Raka Pradipta 22th, seorang mahasiswa yang baru bekerja sebagai resepsionis malam di Sky Haven Residence, tak pernah menyangka pekerjaannya akan membawanya ke dalam teror yang tak bisa dijelaskan.
Semuanya dimulai ketika ia melihat seorang gadis kecil hanya melalui CCTV, padahal lorong lantai tersebut kosong. Gadis itu, Alya, adalah korban perundungan yang meninggal tragis, dan kini ia kembali untuk menuntut keadilan.
Belum selesai dengan misteri itu, Raka bertemu dengan Andika, penghuni lantai empat yang bisa melihat cara seseorang akan mati.
Ketika penglihatannya mulai menjadi kenyataan, Raka sadar… apartemen ini bukan sekadar tempat tinggal biasa.
Setiap lantai menyimpan horornya sendiri.
Bisakah Raka bertahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bisikan di Unit 515
Jam menunjukkan pukul 03.15 pagi. Raka dan Deni masih duduk di ruang keamanan, menatap layar komputer yang menampilkan rekaman CCTV dari Lantai 5.
Rekaman menunjukkan koridor panjang dengan lampu-lampu redup. Tidak ada aktivitas mencurigakan—hanya lorong kosong yang tampak tenang.
Tapi semakin lama mereka mempercepat rekaman, sesuatu mulai terasa janggal.
Deni menunjuk layar. “Mas, pause sebentar.”
Raka menekan tombol spasi.
Di rekaman, terlihat bayangan hitam samar yang melintas di depan pintu unit 515.
Deni menatap layar dengan mata melebar. “Itu… orang, ya?”
Raka mengerutkan dahi. “Nggak tahu. Coba kita cek detik berikutnya.”
Ia memundurkan rekaman beberapa frame. Mereka melihat jelas: bayangan itu memang muncul begitu saja, bergerak cepat melewati pintu unit 515… lalu menghilang.
Deni mulai berkeringat. “Anjir, Mas… itu apaan?”
Raka terdiam, lalu tanpa berkata-kata, ia berdiri dari kursinya.
Deni langsung panik. “Eh, lo mau ke mana?”
Raka mengambil senter dari meja dan memasukkannya ke saku. “Cek langsung ke unitnya.”
Deni menggeleng keras. “Gila, jangan sekarang! Udah jam tiga pagi, Mas. Ini jam-jam horor, tahu!”
Raka menatapnya datar. “Trus lo mau nunggu besok pagi terus unitnya tiba-tiba kebakar sendiri? Atau nunggu tamu ngelapor ada suara aneh-aneh lagi?”
Deni menghela napas panjang. Dia jelas tidak ingin pergi, tapi juga nggak bisa membiarkan Raka pergi sendirian.
“…Sial. Oke, oke. Gue ikut.”
Mereka berdua pun mengambil walkie-talkie, memastikan semua peralatan keamanan aktif, dan keluar dari ruang kontrol menuju lift.
Koridor Lantai 5
Saat pintu lift terbuka di Lantai 5, hawa dingin langsung menyambut mereka.
Deni merapatkan jaketnya. “Kenapa kayak lebih dingin dari biasanya?”
Raka tidak menjawab. Mereka berjalan perlahan menyusuri lorong, melewati beberapa unit yang lampunya masih menyala dari dalam. Beberapa penghuni mungkin masih terjaga, menonton TV atau bekerja.
Tapi begitu mereka semakin dekat ke unit 515, suasana berubah.
Udara terasa lebih berat, langkah kaki mereka menggema lebih panjang, dan…
Krekkkk…
Raka dan Deni berhenti.
Sebuah suara lirih, seperti kayu tua yang bergeser, terdengar dari dalam unit 515.
Deni menatap Raka dengan mata terbelalak. “Tolong bilang kalau itu suara perut lo…”
Raka menelan ludah dan mendekat ke pintu unit. Ia merogoh saku dan mengambil senter, lalu mencoba melihat ke celah bawah pintu.
Gelap. Tidak ada cahaya dari dalam.
Raka mengetuk pintu. “Permisi… ada orang di dalam?”
Hening.
Deni mundur selangkah. “Mas, udah yuk. Gue nggak suka ini.”
Tapi sebelum mereka bisa pergi…
Tuk… tuk… tuk…
Suara ketukan samar terdengar dari balik pintu.
Deni langsung mundur dua langkah lagi. “Anjir, Mas! Ada yang bales!”
Raka tetap berdiri di tempatnya. Ia menekan gagang pintu pelan.
Terkunci.
Deni menarik lengan Raka. “Udah, Mas! Kita laporin aja ke manajemen besok pagi—”
Tuk… tuk… tuk…
Suara ketukan kembali terdengar, kali ini lebih keras.
Lalu…
Klik!
Gagang pintu tiba-tiba bergerak sendiri, seperti ada seseorang dari dalam yang mencoba membukanya.
Deni hampir loncat saking kagetnya. “MAS! KITA PERGI SEKARANG JUGA!”
Tapi sebelum mereka bisa kabur, suara lain terdengar dari dalam unit.
Suara napas.
Berat. Serak. Seperti seseorang yang sedang terengah-engah tepat di balik pintu.
“Hhh… hhh… hh…”
Raka dan Deni langsung lari tanpa pikir panjang. Mereka hampir bertabrakan dengan pintu lift saat menekan tombol turun berkali-kali.
Lift butuh beberapa detik untuk sampai. Tapi detik-detik itu terasa seperti seumur hidup.
Klik…
Suara gagang pintu berputar lagi.
Deni menahan napas, hampir menangis. “Mas, gue nggak mau mati di sini…”
Ting!
Pintu lift terbuka, dan mereka langsung masuk serta menekan tombol turun ke lobi secepat mungkin.
Saat pintu lift mulai menutup…
Mereka melihat sesuatu di ujung lorong.
Sesosok bayangan berdiri di depan unit 515.
Terlalu gelap untuk melihat wajahnya, tapi mereka bisa melihat jelas bahwa sosok itu bergerak perlahan… seolah sedang mengawasi mereka.
Pintu lift menutup.
Deni langsung terduduk di lantai lift, napasnya tersengal. “Gue… beneran nggak mau shift malam lagi.”
Raka juga terdiam, mencoba memahami apa yang baru saja mereka alami.
Saat lift sampai di lobi, mereka langsung berjalan cepat menuju ruang keamanan.
Deni langsung melempar dirinya ke kursi dan menutup wajah dengan kedua tangan. “Mas… gue yakin itu bukan maling.”
Raka mengangguk pelan. “Iya.”
Mereka berdua terdiam beberapa saat.
Lalu, Raka membuka layar CCTV lagi, mencari rekaman dari beberapa menit yang lalu.
Saat mereka melihat rekaman dari Lantai 5…
Lorong itu kosong.
Tidak ada bayangan. Tidak ada orang berdiri di depan unit 515.
Hanya koridor kosong yang sunyi.
Deni mendadak merasa ingin muntah. “Mas… tadi kita beneran lihat, kan?”
Raka menelan ludah. “Iya.”
Mereka saling pandang.
Deni menghela napas. “Kita harus ngomong sama orang yang pernah tinggal di sana.”
Raka mengangguk. “Ari Setiawan.”
Malam itu, mereka tidak bisa tidur.
Besok pagi, mereka harus mencari tahu… siapa sebenarnya Ari, dan apa yang terjadi di unit 515.
ke unit lantai 7