Original Story by : Chiknuggies (Hak cipta dilindungi undang-undang)
Aku pernah menemukan cinta sejati, hanya saja . . . Arta, (pria yang aku kenal saat itu) memutuskan untuk menjalin kasih dengan wanita lain.
Beberapa hari yang lalu dia kembali kepadaku, datang bersama kenangan yang aku tahu bahwa, itu adalah kenangan pahit.
Sungguh lucu memang, mengetahui Arta dengan sadarnya, mempermainkan hatiku naik dan turun. Dia datang ketika aku berjuang keras untuk melupakannya.
Bak layangan yang asyik dikendalikan, membuat aku saat ini tenggelam dalam dilema.
Hati ini. . . sulit menterjemahkan Arta sebagai, kerinduan atau tanda bahaya.
°°°°°°
Airin, wanita dengan senyuman yang menyembunyikan luka. Setiap cinta yang ia beri, berakhir dengan pengkhianatan.
Dalam kesendirian, ia mencari kekuatan untuk bangkit, berharap suatu hari menemukan cinta yang setia. Namun, di setiap malam yang sunyi, kenangan pahit kembali menghantui. Hatinya yang rapuh terus berjuang melawan bayang masalalu
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chiknuggies, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
...-.Dikala orang tengah tangguh menjaga harga diri mereka, aku masih saja sibuk menentukan berapa harga yang tepat.-...
^^^Chiknuggies, 15-November-2024^^^
Di balik meja yang sempit sehingga membuat beberapa peralatan kerja ku berdesak-desakan ini, aku sibuk menghabiskan hari yang semakin bersandar di telan waktu.
Dalam hati aku menginginkan lepas dari cengkraman aturan bumi, tidak ingin dikekang dan hanya ingin mendustai rasa nyaman yang telah di tanamkan hati sedari dulu.
Bolehkan? Untuk terbang bebas, berbicara tanpa tebang pilih, dan melenggokkan ekor ke kanan-kiri disaat kaki bertengger pada dahan yang halus.
Jika malam datang, aku selalu berbahagia bagaikan kuda yang di lepas liarkan, setelah sekian lama mendekam di atas lantai jerami.
Namun bila mengikuti kata hati, ibuku nanti makan apa?
Tentunya bukan hanya angin dan harapan betul? Aku pun tahu hal sederhana seperti itu, akan tetapi, Ayolah. . . Jiwa laksana tarian mentari ini, inginkan istirahat yang panjang dari hiruk-pikuk kota yang melelahkan.
Siapa juga yang akan memberiku waktu untuk beristirahat, padahal cakrawala saja masih belum dapat ku gapai. Biar saja aku letih seperti ini, memeluk ribuan harapan yang telah berceceran kemana-mana, walaupun tengah riuh kudekap erat.
Banyaknya tekanan mental yang tidak seharusnya kupikul, terpaksa ku tahan sunyi demi menjaga perasaan orang-orang di sekitarku.
Ingin berteriak hingga tidak dapat bersuara saja, bila seluruh beban tersebut dapat kulepas bersamaan dengan seluruh amukan yang telah lama kupendam, karena setelah ini pasti aku akan memaksakan perasaanku, megobati, lalu terjatuh lagi, dan mengulang siklus itu terus menerus.
Ingin meminum secangkir kopi, bersanding dengan sebatang rokok lusuh bersama kenangan masa kecil yang hanya bisa ku nikmati di kepala. Mengingat, kini aku sedang terpenjara di tempat yang pernah nyaman keadaannya.
Begitu dingin udara yang melewati tengkukku, membuatnya beberapa kali meremangkan bulu-bulu halus yang melekat di kulit ini. Sesekali lembar majalah yang berbaris pada rak di samping pintu, ikut terkibas hembusan angin helai demi helai oleh pendingin ruangan resto yang bertiup jenuh.
Menggunakan bahasa template untuk menyapa dan menerima pesanan, membuatku tak kuasa menahan kantuk di setiap pelanggan hilir-mudik menghampiriku.
Beberapa kali ku dengar denting lonceng yang terdorong pintu, pertanda ada pelanggan masuk, hendak menikmati sajian yang tersaji di resto ini.
Ku hindari langkah sembrono ketika berbicara dengan menampakkan senyum lebar di wajahku, mencoba tetap terlihat ramah apapun keadaan yang ku alami.
Hanya saja, seluruh tabir yang ku gunakan seketika luruh tatkala wajah yang ku kenal lama hadir di muka pintu, sosok yang pernah hadir di kehidupanku dan menghancurkan seluruh harapan yang ku miliki dulu.
"Pesan meja untuk dua orang." Ujar pria itu.
"Untuk apa kamu datang lagi?" Tanyaku ketus seraya menatap jam yang sepertinya sudah mendekati akhir. Meski ia sendirian, dia memesan meja untuk dua orang demi menyiratkan ku yang paham bahwa ia ingin bertemu denganku.
"Aku singgah untuk sekedar makan dan berbincang kecil Rin." Jawabnya serius, sedikitnya memperlihatkan mata yang berputar, memperhatikan sekitar.
"Tidak sekarang, tidak di jam kerja, dan tidak disaat kondisiku seperti ini Arta."
Arta datang membawa luka yang baru saja ku sembuhkan tempo hari, menarik kembali untaian pita memori yang susah payah ku pendam dalam memori inti.
Ruel gugup, matanya melotot dan terlhiat mencoba untuk mencari alasan demi meninggalkan kami berdua. "Ummm, Boo aku di panggil San-san, aku kebelakang bentar ya." Izin nya pergi meski aku tau Sandi sedang tidak mencarinya.
Aku kembali fokus kepada seseorang yang sedang berhadapan denganku ini menggunakan kata maki bernada rendah. "Bajingan kamu Ta, pergi dari sini, kamu menghalangi pelanggan yang ingin memesan."
"Aku nggak akan kemana-mana sebelum kita bicara rin, tolong ada yang ingin aku jelaskan." Pintanya semakin gigih menekan ku.
Keadaan memanas akibat dari aku yang tidak menanggapi kehadirannya, mencoba untuk acuh meski ia mulai memajukan wajahnya meminta jawab dari seribu tanya.
"Ada apa ini?!" Sandi keluar di waktu yang tepat bersama Ruel yang bersembunyi di balik tubuhnya.
"Siapapun kamu, kamu tidak ada hubungannya di sini." Ucap Arta dengan tatapan tajam ke arah Sandi.
Mencoba tetap menjaga profesionalitasnya, Sandi mengangkat dada dan berkata, "Mohon maaf, tetapi pelanggan tidak seharusnya mengintimidasi karyawan disini. Lagi pula, tempat ini sudah di lengkapi dengan CCTV, tentu pelanggan yang bijak tidak akan berperilaku sedemikian bukan?"
Arta melarikan matanya, mencari seluruh CCTV di setiap sudut ruangan. Ia mengendurkan otot di seluruh tubuhnya, mencari tenang yang sepertinya sulit di raih.
Mulutnya terbuka sedikit mencoba untuk mengatakan kata yang tidak sanggup untuk keluar, namun urat di dahinya berkata lain.
Ia kembali melemparkan pandangannya ke arahku, mencoba tersenyum namun senyumannya menjadi mengerikan, karena tahu hatinya sedang penuh dengan amarah akibat kehadiran Sandi yang tiba-tiba melerai kami.
"Aku cuma mau bicara sebentar saja rin, aku harap kamu mau untuk bertemu sebentar. Untuk sekarang aku pergi, tetapi aku mau kita bertemu lagi."