“Kalau kamu nggak pulang sekarang, mama nggak main-main Syas. Mama akan jual kamu!”
Mata Syanas membelalak, tapi lebih karena terkejut mendengar nada serius ibunya dari pada isi ancaman itu sendiri. “Jual aku? Serius Ma? Aku tuh anak mama loh, bukan barang yang bisa dijual seenaknya.”
“Oh, kamu pikir mama nggak bisa?” balas Rukmini, suara penuh ketegasan. “Mama akan jual kamu ke Gus Kahfi. Dia anak teman almarhum papa kamu, dan dia pasti tau cara ngurus anak bandel kayak kamu.”
Syanas mendengar nama itu dan malah tertawa keras. “Gus Kahfi? Mama bercanda ya? Dia kan orang alim, mana mungkin dia mau sama aku. Lagian, kalau dia beneran mau dateng ke sini jemput aku, aku malahan seneng kok Ma. Coba aja Ma siapa tau berhasil!”
Rukmini mendesah panjang, lalu tanpa berkata apa-apa lagi, menutup teleponnya. Syanas hanya mengangkat bahu, memasukkan ponselnya ke saku lagi. Ia tertawa kecil, tak percaya ibunya benar-benar mengucapkan ancaman itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gledekzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch ~
Syanas masih menatap Kahfi dengan tatapan membara saat mereka meninggalkan balai desa. Mulutnya masih terasa pahit karena ramuan hijau neraka yang barusan ia telan, dan perutnya seperti sedang bergejolak antara ingin protes atau menyerah pasrah.
Kahfi tentu santai-santai saja. Ia berjalan di samping Syanas dengan tangan diselipkan ke dalam saku celana, ekspresinya tenang seolah tadi tidak terjadi apa-apa.
Syanas mendengus. “Jahat banget sih kamu.”
Kahfi melirik ke arah Syanas dengan senyum tipis di bibirnya. “Aku jahat gimana?”
“Harusnya kamu selamatin aku, bukannya malah nyuruh aku minum ramuan aneh itu!”
Kahfi terkekeh kecil. “Tapikan kamu minum juga akhirnya?”
“Aku minum karena dipaksa!” Syanas melotot. “Tenggorokanku kayak mau mati tadi, tau nggak?”
Kahfi tertawa pelan. “Tapi kamu nggak matikan?”
Syanas menatap Kahfi tajam. “Tunggu aja, kalau nanti aku kena efek samping aneh-aneh, aku bakal nyalahin kamu seumur hidup.”
Kahfi mengangkat bahu masih dengan wajah tanpa dosa. “Ya udah kalau nanti ada efek samping, aku yang tanggung jawab.”
Syanas mendengus masih kesal. Ia berjalan dengan langkah berat, setiap pijakan kakinya seakan membawa beban dendam terhadap Kahfi.
Tiba-tiba Kahfi berhenti. “Ayo ikut aku.”
Syanas memutar mata. “Mau ke mana lagi sih?”
“Aku mau ajak kamu kerja,” jawab Kahfi santai.
Syanas mencium sesuatu yang tidak beres. “Kerja apa?”
“Kebun sayur.”
Syanas langsung berhenti di tempat. “Apa?!”
Kahfi menatap Syanas dengan sabar. “Aku mau kamu belajar berkebun.”
Syanas menatap Kahfi seolah lelaki itu baru saja menyuruhnya terjun dari tebing tanpa parasut. “Aku nggak pernah berkebun seumur hidup!”
“Makanya sekarang belajar.”
“Aku nggak mau!”
Tapi Kahfi tetap tersenyum santai. “Kamu ingat perjanjian kitakan?”
Syanas terdiam sejenak. Oh tidak. Ia lupa kalau Kahfi punya senjata andalan untuk mengancamnya. Perjanjian pernikahan bodoh itu. Kalau Syanas menolak ikut aturan Kahfi, maka ia harus, Syanas langsung mendengus frustasi. “Jahat.”
Kahfi hanya tertawa pelan. “Ayo, jangan banyak drama.”
Syanas akhirnya menyeret langkahnya dengan pasrah. Sepanjang perjalanan menuju kebun ia masih sibuk menggerutu, sedangkan Kahfi hanya menikmati setiap detik penderitaan istrinya itu dengan senyuman di wajahnya.
Saat tiba di kebun, Syanas langsung menatap tanah yang penuh dengan tanaman hijau dengan ekspresi horror.
“Ambil ini,” ucap Kahfi sambil menyodorkan cangkul kecil padanya.
Syanas menatap alat itu dengan ekspresi seakan Kahfi baru saja memberikan bom aktif ke tangannya.
“Kamu mau aku pakek ini?”
“Ya. Ini namanya cangkul.”
“Aku tau ini cangkul, tapi aku nggak tau cara pakeknya!”
Kahfi menahan tawa. “Gampang kok, tinggal pegang terus gali tanahnya.”
Syanas masih menatap cangkul itu dengan curiga. “Terus? Setelah aku gali tanahnya, apa yang harus aku lakukan?”
“Tanam benih.”
“Terus?”
“Tunggu sampai tumbuh.”
“Terus?”
“Kamu panen.”
Syanas memutar bola mata. “Menyebalkan banget. Kenapa aku harus kerja di kebun?”
“Supaya kamu nggak cuma jadi istri yang duduk manis doang,” ucap Kahfi santai. “Lagian, hidup di desa itu nggak bisa leyeh-leyeh terus.”
Syanas mendengus. “Aku nggak pernah leyeh-leyeh!”
