regan. "Bapak, tahu saya berangkat dengan Bryan?" Pertanyaan itulah yang pertama kali di ucapkan Shea.
"Iya, tadi sebelum saya masuk saya melihat mobil Bryan di lobby."
Shea mengingat, jika memang tadi Bryan menurunkan dirinya di lobby. Tapi yang menjadi perhatian Shea bukanlah itu, melainkan Regan yang melihatnya. Pikir Shea, jika Regan melihat mobi Bryan, itu artinya jarak kedatangan Regan dan Shea tidak terlampau jauh.
Tapi Shea menyadari, jika tetap saja berbeda. Jika Regan yang terlambat, bukan masalah karena Regan pemilik perusahaan ini. Tapi jika dirinya yang terlambat, pasti jadi masalah karena dirinya adalah karyawan biasa. Dan Regan berhak marah seperti tadi pada dirinya, karena dirinya terlambat.
Kembali pada pertanyaan Regan, Shea berpikir bagaimana jawabannya. Tidak mungkin aku bilang, aku pulang dengan Bryan. Batin Shea menimbang-nimbang jawaban pada Regan.
"Iya, Pak. Saya pulang bersama Bryan." Setelah menimbang Shea memilih menjawab iya. Entah kenapa Shea takut, jika jawabanya tidak, berarti dirinya akan pulang bersama dengan Regan.
"Sepertinya hubunganmu sudah lebih baik."
Shea menampilkan senyumnya sedikit. Rasanya Shea ingin tertawa saat mendengar jika hubungannya dengan Bryan jauh lebih baik. Tadi pagi hanya kebetulan saja bagi Shea, saat Bryan berbaik hati memberi tumpangan.
"Iya, Pak." Dari pada mengelak Shea memilih mengiyakan.
"Bagus, jika begitu. Jadi paling tidak ada yang memperhatikan dirimu saat hamil seperti ini."
Memperhatikan? Kata itu seakan tidak bisa di sambungan dengan Bryan.
"Tapi jangan terlambat lagi. Saya tidak suka orang kamu terlambat."
"Iya, Pak." Shea merasa lucu saat Regan mengatakan, jika tidak suka orang yang terlambat. Padahal dirinya sendiri terlambat. Bos memang bebas. Batin Shea meronta menerima keadaan sebagai karyawan biasa.
Saat lift terbuka, Shea dan Regan keluar dari lift. Melihat ke arah lobby, Regan mencari sosok Bryan. "Bryan belum sampai?" tanya Regan pada Shea.
Shea merasa bingung saat Regan menanyakan Bryan, yang belum menjemputnya.
"Anak itu memang selalu begitu. Coba kamu hubungi dia."
Mendengar ucapan Regan, ragu-ragu Shea mengambil ponselnya. Shea pun mencari nomer Bryan di daftar kontak ponselnya. Rasanya Shea bersyukur, karena tadi Bryan menghubungi dirinya. Karena Shea memang tidak memiliki nomer Bryan sebelumnya.
Menyusap layar ponselnya untuk menghubungi Bryan. Shea pun menunggu Bryan mengangkat sambungan teleponnya. Tapi sepertinya, Regan masih menunggu dirinya yang sedang menghubungi Bryan. Entah apa alasannya, Shea juga tidak tahu.
Cukup lama Shea menunggu akhirnya Bryan mengangkat sambungan teleponnya. "Halo Bryan, kamu dimana? ucap Shea saat sambungan telepon terhubung.
Bryan yang mendapat pertanyaan pun bingung. "Aku di jalan."
"Oh.. sudah arah ke kantorku ya," ucap Shea.
"Untuk apa aku ke kantormu?" tanyanya dengan nada sedikit menyindir.
"Iya, aku akan menunggumu di lobby," ucap Shea. Regan yang sedari tadi mendengarkan Shea yang sedang menghubungi Bryan, pun membuat Shea menjawab seolah Bryan sudah dalam perjalanan menjemputnya.
"Aku bilang apa, kamu jawab apa." Bryan kesal dengan Shea yang tidak jelas menjawab ucapanya.
"Oke Bryan, aku akan menunggumu."
"Hai.. siapa yang mau menjemputmu," ucap Bryan yang kesal saat Shea memutuskan sendiri.
Tanpa memperdulikan ucapan Bryan, Shea mematikan sambungan teleponnya. "Sudah Pak, sebentar lagi Bryan akan sampai."
