Kehidupan yang semula diharapkan bisa mendatangkan kebahagiaan, rupanya merupakan neraka bagi wanita bernama Utari. Dia merasakan Nikah yang tak indah karena salah memilih pasangan. Lalu apakah Utari akan mendapatkan kebahagiaan yang dia impikan? Bagaimana kisah Utari selanjutnya? simak kisahnya di sini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon emmarisma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Akmal Kabur
Hana melihat ke arah Akmal dan langsung mendengus. Dia duduk di kursi plastik, lalu dengan santai melepaskan sepatunya.
"Bukan urusan kamu, Mas."
"Ini tentu urusan aku, Hana. Kamu itu istri aku. Sudah sepantasnya aku bertanya kemana kamu pergi?"
Hana meletakkan sepatunya di rak. Dia mengangkat kepalanya dan menatap Akmal dengan tatapan remeh.
"Suami? Memang kamu pantas dipanggil Suami? Kamu aja ga ngasih aku nafkah, tapi minta di panggil suami. Ga salah kamu, Mas?"
Hana lantas masuk ke dalam rumah meninggalkan Akmal. Akmal masuk dengan murka. Dia menarik lengan baju Hana dan langsung menamparnya dengan keras.
Hana jatuh terpelanting karena kerasnya tamparan Akmal. "Kamu mukul aku?" tanya Hana dengan wajah tak percaya dan marah. Hana bangkit berdiri dan mencakar lengan Akmal.
"Kamu pikir aku takut sama kamu? Kamu harusnya bersyukur, wanita kaya aku mau sama laki-laki modelan kaya kamu, Mas. Dasar ga tahu diri kamu. Kamu itu cuma mokondo ga tahu diri." Hana berteriak histeris sambil memukuli Akmal. Akmal juga melakukan perlawanan, dia mencoba mencari apapun di sekelilingnya dan tiba-tiba meraih hiasan kayu di meja dan memukul Hana. Yang tidak Akmal sadari, pukulannya tepat mengenai kepala belakang Hana.
Hana seketika jatuh tak sadarkan diri. Akmal mundur dan melemparkan hiasan itu begitu saja. Wajahnya berubah dari merah menjadi putih pucat. Dia lantas mengambil tasnya dan segera pergi. Namun, sialnya beberapa tetangga yang mendengar suara Hana tadi, kini tampak penasaran dan berdiri di dekat rumah Hana.
Akmal berusaha bersikap tenang dan lalu pergi dari sana. Para tetangga saling berpandangan bingung.
"Kok ga ada suaranya lagi, ya, Bu?"
"Jangan jangan mati, Bu?"
"Hush, jangan sembarangan ngomong. Ayo kita coba kita lihat ke dalam." Bu RT memimpin para tetangga Hana untuk mengecek ke rumah Hana.
Saat mereka masuk, mereka langsung disuguhi pemandangan mengerikan. Hana tergeletak di lantai dengan kepala yang bersimbah darah.
"Aargh! Bu RT itu ada darah."
"Salah seorang ibu-ibu berteriak." Bu RT segera keluar memanggil beberapa warga lainnya untuk menolong. Ada yang menelepon ambulans dan ada juga yang langsung masuk ke rumah Hana untuk memeriksa kondisi wanita itu.
"Cepat ini ambulannya mana? Napasnya udah mulai lemah."
Malam itu, di kampung Hana, orang-orang dibuat terus sibuk dengan kasus yang menimpa Hana. Dan entah dari mana, polisi tiba-tiba datang ke tempat itu dan melakukan olah TKP. Mereka bahkan juga menginterogasi beberapa tetangga untuk dijadikan saksi.
Utari sama sekali tidak tahu menahu perihal masalah ini, dia sedang termenung memikirkan kenangan waktu itu. Utari masih terbayang bayang akan kenangan bersama kedua orang tuanya.
Tok! Tok! Tok!
Utari menoleh ke pintu. Dia segera membukanya dan mendapati Bian berdiri di depannya dengan raut wajah berantakan.
"Kamu kenapa, Bi?" tanya Utari khawatir.
"Boleh masuk?" tanya Bian dengan suara lemah. Dia seolah tidak memiliki tenaga untuk berbicara. Utari pun mempersilahkan Bian masuk ke dalam kamarnya. Meski sedikit canggung, tapi Utari yakin Bian tidak akan berbuat macam-macam padanya.
"Kamu kenapa, Bi?" tanya Utari.
