Penasaran dengan ceritanya yuk langsung aja kita baca
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mbak Ainun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 29: Menatap Masa Depan
BAB 29: Menatap Masa Depan
Satu bulan telah berlalu sejak tanah merah di sudut taman Rumah Senja mengering. Jakarta di penghujung Januari 2026 disambut dengan angin pagi yang segar. Maya berdiri di balkon lantai dua, tempat favorit Aris, sambil memegang secangkir kopi hitam pahit—kebiasaan Aris yang kini mulai ia tiru.
Di bawah sana, denyut kehidupan Rumah Senja sudah benar-benar pulih, bahkan lebih kuat dari sebelumnya. Aula utama kini bukan lagi tempat persemayaman yang sunyi, melainkan pusat pelatihan keterampilan bagi warga bantaran. Terdengar suara mesin jahit yang beradu dengan gelak tawa ibu-ibu yang sedang belajar membuat kerajinan dari sisa potongan bambu proyek.
"Data keuangan bulan ini sudah rapi, Maya," Yudha muncul dari balik pintu geser bambu, membawa laptopnya. "Donasi publik terus mengalir lewat crowdfunding setelah dokumentasi banjir kemarin. Kita punya cukup dana untuk operasional sekolah alam selama dua tahun ke depan."
Maya mengangguk, namun matanya tetap tertuju pada maket kecil yang ditinggalkan Aris di atas meja kerja di sudut ruangan. "Tantangan kita bukan lagi soal uang, Yud. Tapi soal mempertahankan semangat Pak Aris agar tempat ini tidak berubah menjadi sekadar 'pajangan' atau destinasi wisata yang kehilangan jiwanya."
Baru-baru ini, sebuah yayasan internasional menawarkan untuk menjadikan Rumah Senja sebagai situs warisan budaya modern. Namun, Maya dan Yudha sepakat untuk menolak jika itu berarti membatasi akses warga asli. Bagi mereka, Rumah Senja harus tetap menjadi "rumah" yang berisik, tempat jemuran warga berkibar, dan tempat anak-anak bantaran berteriak riang saat belajar.
Sore harinya, Jaka datang menemui Maya. Ia tidak lagi tampak seperti pria yang penuh beban. Ia kini menjadi kepala pemeliharaan bangunan. "Mbak Maya, panel surya di sisi timur butuh sedikit pembersihan. Debu kota mulai menutupi selnya. Saya sudah ajak para pemuda untuk mengerjakannya besok pagi."
"Terima kasih, Jaka. Pak Aris pasti bangga melihatmu sekarang," jawab Maya tulus.
Jaka tersenyum tipis. "Saya hanya tidak ingin mengecewakannya untuk kedua kali, Mbak."
Saat matahari mulai condong ke barat, Maya berjalan menuju makam Aris. Ia meletakkan setangkai bunga sedap malam yang baru dipetik. Di nisan kayu yang kini mulai berwarna keperakan karena cuaca, terpantul cahaya jingga yang begitu indah.
"Pak Aris," bisik Maya. "Kami sedang mencoba berjalan dengan kaki kami sendiri. Kadang kami masih ragu, tapi kami selalu ingat kata Bapak: bahwa pondasi yang paling kuat bukanlah beton, melainkan kepercayaan satu sama lain."
Tiba-tiba, seorang anak kecil berlari menghampiri Maya, membawa sebuah buku gambar. Ia menunjukkan gambar sebuah bangunan masa depan yang jauh lebih besar dari Rumah Senja, dengan jembatan-jembatan hijau yang menghubungkan seluruh pinggiran sungai Jakarta.
"Kak Maya, aku ingin jadi arsitek seperti Kek Aris," ucap anak itu dengan mata berbinar.
Maya merasakan tenggorokannya tercekat. Di sanalah, dalam tatapan mata seorang anak kecil, ia melihat Aris sedang tersenyum. Aris mungkin telah pergi, namun benih-benih "Pelukis Senja" yang baru telah tersemai di sepanjang aliran sungai ini.
Babak perjuangan fisik memang telah usai, namun babak perjuangan untuk menjaga nilai-nilai Rumah Senja baru saja dimulai. Di bawah langit senja yang abadi, bangunan bambu itu berdiri tegak, menjadi saksi bahwa di tahun 2026, kebenaran dan kemanusiaan bukan lagi sekadar mimpi di waktu senja, melainkan kenyataan yang bisa dirasakan oleh setiap pasang tangan yang mau bekerja bersama.