Secercah Asa Untuk Utari

Secercah Asa Untuk Utari

Bab Satu

"Mas, besok aku minta uang buat beli beras, ya?" Utari yang sedang melipat baju menunduk tak berani menatap suaminya.

"Uang! Uang! Uang! itu terus yang kamu sebut. Ga bisa apa sekali-kali biarin aku istirahat dengan damai? Aku ini baru pulang kerja, Tari. Aku capek," ujar Akmal, menatap nyalang ke arah istrinya.

"Tapi, Mas .... "

"Kamu bisa diam ga? Dasar istri ga guna. Bisanya cuma minta!" Akmal dengan sembarangan bangun dari duduknya. Dia menyambar tasnya, menyalakan motornya dan lalu pergi begitu saja.

Tetes air mata mulai berjatuhan tak terkendali menimpa punggung tangan Utari. Utari menepuk dadanya yang terasa sesak. Sehina inikah dia.

"Bu, ibu, Nisa minta uang. Nisa mau jajan baso di depan, Bu."

Utari mengusap air matanya. Dia merapikan wajahnya. Dia tatap putri semata wayangnya dengan sendu.

"Kalau beli basonya besok gimana, Dek?" tanya Utari sembari menatap Nisa. Nisa berusia enam tahun, dia anak yang begitu peka.

"Bapak masih belum gajian, ya, Bu?" tanya Nisa, duduk di pangkuan Utari. Utari mengangguk dengan cepat. Dia segera memalingkan wajahnya karena tak kuasa menahan air matanya.

Utari dan Akmal menikah tujuh tahun yang lalu. Mereka adalah teman kerja di pabrik. Namun, karena aturan perusahaan, salah satu dari mereka harus keluar setelah menikah dan mereka memutuskan jika Utari yang harus berhenti dari pekerjaannya. Akmal juga berpendapat, istri yang baik adalah istri yang fokus mengurus rumah tangga.

Di awal pernikahan semuanya baik-baik saja. Sampai tiba saat Utari hamil, Akmal perlahan mulai berubah. Entah apa yang terjadi, Akmal mulai sedikit demi sedikit mengurangi jatah belanja Utari. Dia beralasan memiliki banyak angsuran yang harus dibayarkan.

Awalnya Utari tidak terlalu keberatan, toh selama ini dia memiliki tabungan dari hasil kerjanya dulu, tapi semua tabungan Utari habis untuk biaya bersalin, saat melahirkan Nisa. Sedangkan Akmal tidak sepeser pun mengeluarkan uang, dengan alasan yang masih sama.

Dari sana Utari bergantung hidup dari pemberian Akmal. Setiap seminggu sekali Akmal memberi Utari uang belanja 150 ribu. Uang itu digunakan untuk mencukupi kebutuhan makan, kebutuhan pokok lainnya dan juga membeli token listrik.

Dengan uang pas-pasan itu, Utari harus memutar otak agar semua kebutuhan tercukupi. Namun, sepintar apapun Utari membagi uang itu untuk biaya hidup, tetap saja dia merasa kurang. Terlebih biaya hidup di kota apa-apa serba mahal.

Jika tak salah mengingat gaji suaminya pasti diatas tiga juta, tapi entah mengapa untuk melebihkan uang belanja untuk Utari, Akmal seakan tidak mau.

"Bu, ibu nangis?" Nisa mendongak, Utari buru-buru mengusap air matanya lg.

"E-engga, ibu cuma kelilipan." Utari tersenyum agar dapat meyakinkan putrinya.

"Bu, emang bapak gajiannya lama ya? Kok ga kaya ayahnya Jihan. ayahnya Jihan sering gajian, Tiap habis gajian, ayahnya Jihan selalu beliin Jihan es krim, Kue, boneka. Kok Bapak Nisa ga?"

Utari tersenyum, dengan suara bergetar dia menjelaskan pada Nisa, "Kerja ayah Jihan di kantor besar, Dek. Kalau bapak Nisa kerjanya di pabrik, jadi gajiannya lama."

"Oh, gitu ya, Buk. Kalau besar, Nisa juga mau kerja di kantor besar, Buk, biar nanti Nisa bisa sering gajian. Terus Nisa bisa bawa ibu beli baso banyak banyak."