Kahfi menaikkan alis. “Oh ya? Terus tadi pagi pas bangun tidur siapa yang mager di kasur nggak mau shalat subuh?”
Syanas terdiam. Oke, itu memang benar, tapi tetap saja!
Sambil menghela napas panjang, Syanas akhirnya memegang cangkul itu dengan pasrah. Dengan wajah penuh penderitaan, ia mulai menggali tanah. Tapi baru tiga kali ayunan, tangannya sudah terasa pegal.
Kahfi yang melihat itu langsung tertawa. “Baru segitu udah capek?”
Syanas mendelik. “Aku biasa pegang skincare, bukan cangkul!”
Kahfi tertawa lebih keras. “Yaudah, latihan dari sekarang. Siapa tau nanti kamu jadi petani sukses.”
Syanas mendengus. “Mimpi aja.”
Syanas baru saja mengayunkan cangkulnya untuk keempat kalinya ketika sesuatu yang panjang, licin, dan menggeliat keluar dari tanah.
Seekor cacing. Kecil, merah kecoklatan, dan tampak tidak bersalah. Namun bagi Syanas itu adalah mimpi buruk dalam bentuk makhluk hidup.
“Aaaaaaaaaaaaaaa!!!”
Jeritannya menggema ke seluruh desa, mengusik burung-burung di pepohonan dan membuat beberapa warga yang sedang bekerja di sawah menoleh dengan panik. Bahkan anjing Darto yang biasanya malas pun langsung berdiri siaga.
Syanas melempar cangkul ke arah Kahfi tanpa berpikir dua kali, membuat lelaki itu harus refleks menghindar. Cangkul itu jatuh ke tanah dengan bunyi berat, sementara Syanas sudah mundur beberapa langkah dengan wajahnya pucat pasi seolah habis melihat jin.
“Yang! Ada jin tanah!”
Kahfi yang awalnya ingin tertawa langsung terbatuk pelan berusaha menahan ekspresi geli di wajahnya. “Jin tanah?”
“Itu! Itu! Itu!!” Syanas menunjuk ke tanah dengan jari gemetar. “Lihat! Dia bergerak!”
Kahfi menurunkan pandangannya lalu melihat sang jin tanah itu seekor cacing gemuk yang dengan santainya kembali masuk ke dalam tanah, tampak tidak peduli dengan keributan yang baru saja terjadi.
Kahfi menghela napas lalu menatap Syanas dengan ekspresi tak percaya. “Serius? Kamu takut cacing?”
Syanas memelototinya. “Jelas! Itu menjijikkan!”
Kahfi terkekeh. “Itu cuma cacing. Dia bahkan nggak punya gigi buat gigit kamu.”
“Tapi dia bisa melata!”
“Itu namanya merayap.”
“Aku nggak peduli namanya apa, pokoknya aku nggak mau ketemu dia lagi!” Syanas merapatkan tangannya di dada, masih dengan ekspresi trauma. “Aku kira musuh utama di desa ini cuma kamu, ternyata ada makhluk tanah licin yang lebih berbahaya.”
Kahfi mengangkat alis masih menahan tawa. “Berbahaya gimana? Cacing itu malah bikin tanah subur tau.”
“Aku nggak butuh tanah subur kalau harus ketemu makhluk kayak gitu!”
Kahfi menggelengkan kepala lalu berjalan ke arah tanah tempat cacing itu muncul. Dengan santai ia menggali sedikit tanah menggunakan tangan kosong, lalu mengangkat cacing yang masih menggeliat di antara jarinya.
Syanas langsung mundur lebih jauh. “Jangan deket-deket!”
Kahfi malah tersenyum penuh jahil. “Kamu nggak mau kenalan? Namanya Eko.”
“Kamu beneran udah gila ya?!”
“Nggak! Kasihan lho dia baru mau berteman sama kamu.”
“Jangan!”
Syanas langsung berbalik dan berlari ke arah berlawanan secepat mungkin. Ia tidak peduli kalau tadi baru saja mengeluh kelelahan setelah mencangkul, ancaman cacing jauh lebih besar dibandingkan rasa pegal di lengannya.
Kahfi hanya tertawa melihat istrinya panik setengah mati. Ia menurunkan cacing itu kembali ke tanah dengan lembut, lalu menepuk tangannya untuk membersihkan tanah yang menempel.
“Udah, dia udah pergi.”
Syanas melirik Kahfi curiga dari jauh. “Serius?”
“Serius.”
“Dia nggak akan muncul lagi?”
“Ya kalau kamu nggak gali tanah terlalu dalam mungkin nggak.”
Syanas masih ragu tapi akhirnya mendekat dengan langkah sangat hati-hati. Ia memastikan bahwa tanah yang tadi digali sudah kembali tertutup, dan tidak ada tanda-tanda si Eko akan muncul lagi.
Dengan napas masih tersengal ia menatap Kahfi dengan mata penuh kemarahan. “Kamu memang jahat banget!”
Kahfi hanya tersenyum kecil. “Aku jahat gimana?”
“Kamu malah main-main sama cacing sialan itu!”
Kahfi terkekeh. “Ya kan biar kamu belajar. Desa itu penuh dengan kejutan, termasuk kejutan kecil kayak gitu.”
Syanas mendengus. “Kalau kejutan kecilnya kayak gitu, aku lebih baik nggak usah dikasih kejutan sama sekali!”
Kahfi menepuk tangannya kembali untuk membersihkan sisa tanah. “Tenang aja nanti lama kelamaan kamu bakal terbiasa kok.”
Syanas masih ingin protes, tapi ia tahu ini sia-sia. Ia hanya bisa menghela napas panjang.