Raya yang baru saja melakukan ujian nasional, mendapatkan musibah saat akan datang ke tempat tinggal temannya. Kesuciannya direnggut oleh pria tak dikenal. Raya memutuskan untuk melaporkannya ke polisi. Bukannya keadilan yang dia dapatkan, namun ancaman. Tidak hanya sampai di situ saja, dia dinyatakan hamil akibat insiden itu. Lagi-lagi bukannya keadilan yang dia dapatkan, namun perlakuan buruk yang dia terima.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ROZE, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7 Siksaan
Raya mengganti bajunya yang basah dengan tergesa-gesa. Justin mengambil ponsel Raya dan menghancurkannya.
“Mulai hari ini, kamu tidak boleh ke mana-mana dan menghubungi siapa-siapa. Saya tidak mau ada orang luar yang sampai tahu masalah ini. Ingat, kamu di sini hanya menumpang.”
Raya hanya bisa menghela nafas. Bukan dirinya yang mengemis untuk bisa tinggal di rumah hantu ini. Dia akan senang hati jika tidak hamil, akan bahagia jika tidak bertemu mereka lagi. Kesialan datang bertubi-tubi sejak malam naas itu, seolah semua itu adalah pintu gerbang nasib buruk yang menimpanya.
Raya segera membersihkan halaman belakang. Perutnya terasa sangat lapar karena belum makan sejak kemarin siang.
Di kampus, Eriza merasa sangat cemas. Sejak kemarin sore, dia berusaha menghubungi Raya, tapi tidak bisa. Gadis itu merasa cemas. Dia lalu menghubungi Bu Mirna, siapa tahu saja Raya pulang ke rumah panti.
“Ya, Er?”
“Bu, mau tanya, Raya pulang ke panti gak, Bu?”
“Gak ada. Sudah lebih dari satu bulan Raya tidak ke sini.”
Bu Mirna jadi merasa cemas. Dia mengkhawatirkan anak asuhnya itu, apalagi sejak musibah yang menimpa Raya. Raya menjadi pemurung dan jarang menghubungi Bu Mirna.
“Ya sudah, mungkin Raya ada di tempat kos. Nanti Er ke sana, Bu.”
“Kalau sudah bertemu dengan Raya, tolong hubungi ibu, ya, Er.”
“Iya, Bu.”
Eriza lalu pergi ke kosan Raya. Sesampainya di sana, ternyata Raya juga tidak ada. Kata pemilik kos, Raya sudah pergi tadi malam dengan membawa barang-barangnya.
Saat ini Raya masih membersihkan halaman belakang. Dia menyiram tanaman dan membuang rumput-rumput kering. Setelah selesai, Raya lalu mengambil air minum. Dia begitu tergesa-gesa saat air dingin itu membasahi tenggorokannya.
Raya duduk di kursi dapur. Dia lapar. Raya melihat sebutir telur, lalu mengambilnya dan ingin menggorengnya.
“Apa yang kamu lakukan?”
Hampir saja telur itu meluncur bebas dari tangannya, untung saja tidak pecah.
“Saya lapar.”
“Cepat makan dan bersihkan kamar mandi.”
Raya diam saja. Dia mengusap perutnya yang sedikit keram. Diam-diam dia mengambil nasi yang banyak. Siapa tahu saja dia hanya boleh makan sehari sekali, kan. Melihat bagaimana kejamnya pemilik rumah ini, Raya tidak akan lagi merasa kaget.
Raya membersihkan tubuhnya di kasur tipis. Dia teringat akan hari-harinya. Saat dia bekerja di kafe dulu, dia juga merasa sangat lelah, tapi tidak selelah ini. Makan pun dia masih makan dengan layak, karena memiliki jatah makan dari tempatnya bekerja.
Kalau begini caranya, lebih baik tidak perlu bertanggung jawab sekaligus. Ini namanya bukan tanggung jawab, tapi menyiksa. Sekujur tubuhnya terasa lelah dan kaku.
“Aduh, aku jadi ingin makan rujak.”
Raya pergi ke dapur. Mengambil satu buah timun dan tomat. Anggap saja itu rujak, pikir Raya.
Seorang pelayan melihat itu.
“Maafkan saya,” ucap Raya.
Pelayan itu diam saja, tidak memarahinya, juga tidak memberikan izin. Raya jadi bingung. Haruskah dia tetap makan timun dan tomat itu?
“Ambil saja. Makan di kamar.”
“Terima kasih banyak.”
Di kampus, Keanu merasa sangat ingin makan rujak.
“Belikan rujak,” ucap Keanu pada sahabatnya.
“Buat apaan?”
“Buat dipajang!”