Utari tercekat. Dia mengusap kepala putrinya dengan lembut. Perempuan berusia 27 tahun itu mengangkat wajahnya agar air matanya tak kembali turun. Dadanya semakin terasa sakit. Seperti ditusuk tapi tak berdarah.

Maafin ibu, Dek. ibu terpaksa harus berbohong.

"Nisa ga main sama Jihan?" tanya Utari. Nisa menggeleng lemah.

"Ga, Buk. Nisa di rumah aja sama ibu. Kata Jihan dia ga mau temenan sama aku, karena aku ga sekolah."

"Ya, ampun, Dek. Sabar, ya. Nanti kalau ibu ada uang, ibu akan masukin adek sekolah."

"Iya, ga apa-apa, Buk. Nisa bantuin ibu aja di rumah."

Utari menghela napas panjang. Dia pamit pada Nisa ke kamar mandi. Setelah masuk ke kamar mandi, Utari kembali menangis.

Kenapa semuanya jadi seperti ini? Rasanya sakit sekali, Tuhan.

Utari menepuk nepuk dadanya. Setelah lega, dia membasuh wajahnya dan keluar lagi untuk menemani putri semata wayangnya. Nisa memang belum sekolah, bukan karena Utari sengaja menundanya, tapi Akmal memang sepertinya tidak mau membiayai pendidikan Nisa.

Utari mengambil ponsel android miliknya. Ini adalah satu-satunya benda berharga yang dia miliki. Dia menatap benda itu dengan sendu, pikirannya sudah bulat. Dia akan menjual HP itu, toh punya HP kalau tidak ada kuota apalah artinya.

"Nisa, ikut ibu, yuk. Nisa mau makan baso, kan? Ibu akan belikan Nisa baso nanti."

Nisa yang sedang membolak balik gantungan baju seketika memandang Utari dengan wajah berbinar. "Bener, Buk? Beneran kita makan baso?"

Utari mengangguk. Dia memasukkan box HP berikut dengan kelengkapannya. Utari mengambil tas usangnya. Dia merapikan penampilannya. Meski tidak memakai bedak, setidaknya jangan sampai tetangga melihat wajahnya yang berantakan.

Utari berjalan sambil menggandeng tangan Nisa. Jarak konter HP lumayan agak jauh, tapi bocah berusia enam tahun itu tidak pernah mengeluh. Utari sangat bersyukur memiliki Nisa dalam kehidupannya.

Tiba di konter, Utari langsung mengatakan niatnya untuk menjual HP. Pegawai konter memeriksa ponsel Utari dan mengangguk puas.

"Mbak, ini hpnya cuma laku 600 ribu. Gimana?"

"Yah, masa cuma 600 ribu, Mas. Itu masih ori semua, saya dulu beli 2 juta setengah."

"Ini soalnya HP keluaran lama, Mbak," kata mas penjaga konter.

"Naikin lagi, lah, Mas. Saya perlu banget uangnya."

Penjaga konter menatap Utari dan Nisa bergantian. "Ada apa ini, Tyo?" Tiba-tiba suara seorang pria mengejutkan penjaga konter.

"Ah, ini, Bos. Mbak ini mau jual HP, tapi ini HP keluaran jadul. Minta harga dilebihkan."

Utari agak malu, tapi sudah kepalang, dia ingin bernegosiasi lagi, tapi saat dia mengangkat wajahnya dia terkejut.

"Loh, Bian!"

"Utari, kamu Utari, kan?" Utari mengangguk. Pria bernama Bian itu tersenyum.

"Udah, Tyo, biar aku urus ini, kamu layani pembeli lainnya aja."

"Siap, Bos."

Bian duduk di depan Utari. Keduanya merupakan teman SMA. Mereka sudah hilang kontak sejak lulus.

"Ini kenapa hpnya dijual?" tanya Bian sembari mengotak atik ponsel Utari. Di ponsel itu tidak ada foto apapun, sepertinya Utari sudah mereset ponselnya.

"Aku perlu biaya buat sekolahin anakku, Bi. Kamu gimana kabarnya? Udah nikah?"