"Baiklah kalau begitu. Saya duluan." Akhirnya Regan meninggalkan Shea yang sedang menunggu Bryan.
Rasa Shea merasa lega saat Regan sudah pergi. Paling tidak dia tidak harus benar-benar menunggu Bryan seperti yang dia ucapkan dalam sambungan telepon.
Shea menunggu di depan pintu lobby. Matanya dia pasang tajam, untuk melihat apakah mobil Regan sudah pergi. Shea pikir, jika mobil Regan sudah pergi, dia bisa juga pergi. Jadi Regan tidak akan tahu, jika dia berbohong.
Saat melihat mobil Regan sudah berlalu keluar dari kantor, Shea bernapas lega, karena dirinya bisa pulang dengan tenang. Tapi baru saja Shea melangkah keluar dari kantor. Shea mendengar bunyi klakson mobil. Dan saat Shea menoleh, ternyata mobil Bryan lah yang membunyikan klasonnya.
Mata Shea menajam saat melihat mobil mewah milik Bryan. "Untuk apa dia kemari."
Mobil Bryan berhenti tepat di samping Shea. Menurunkan kaca mobilnya, Bryan melihat ke arah Shea.
"Kenapa disini?" tanya Shea yang melihat ke arah Bryan.
"Bukankah kamu memintaku menjemput." Bryan sedikit menaikan dagunya saat bertanya.
Shea mendegus saat Bryan mengira dirinya minta di jemput. Shea tidak berpikir jauh, jika ucapannya akan di anggap serius oleh Bryan. Padahal tadi Shea sudah lega, saat Bryan mengatakan untuk apa dia ke kantornya.
Saat Shea sedang memikirkan ucapan Bryan, terdengar bunyi klakson dari belakang. Tepat di belakang mobil Bryan, ada mobil yang ingin lewat. Dan mau tidak mau Shea harus masuk, karena kalau tidak, mobil Bryan tidak akan bergeser.
Masuk ke dalam mobil Bryan, Shea memasang seatbelt melingkar di tubunya. Bryan langsung menginjak pedal gasnya, dan melajukan mobilnya.
"Kenapa meminta aku menjemput?" tanya Bryan saat perjalanan ke apartemen.
Shea memutar otaknya saat mendapatkan pertanyaan dari Bryan. "Aku.."
"Aku mau menanyakan tentang uang yang kamu transfer." Kalimat itulah yang ada di pikiran Shea. Dirinya tidak mau menceritakan, jika Regan lah alasan Shea menghubungi Bryan.
"Kamu sudah mengeceknya?" Bryan menoleh sebentar pada Shea sebelum kembali pada kemudinya.
"Iya," ucap Shea. "Apa kamu membayar uang untuk anak yang aku kandung juga?"
Bryan terkesiap mendengar ucapan Shea. Pikirnya bagaimana bisa Shea berpikir bahwa itu uang untuk anaknya. "Bukan," ucap Bryan ketus.
"Lalu itu uang apa?" tanya Shea bingung.
"Itu nafkah dariku?"
Shea langsung memutar tubuhnya menghadap ke Bryan. "Nafkah?" tanya Shea memastikan.
Bryan yang melihat Shea memutar tubuhnya, menoleh pada Shea. Tapi Bryan tersentak kaget, saat seatbelt yang melingkar di tubuh Shea tertarik, hingga seatbelt berada di tengah dan membelah dua gundukan milik Shea.
Bryan langsung kembali pada jalanan di depannya. Rasanya dia tidak mau imajinasi liarnya, membayangkan apa yang di lihatnya. "Iya, itu nafkah dariku sebagai suamimu." Bryan berucap tanpa menoleh pada Shea.
"Suami?"
"Apa kamu lupa, jika pernikahan kita resmi secara negara?" tanya Bryan pada Shea.
Shea masih diam, saat Bryan membahas tentang pernikahannya. Rasanya sampai sekarang Shea masih tidak percaya, jika dirinya sudah menikah.
"Dan aku berkewajiban menafkahimu," lanjut Bryan menjelaskan
"Sebanyak itu?" tanya Shea lirih.
"Apa kamu lupa, jika aku seorang CEO. Uang segitu hanya sedikit untukku."
Shea mendegus kesal mendengar Bryan menyombongkan diri. Shea pun memutar tubuhnya, dan menegakkannya.
Bryan yang melihat Shea sudah duduk tegak bernafas lega. Paling tidak ujiannya melihat dua gundukan milik Shea berakhir.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Jangan lupa like🥰