Hari-hari berlalu, terasa sangat lama bagi Raya yang setiap hari selalu bekerja seperti pembantu. Selama berada di rumah ini, dia hampir tidak pernah bertemu dengan Keanu maupun kedua orang tuanya. Tidak masalah bagi Raya, karena dia juga ingin muntah saat melihat mereka.
Dia hanya boleh makan dua kali sehari, itu pun kalau semua pekerjaan sudah selesai dia kerjakan. Raya harus menahan keinginannya jika ingin sesuatu. Jangankan ke luar rumah untuk membeli sesuatu, keluar dari pintu saja para penjaga sudah menatap tajam dirinya. Lalu bagaimana mau kabur? Itu lebih susah lagi. Raya sudah tidak tahan mendapatkan penyiksaan ini. Hamil, bukannya dia bertambah gemuk, tapi justru semakin kurus. Perempuan itu mengusap perutnya yang masih rata.
Kenapa kamu hadir? Kalau kamu tidak ada, aku pasti tidak akan disiksa seperti ini? Kenapa kamu tidak pergi saja? Jangan lagi mempersulit hidupku. Kehadiranmu sangat tidak aku inginkan.
Raya meringkuk dalam tidurnya. Rasanya dia ingin mati saja. Dunia semakin terasa kejam baginya yang sudah tidak sanggup menahan semua ini.
“Bangun, jangan malas-malasan!”
Justin menarik tubuh Raya dengan kuat.
“Sakit, lepaskan saya, Tuan.”
“Cepat bersih-bersih rumah. Jangan malah enak-enakan tidur!”
Plak plak
Wajah Raya ditampar dengan keras, hingga meninggalkan jejak merah di kedua pipinya.
“Ada apa ini, Justin?”
Suara dokter Bian menghentikan perbuatan Justin.
“Perempuan ini, malah enak-enakan tidur.”
Dokter Bian menatap Raya dengan tatapan datar. Raya pikir, dokter Bian akan bersikap layaknya seorang dokter. Dia pikir, dokter Bian orang yang baik karena dulu dokter Bianlah yang menyarankannya untuk melapor pada polisi, dia pikir, dokter Bian berbeda dari mereka.
Ternyata dia salah.
Dia menyesal keputusannya.
Dia menyesal kenapa waktu itu harus pergi ke puskesmas.
Dia menyesal harus pergi ke panti asuhan dan mengadu kepada ibu panti.
Dia menyesal pergi ke kantor polisi dan melaporkan Keanu.
Dia menyesal kenapa sore itu harus pergi ke rumah Eriza dan datang ke rumah dokter Bian.
Dia menyesal karena mau saja tinggal di rumah ini.
Air mata Raya luruh.
Dalam hati, dia berdoa pada Sang Pencipta.
Tuhan, jika masih ada celah kebahagiaan untuk hidupku, tolong bantu aku pergi dari rumah ini.
Keanu hanya menatap Raya dari lantai dua. Perempuan cantik itu, kini terlihat tidak terurus. Wajah tirus dan pucat. Keanu tahu apa yang terjadi pada perempuan itu, tapi dia diam saja.
Untuk apa dia peduli pada ibu dari calon anaknya?
Anaknya?
Bahkan Keanu tidak yakin apakah dia akan mengakui anak itu anaknya.
Masih banyak hal yang ingin dan harus dia lakukan dalam hidupnya, apalagi dia masih muda. Semua yang terjadi pada diri Raya, bukan salahnya.
Suruh siapa perempuan miskin seperti dirinya harus pergi ke apartemen milik para orang kaya itu?
Suruh siapa dia ada di dalam lift yang sama?
“Cepat masuk ke kamar kamu. Justin, aku ingin bicara padamu,” ucap dokter Bian pada Raya dan Justin.
Raya berjalan dengan sedikit tertatih-tatih karena kakinya tadi terbentur kaki meja. Setelah melihat Raya pergi, Justin mengajak dokter Bian ke ruang kerjanya.
Di dalam kamar, Raya memijat kakinya. Dia ingin kabur, tapi bagaimana caranya? Apa ibu panti dan Eriza mengkhawatirkan dirinya?
Pintu kamar Raya kembali terbuka.
“Ini, makanlah. Tadi saya baru dari luar,” ucap salah satu pelayan yang bernama Nina.
“Anda bisa keluar masuk mansion ini?”
“Bisa, kalau memang ada keperluan penting.”
Raya berpikir cepat, kalau orang lain bisa, pasti doa juga bisa keluar.
“Misalnya saja membeli kebutuhan rumah tangga, atau cuti. Itu juga tidak sendiri. Akan ada supir dan seorang pengawal yang membantu.”
Raya menghela nafas pelan. Mungkin besok dia bisa mencoba kabur.