Bian menghela napas panjang dan memandangi Utari dengan tatapan yang begitu dalam, "Aku salah, ya, ngajak kamu tadi?"
"Ga, Bi. Kamu ga ada salah apa-apa, kok. Memang kenapa sih?"
"Tari, sehabis kita jalan-jalan tadi kamu merasa diri kamu aneh ga? Tadinya mama mau ngomong sama kamu, dia mau tanya sendiri ke kamu, kamu kenapa? tapi aku merasa lebih punya hak, karena kamu berubah setelah aku ajak pergi tadi."
Utari menunduk dan memilin jarinya. Dia tidak menyangka jika sikapnya tadi sudah membuat semua orang khawatir. Utari merasa tidak terbiasa dengan perhatian perhatian seperti ini. Selama bertahun-tahun sejak orang tuanya meninggal, ia terbiasa menanggung semua sendirian.
Bian mulanya agak ragu, tapi dia memberanikan diri dan menggenggam tangan Utari.
"Tari, please jangan diam saja. Aku perlu tahu alasan kamu kaya tadi. Aku ga mau menjadi penyebab kesedihan kamu," tutur Bian, lembut.
Utari mengangkat wajahnya dan menatap Bian lekat. Melihat ketulusan di mata Bian, Utari tidak lagi segan untuk menangis.
"Aku teringat ayah. Kenapa ayah dan Bunda ninggalin aku secepat ini, Bi?"
Bian menarik tangan Utari dan memeluknya. Dengan lembut Bian mengusap punggung Utari.
"Tari, semuanya ini sudah ketentuan dari Allah. Kita tidak bisa menyalahkan takdir. Kamu masih punya aku dan keluargaku. Kami akan selalu menjadi pendukung kamu."
"Aku rindu ayah dan bunda, Bi."
Keduanya saling berpelukan cukup lama. Karena lelah menangis Utari bahkan sampai ketiduran di pelukan Bian. Bian dengan hati-hati mengangkat Utari dan memindahkannya ke ranjang. Dengan lembut dia mengusap wajah sembab Utari. Sungguh Bian sangat tidak tega melihat Utari menangis.
"Padahal dulu kamu itu kuat, ga pernah cengeng, tapi sekarang kamu cengeng banget. Maaf untuk 8 tahun yang terbuang. Aku janji, Tari, mulai saat ini dan sampai nanti ajal memisahkan kita, aku ga akan pernah biarin kamu menangis sedih."
Bian menatap Tari dengan lembut. Hatinya menghangat melihat Utari tertidur lelap. Saat Bian keluar dari kamar Utari, dia terkejut mendapati Papa, mama dan kakaknya berdiri menunggu dirinya. Bian memegangi dada kirinya.
"Bener bener, ya, kalian."
"Gimana, Bi? Tari kenapa?"
"Kita ke kamar mama dulu aja. Bicara di sana. Aku khawatir Nisa belum tidur dan keluar tiba-tiba."
"Tenang aja, Nisa udah aman, Bi. Cepat katakan. Ada apa dengan Tari?"
"Dia teringat kedua orang tuanya."
Papa Tama menghela napas. "Ini satu-satunya hal yang tidak bisa kita gantikan meski sekuat apapun kita berusaha."
"Papa benar." Mama Sukma juga ikut menghela napas. Tiba-tiba ia merasa sedih mengingat kedua orang tua Utari yang begitu baik.
Pagi harinya, Papa Tama mendengar kabar dari orangnya yang bertugas mengawasi Akmal. Orang itu mengatakan jika sekarang Akmal sedang menjadi buronan polisi karena menyerang Hana.
Papa Tama tersenyum miring. "Kalian segera tangkap Akmal dan serahkan dia ke kantor polisi."
"Ada apa, Pah? Siapa yang mau diserahkan ke kantor polisi?"
"Akmal, Mah. Dia menyerang gundiknya," ujar papa Tama. Mama Sukma tersenyum lebar.
"Bagus lah. Karma pasti berlaku cepat atau lambat."
"Sekarang yang perlu kita lakukan adalah menutupi masalah ini dari Utari. Nanti kalau waktunya tiba, papa akan menambahkan kasus Utari kemarin. Biar hukumannya semakin berat."
Mama Sukma mengangguk setuju. Dia benar-benar geram dengan mantan suami Utari itu. Baguslah jika dia akan di penjara. Jadi dia tidak perlu mengkhawatirkan keberadaan pria itu.
semoga sehat selalu kk