Marsha Calloway terjebak dalam pernikahan yang seharusnya bukan miliknya—menggantikan kakaknya yang kabur demi menyelamatkan keluarga. Sean Harris, suaminya, pria kaya penuh misteri, memilihnya tanpa alasan yang jelas.
Namun, saat benih cinta mulai tumbuh, rahasia kelam terungkap. Dendam masa lalu, persaingan bisnis yang brutal, dan ancaman yang mengintai di setiap sudut menjadikan pernikahan mereka lebih berbahaya dari dugaan.
Siapa sebenarnya Sean? Dan apakah cinta cukup untuk bertahan ketika nyawa menjadi taruhan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayyun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Diantara Jarak dan Keheningan
Hari-hari berikutnya berjalan dalam keheningan yang begitu menusuk. Marsha masih terluka. Kenyataan yang ia ketahui tentang pernikahannya dengan Sean terus menghantui pikirannya. Setiap kali ia menatap pria itu, ada perasaan yang sulit dijelaskan—kecewa, sakit hati, dan entah mengapa, ada sedikit harapan yang masih tersisa di sudut hatinya.
Sean tidak memaksanya untuk menerima keadaan dengan segera. Ia hanya membiarkan Marsha larut dalam pikirannya sendiri, meskipun ia bisa merasakan perubahan sikap gadis itu.
Jika sebelumnya Marsha selalu mencoba bersikap netral, kini ia lebih banyak diam. Tatapannya kosong saat bersama Sean, senyumnya tak lagi muncul, dan percakapan di antara mereka nyaris tak ada.
Sean tidak bisa berbuat banyak. Ia mengerti bahwa Marsha butuh waktu. Namun, semakin hari, kesunyian itu mulai menyesakkan. Pagi itu, sebelum berangkat kuliah, Sean akhirnya membuka suara.
"Aku akan menjemputmu nanti," katanya singkat.
Marsha yang tengah memasukkan buku ke dalam tasnya, hanya menoleh sekilas. Ia mengangguk pelan, tanpa berkata apa-apa. Keheningan itu kembali hadir di antara mereka.
Sean mengamati wajah istrinya. Tidak ada amarah di sana, tapi ada sesuatu yang membuat dadanya terasa sesak—ekspresi kosong yang penuh dengan kekecewaan.
Sejak kapan perasaan Marsha mulai berarti baginya? Sejak kapan ia merasa tidak nyaman melihat gadis itu diam? Sean menarik napas dalam.
"Marsha," panggilnya.
Gadis itu menoleh, tetapi tidak benar-benar menatapnya.
"Ada yang mau kamu sampaikan padaku?"
Marsha menggeleng pelan, lalu beranjak pergi. Sean hanya bisa menghela napas panjang.
Di kampus, Marsha masih terlihat diam dan sibuk dengan pikirannya sendiri. Bahkan Vano yang biasanya bisa membuatnya tertawa, kini tak mampu mengusik lamunannya.
"Kamu baik-baik aja?" tanya Vano akhirnya, setelah mereka duduk bersama di taman kampus.
Marsha menatap pria itu sesaat, lalu mengangguk. "Aku baik-baik aja."
Vano mengamati wajahnya dengan curiga. "Kamu nggak terlihat baik, Marsha. Kalau ada masalah, kamu bisa cerita sama aku."
Marsha tersenyum kecil, meskipun senyum itu terasa dipaksakan. "Terima kasih, Vano. Tapi aku benar-benar baik-baik aja."
Vano mendesah. Ia tahu Marsha tidak ingin membicarakannya, jadi ia memilih untuk tidak mendesak lebih jauh. Namun, saat melihat sosok yang berdiri tak jauh dari mereka, Vano langsung menegang.
Sean.
Pria itu berdiri di sisi mobilnya, mengenakan kemeja hitam dengan kancing atas yang sedikit terbuka. Penampilannya tetap rapi dan berkelas, tetapi ada aura tajam yang membuat siapa pun enggan mendekat. Marsha juga menyadari kehadiran Sean. Ia menoleh ke arah pria itu, tetapi tetap diam.
"Sepertinya suami kamu jemput," gumam Vano, tak bisa menyembunyikan ketidaksukaannya.
Marsha mengangguk pelan.
Vano menatapnya, lalu menghela napas. "Aku harap, apa pun yang membuat kamu seperti ini bisa segera selesai, Marsha."
Marsha hanya tersenyum tipis, sebelum akhirnya melangkah pergi menuju Sean. Sean tidak langsung mengatakan apa-apa. Ia hanya membuka pintu mobil untuk Marsha, membiarkannya masuk, sebelum ia sendiri duduk di kursi pengemudi.
Suasana di dalam mobil terasa begitu sunyi. Mereka tidak langsung pulang ke rumah. Sean membawa mobilnya ke sebuah restoran yang cukup sepi, dan Marsha hanya bisa mengikutinya tanpa banyak bertanya.
Setelah mereka duduk, Sean akhirnya memecah keheningan.
"Kamu masih marah?" tanyanya.
Marsha tidak langsung menjawab. Ia menatap cangkir kopinya, memainkan sendok kecil di dalamnya.
"Aku nggak marah," katanya akhirnya. "Aku cuma… kecewa."
Sean menatapnya dalam. "Karena aku menikahi kamu demi menepati janji?"
Marsha mengangguk pelan.
"Aku ngerti," ujar Sean. "Tapi apa itu merubah semuanya?"
Marsha mendongak, menatapnya heran.
"Maksud kamu?"
"Aku menikahi kamu karena sebuah janji, benar. Tapi apa perasaan itu harus tetap sama selamanya?"
Marsha terdiam.
Sean melanjutkan, "Aku mungkin nggak menyadarinya sebelumnya, tapi aku mulai memahami sesuatu, Marsha."
"Apa?" tanyanya pelan.
Sean menarik napas, lalu berkata dengan mantap, "Aku nggak mau kehilangan kamu."
Jantung Marsha berdebar keras.
"Aku nggak tahu sejak kapan perasaan ini mulai berubah," lanjut Sean. "Tapi yang aku tahu, aku mau kamu tetap di sisi aku. Bukan karena janji, bukan karena kewajiban. Tapi karena aku mau kamu ada di sini, bersamaku."
Marsha menatapnya dengan mata yang membesar. Ia tidak tahu harus mengatakan apa.
"Aku tahu aku mungkin sudah menyakiti kamu dengan pernyataan sebelumnya," lanjut Sean. "Dan aku nggak berharap kamu langsung percaya aku. Tapi yang jelas, aku ingin memperbaiki semuanya."
Keheningan kembali mengisi ruang di antara mereka. Marsha mengalihkan pandangannya. Ia bisa merasakan ketulusan dalam kata-kata Sean, tapi luka di hatinya belum sepenuhnya sembuh.
"Aku butuh waktu," katanya akhirnya.
Sean tersenyum tipis. "Aku bisa menunggu."
Marsha menatapnya sekilas, lalu kembali menyesap kopinya. Mungkin, ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar—sesuatu yang perlahan berubah dari sekadar pernikahan tanpa cinta menjadi sesuatu yang lebih nyata.
...***...