Bian tersenyum dan menggeleng. "Belum, jodohnya masih dipinjam orang," kata Bian sembari menatap Utari dalam. Utari segera menunduk. Dia tidak tahan mendapat tatapan begitu dalam dari pria lain. Rasanya sangat tidak nyaman.

"Ehm, jadi gimana? Hpku ini bisa dijual berapa? Terus kalau ada aku juga butuh HP, apa aja yang harganya murah, yang penting masih bisa buat telepon," ucap Utari sambil menunduk. Dia benar-benar malu pada Bian. Meski dulunya mereka berteman, tapi lama tidak bertemu rasanya asing bagi Utari.

Bian menatap Utari dan Nisa. Nisa sejak tadi sibuk melihat casing HP lucu. Jadi tidak terlalu memperhatikan Bian.

"Gini aja, aku bayar ponselnya harga penuh, kaya kamu beli. Terus kamu mau HP yang model apa?"

"Eh, engga, jangan, Bi. Maksudku aku jual, tapi jangan dikit banget. Aku soalnya lagi beneran butuh."

Bian menunduk melihat deretan HP second. Dia mengambil satu yang harganya masih standar.

"Kamu HP gini mau? Nanti aku tinggal kurangin dari uang penjualan HP kamu gimana?"

"Itu pasti mahal, ga usah, cariin yang biasa aja."

"Udah, Tari. anggap aja ini rejeki buat anak kamu, ya?"

Utari bimbang. Namun, saat melihat Nisa dia tidak bisa tidak memikirkan nasib putrinya. Utari akhirnya mengangguk. "Tapi aku ga enak sama kamu, Bian."

"Ga masalah."

Bian segera memanggil Tyo untuk memindahkan nomor Utari. Sebagai ganti, Bian meminta nomor Utari. Karena merasa dibantu Utari akhirnya memberikan nomornya pada Bian.

"Buk, kita jadi makan baso, kan?" tanya Nisa sambil menarik ujung kemeja Utari.

"Ya, Dek, jadi. Ibu kan udah janji sama adek."

"Eh, siapa ini? Om boleh kenalan ga?"

"Aku Nisa, Om. Anaknya ibu Utari," kata Nisa dengan suara khas anak kecil yang lucu. Bian tersenyum. Dia mengambil dompetnya dan mengeluarkan selembar uang seratus ribu.

"Ini buat Nisa beli bakso, ya."

"Makasih, Om."

Utari yang sesekali sedang melihat kinerja pegawai konter seketika menoleh.

"Bi, jangan kasih uang ke anakku."

"Kenapa, Tari? Biarin aja. Ga setiap hari, kok."

Bian mengambil nota dan mengetik sesuatu di ponselnya. Tak lama ponsel Tyo bergetar. Namun, Utari tidak terlalu memperhatikan, karena dia sibuk memperhatikan Nisa yang membawa uang seratus ribu.

"Mbak, ini uangnya saya amplop aja ya. Sesuai perjanjian dengan bos."

"Ya, Mas. Terima kasih." Utari mengambil amplop uang itu. Namun, dia langsung meletakkannya kembali.

"Mas, ini kok banyak banget?"

Tyo melirik Bian. Bian tersenyum, "Udah, bawa aja, Tari. Buruan bawa Nisa makan baso. Nanti keburu malam. Tadi kamu naik apa?"

"Aku jalan."

Utari mengucapkan terima kasih berkali-kali pada Bian. Dia lantas memasukkan amplop itu ke dalam tas dan berpamitan pada Bian. Lalu Utari mengandeng tangan Nisa dan membawanya pergi ke warung bakso. Bian tidak melepaskan pandangannya dari Utari hingga siluetnya menghilang.

Utari dan Nisa tiba di dekat warung bakso, dulu tempat langganannya dan Akmal.

"Buk, itu bapak sama siapa?" Nisa tiba-tiba menunjuk ke sudut tempat makan. Jantung Utari tiba-tiba berdebar kencang.

Terpopuler

Comments

jaran goyang

jaran goyang

𝙗𝙣𝙧 𝙠𝙣

2025-03-20

0

jaran goyang

jaran goyang

𝙣𝙣𝙩 𝙙𝙖 𝙬𝙣𝙩 𝙡𝙖𝙞𝙣

2025-03-20

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!