Penasaran dengan cerita nya lansung aja yuk kita baca
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mbak Ainun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 17: Memutus Simpul Terakhir
Keesokan paginya, Arini tidak membiarkan emosinya semalam menghambat langkahnya. Surat dari mendiang ayah mertuanya adalah bukti bahwa kebaikan bisa tumbuh di tanah yang paling gersang sekalipun. Namun, ruko dan tabungan itu bukan sekadar harta bagi Arini; itu adalah senjata tambahan. Ia segera memanggil Rendra ke kantornya untuk memproses dokumen tersebut sebagai bagian dari tuntutan balik dalam persidangan cerai yang kian memanas.
"Adrian akan sangat terkejut," ujar Rendra sembari meneliti surat wasiat tersebut. "Dia selalu mengira ayahnya tidak meninggalkan apa-apa selain utang. Ternyata, ayahnya lebih cerdas darinya. Beliau tahu persis siapa yang pantas memegang kendali."
"Aku ingin semua aset ini dialokasikan untuk yayasan pendidikan bagi penjahit muda," kata Arini tegas. Ia berdiri di dekat jendela, menatap jalanan Jakarta yang sibuk. "Aku tidak ingin satu rupiah pun dari keluarga itu masuk ke kantong pribadiku. Aku ingin menggunakannya untuk menghapus jejak Adrian dari hidupku."
Rendra mengangguk kagum. "Kau benar-benar tidak menyisakan ruang baginya untuk kembali, ya?"
"Benang yang sudah putus tidak boleh disambung dengan simpul mati, Rendra. Itu akan membuat kainnya menjadi ganjal. Harus dipotong bersih," jawab Arini tanpa menoleh.
Siang harinya, Arini memutuskan untuk menemui Adrian di penjara untuk terakhir kalinya. Ia perlu melihat wajah pria itu saat ia menyampaikan bahwa harapan terakhirnya—harta warisan ayahnya—telah resmi menjadi milik yayasan sosial yang dikelola Arini.
Suasana di ruang kunjungan penjara sangat pengap dan dingin. Adrian muncul dengan seragam tahanan berwarna oranye yang terlihat sangat kontras dengan kulitnya yang kini tampak pucat dan kusam. Tidak ada lagi sisa-sisa pengusaha sombong yang dulu selalu meremehkan Arini.
"Kau datang juga, Arini," suara Adrian serak. "Apa kau datang untuk membebaskanku? Tolong, cabut laporannya. Aku janji akan memberikan apa saja. Kita bisa mulai lagi dari awal."
Arini menatap Adrian dengan tatapan yang sangat datar, seolah ia sedang melihat sebuah desain gagal yang harus dibuang ke tempat sampah. "Aku datang untuk memberikan ini," Arini menyodorkan salinan dokumen warisan ayahnya melalui celah kaca.
Adrian membacanya dengan cepat, dan seketika wajahnya berubah dari penuh harap menjadi penuh amarah yang meledak-ledak. "Ini milikku! Ayahku tidak mungkin memberikan ini padamu! Kau pasti memalsukannya, kau wanita licik!"
"Ayahmu tahu kau akan menghancurkan segalanya, Adrian. Dia memberikan ini padaku karena dia tahu aku yang bisa menjaga martabat keluarga, bukan kau," ucap Arini dengan nada yang sangat tenang, kontras dengan teriakan Adrian. "Dan aku sudah menyumbangkan semuanya untuk amal. Kau tidak akan mendapatkan sepeser pun. Bahkan setelah kau keluar dari sini nanti, kau akan bangun di dunia di mana namamu sudah tidak berarti apa-apa."
Adrian memukul kaca pembatas dengan keras, berteriak histeris sebelum petugas menyeretnya kembali ke sel. Arini berdiri tanpa bergeming. Ia tidak merasakan kepuasan yang meledak-ledak, melainkan sebuah kelegaan yang sunyi. Luka itu kini sudah benar-benar ia jahit tertutup.
Saat keluar dari gedung penjara, Arini menghirup udara segar sedalam-dalamnya. Di parkiran, ia melihat Damar sedang berdiri bersandar di mobilnya, menunggunya dengan sebuah buket bunga kecil berwarna putih.
"Sudah selesai?" tanya Damar lembut.
Arini mengangguk pelan. "Sudah. Simpul terakhir sudah kuputus."
Damar membukakan pintu mobil untuknya. "Kalau begitu, mari kita mulai membuat pola yang baru. Tanpa benang khianat, tanpa luka lama. Hanya kain bersih yang menunggu untuk dilukis."
Arini tersenyum, kali ini sebuah senyum tulus yang mencapai matanya. Ia menyadari bahwa wanita kuat bukan berarti tidak butuh dukungan; wanita kuat adalah mereka yang tahu kapan harus berhenti berperang dan kapan harus mulai menerima kedamaian.